Monday, December 23

Iming-Iming


06 Februari 2023


Masyarakat politis adalah masyarakat yang dikontrol dijajah diperbudak oleh wacana iming-iming.
Janji keselamatan diri, janji kesejahteraan, janji kemakmuran, bujuk rayu untuk beroleh sesuatu di masa nanti, dan selanjutnya: iming-iming politis yang transaksional, dan seterusnya…


Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado


Editor: Daniel Kaligis


MANUSIA yang selalu berada dalam bayang-bayang penderitaan karena bencana atau kesialan hidup, mudah percaya dan bahkan seolah telah menjadi kebutuhannya pada wacana iming-iming. Manusia adalah makhluk yang rentan. Maka, iming-iming dipercayai karena setidaknya itu dapat memberi dia harapan.

Padahal, iming-iming adalah bujukan yang sangat tipis bedanya dengan kebohongan.

Pemberi iming-iming selalu merasa paling memiliki kemampuan untuk mengatasi kerentanan itu. Sementara, mereka yang percaya iming-iming sebaliknya, selalu merasa dirinya lemah sehingga butuh kekuatan tertentu untuk membuat dia dapat terbebas dari masalah tersebut.

Secara keagamaan iming-iming itu berbentuk doktrin yang tidak perlu dibuktikan kebenaran faktualnya. Secara politis, iming-iming itu dapat berbentuk janji kesejahteraan dan keselamatan diri dari ancaman alam dan ekonomi.

Agama mengiming-imingi orang beriman dengan surga dan keselamatan jiwa, tapi menyertai itu – entah lebih dulu atau kemudian – doktrin ancaman neraka dan kebinasaan. Seorang beriman tak perlu lebih dulu ke surga untuk percaya sebab ini bentuk iming-iming religius yang tak menuntut bukti.

Berbeda tentu dengan iming-iming politis yang transaksional. Pemberi iming-iming bermaksud membujuk publik agar mendukung kebijakan politiknya. Misalnya, wacana klasik tentang kebijakan pembangunan infrastruktur yang secara klise didahului dengan iming-iming kesejahteraan, kemajuan atau kenyamanan. Pembangunan infrastruktur sebagai warisan dari model kekuasaan imperium, misalnya sejak zaman Mesir, Romawi, atau bahkan Majapahit dan terus diwarisi hingga zaman kolonial dan kini, selalu butuh pengorbanan dari alam atau warisan sejarah, tradisi dan budaya.

Demi untuk meyakinkan publik bahwa pengorbanan itu tidak akan sia-sia maka iming-iming mesti dikelola menjadi setrategi politik mendekati publik. Ketika kebijakan itu terlaksana maka secara naluriah publik akan menuntut buktinya. Inilah iming-iming politis yang transaksional.

Pemberi iming-iming akan selalu berusaha meyakinkan ke publik bahwa mereka selalu dapat menepati janjinya. Selalu saja ada cara pemberi iming-iming untuk meyakinkan publik bahwa mereka selalu benar. Padahal, iming-iming sering sekali adalah cara membujuk agar publik merelakan apa yang menjadi bagian dari kehidupannya secara sosial dan budaya untuk ditukar dengan proyek kekuasaan. Soal bahwa iming-iming itu dapat dibuktikan kebenarannya atau tidak, itu soal lain, yang juga akan menjadi wacana politis yang lain.

Jadi, masyarakat politis adalah masyarakat yang dikontrol oleh wacana iming-iming. Upaya mengelola wacana iming-iming untuk mengendalikan kesadaran, intelektual, dan perilaku publik itulah politik bagi penguasa. Praktik politik kekuasaan yang unsur pentingnya adalah wacana iming-iming yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur akan menciptakan masyarakat yang, pada satu pihak menerima iming-iming politik secara magis-mistis, dan sebaliknya memahami doktrin agama secara positivistik.

Masyarakat macam ini memperlakukan wacana iming-iming politik sebagai suatu kenikmatan psikologis untuk mengatasi kerentanan sosial, politik dan ekonomi. Terbalik dengan itu adalah justru tampak gejala upaya merasionalisasi doktrin iming-iming dengan kepastian sains untuk mengukuhkan superioritas agama sendiri atas agama-agama lain. Padahal agama terutama adalah pengalaman spiritual. Jadi, masyarakat yang pasif secara politik ditandai oleh konservatisme keagamaan. Modernisasi yang positivistik memberi konstribusi besar berkembangnya model keagamaan yang konservatif.

Demikianlah sehingga misalnya, politik kekuasaan menjadi agama. Sebaliknya agama menjadi politik kekuasaan. Raja bumi menjadi raja langit, dan raja langit diturunkan menjadi raja bumi. (*)


Kalutay, 28 Januari 2023