Tuesday, November 19

Hukum Sarang Laba-Laba


07 Juni 2021


Deras kencang suara sosialisasi: All men are equal before the law, without distinction sex, race, religion and social status. Diterjemahkan: Semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial


Oleh: AKBP Purnawirawan Kamaluddin, M.Si
Editor: Parangsula


Gambar:  Laba-laba, sarangnya nyaris tidak terlihat oleh serangga yang akan jadi mangsa sang pemilik sarang.


SILAHKAN berpikir, berasumsi, judul yang aneh. Jelas anehnya, saya juga berpendapat demikian.

Coba perhatikan: laba-laba membangun sarang di antara semak belukar dan pepohonan, jaring-jaringnya nyaris tak terlihat. Ada serangga melintas, terjebak lalu dimangsa.

Nah, seperti itu juga praktik hukum di Indonsia, ibarat sarang laba-laba. Jaring-jaring hukum menebar di segala tempat, menjadi jebakan tanpa sosialisasi, kemudian memangsa yang kecil-kecil saja, yang tidak mampu melawan.

Ulah pelaksana, pengawal hukum apa? Ada manfaat untuk keadilan dan kepastian bagi rakyat yang butuh dan sudah sekian lama ditindas regulasi? Dalam praktiknya masih banyak yang terabaikan. Hukum menjadi sarang yang nyaman untuk menumpuk kebimbangan, harta mana atas nama khilaf, keliru yang diulang-ulang.

Contoh kasus yang pernah mencuat di negara kita. Tahun 2014 di Situbondo. Asyani, divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun tiga bulan dan denda lima ratus juta rupiah, subsider satu hari hukuman percobaan.

Siapa Asyani? Perempuan rentah yang didakwa mencuri dua batang pohon jati milik Perhutani untuk dibuat tempat tidur. Perempuan itu angkat bicara, “Pasti ada suap. Saya tidak mencuri. Sumpah pocong, pak! Saya sudah bersumpah mati tidak ada gunanya.”

Hukum memandang ras, hukum memandang status sosial ekonomi, sehingga putusan-putusan hukum ikut terbabit. Penyidik prejudice, hakim prejudice. Praktik hukum model seperti ini sangat jelas merugikan demokrasi di Indonesia. Orang-orang miskin harta dan miskin pengaruh di negara kita akan sangat dirugikan oleh kondisi yang terjadi, karena praktik hukum sarang laba-laba seperti ini.

Padahal, sosialisasi tentang hukum itu sungguh manis didengar. Mari sama-sama kita ulangi: Semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial.

Orang-orang kecil yang tertejebak dalam praktik hukum tidak berkeadilan sesungguhnya adalah ulah dari segenap pelaksana hukum yang bobrok. Betapa tidak, para penegak hukum itu sendiri tak mampu menggunakan hukum sebagai sarana memberikan manfaat: yakni, keadilan dan kepastian bagi yang membutuhkannya.

Apalagi kita berharap para pelaksana hukum itu dapat membuat torobasan? Berlaku ‘benar’ saja sudah terabaikan sama sekali. Seperti itu kenyataannya.

Hakim sendiri telah diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam menangani suatu perkara, dan memutus sesuai dengan keyakinannnya, dengan didasari pertimbangan, didukung fakta-fakta yang ada sangkut-pautnya dengan suatu peristiwa. Namun, kenyataannya pertimbangan itu jauh dari harapan.

Ibarat luka yang ingin diobati, ingin disembuhkan. Ternyata, obatnya salah. Pereda yang diberi justeru ‘lain’. Gatal di pinggang, dompet yang digaruk.

Saya masih menyorot praktik hukum terhadap para mafia tanah, tentu kasus-kasus seperti ini ada juga di wilayah saya, di kabupaten Gowa.

Contoh saja, karena viral sekarang kasus mafia tanah berada di mana. Karena jadi isu strategis, Presiden Indonesia dan Kapolri angkat bicara: Berantas mafia tanah.

Sudah diinstruksikan, bentuk satuan tugas, berantas mafia tanah. Apakah Polda Sulawesi Selatan sudah membentuk satuan tugas? Sudah dibentuk atau belum? Sudah, di atas kertas? Apa tugasnya, seperti apa pergerakannya, bagaimana gebrakannya? Ada yang mensinyalir justeru belum ada gerakannya. Mafia tanah masih tunjuk taring sebab ada yang ‘bermain mata’ dengan petugas.

Sekarang rupanya merupakan zaman pembangkangan, perintah dari atas diabaikan.

Kembali lagi kepada soal kewenangan hakim dalam memutus perkara. Soal yang sudah jelas dan nyata di depan mata kita semua, perkara tanah, dan isu mafia tanah yang terpampang nyata di hadapan kita semua.

Ada opini dan tanggapan beragam di masyarakat sebab beberapa putusan perdata, pidana, dan putusan administrasi negara – yang mestinya – tidak membutuhkan kajian hukum mendalam dalam membuat keputusan. Balik lagi ke contoh persoalan gugat-menggugat terhadap salah satu obyek untuk menentukan siapa yang lebih berhak, dan siapa yang tidak berhak berdasar hukum, tentunya akan menjadi sasaran pertimbangan utama tentang keberadaan obyeknya.

Berikutnya keabsahan surat-surat atau dokumen yang dimiliki kedua pihak. Dalam hal ini, salah satu pihak – apakah prosedur penerbitannya memang akuntabiltas dan terlegitimasi sesuai regulasi yang ada?

Kita mengenal yang mana Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti, berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. Mahkamah Agung sebagai judex juris, hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.

Mohon maaf, saya menjadi bingung dengan adanya judex facti  di Peradilan Umum maupun di Peradilan Tata Usaha Negara terkait pemberian hak dan penerbitan  hak, dalam hal ini pemberian sertifikat kepada seseorang yang ternyata melanggar peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, dokumen yang dimiliki itu cacat administratif. Sindikat mafia tanah, praktik yang meluas ke mana-mana, tentu penyidik dan hakim sangat paham soal ini.

Mungkin tak ada salahnya kembali saya mengambil contoh kasus yang terjadi di kelurahan Tombolo, Somba Opu, Gowa: ada sertifikat yang terbit, padahal secara yuridis dan secara logika, dokumennya cacat administratif.

Mari kita perhatikan. Cacat administratif dimaksudkan karena tanah tersebut berasal dari tanah adat, bukti berupa surat rinci.

Sudah ditemukan ternyata tanah yang dimaksud dijual oleh oknum yang bukan pemiliknya. Pembeli atas nama perseroan terbatas – berbadan hukum, yang mana tanah tersebut ‘ditetapkan’ peruntukannya bagi pembangunan perumahan.

Lalu, perseroan terbatas itu memindahtangankan (AJB) lagi tanah itu tanpa ada bangunan di atasnya sebelum ada bangunan sebagaimana dimaksudkan dalam izin peruntukan yang sudah diterbitkan sebelumnya.

Kemudian, ketika pembeli bermohon untuk peningkatan hak tanah, mengurus penerbitan sertifikat di BPN Gowa, dokumen AJB-nya ditolak untuk dijadikan dasar hak penerbitan sertifikat. Pemohon bikin upaya lain, bertindak ‘seakan-akan’ dia sebagai petani penggarap di lokasi itu, padahal dalam kenyataannya tidak seperti itu. Pemohon adalah pengusaha yang tinggal menetap di daerah lain.

Sandiwara tanah adat berubah status tanah garapan – dalam ‘bahasa hukum tanah’ menjadi tanah yang dikuasai negara. Bahkan pihak BPN Gowa membuat surat keputusan yang sangat bertentangan dengan regulasi pertanahan yang ada di negara ini: Kewenangan tumpang-tindih memberi hak penguasaan dari suatu wilayah administratif lain ke wilayah administratif berbeda.

Dalam pengurusan sertifikat, penerbitannya hanya berlangusng tujuh hari, sudah jadi. Ada apa ini? Aturan melawan aturan. Pengalihan hak itu ada aturannya, harus diumumkan, masyarakat perlu tahu.

Ada aturan: Status tanah negara nanti dapat ditingkatkan kepemilikannya kepada yang mengusai, dalam hal ini kepada penggarap apabila minimal tanah tersebut sudah kuasai selama dua puluh tahun.

Dalam mengupayakan hak, pemohon menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang – Pajak Bumi dan Bangunan yang ternyata palsu. Bodong! Surat Pemberitahuan Pajak Terutang – Pajak Bumi dan Bangunan tersebut tidak tercatat pada Dinas Pendapan Daerah, tidak tercatat di kantor perpajakan.

Sedikit uraian saya sampaikan dengan sejumlah pertanyaan, saya rangkum dengan kalimat sederhana: kepada siapa lagi kiranya kita beroleh kepastian dan perlindungan hukum? Penyakit apakah yang segenap merasuki segenap pemangku kebijakan?

Atau mungkin kita sudah mulai dari pertanyaan keliru. Jangan-jangan praktik hukum yang jadi keliru. Hukum sarang laba-laba, praktik keliru di mana penyelenggara kuasa, siapa saja, bersarang dan berlindung atas nama hukum padahal tidak mampu membuat terobosan bagi keadilan sebagaimana yang dibutuhkan masyarakat luas.

Penting dicatat, keliru yang diulang-ulang itu adalah sebuah perbuatan sengaja. Dengan sengaja melawan aturan. Dengan sengaja melawan atasan yang menginstruksikan lawan dan berantas mafia tanah.

Praksis hukum di banyak tempat di negara kita, sejauh ini telah lebih banyak mendulang untung, beroleh laba dari praksis yang sudah meminggirkan keadilan kebenaran. Seperti itu interupsi saya. (*)