Medio 2009 — 2021
Oleh: Sam Fauroni
Potret Tumpang Tindih Kebijakan
PARA pemangku otoritas di daerah, nampaknya perlu lebih peka terhadap kondisi ekonomi yang terjadi sebagai imbas dari krisis ekonomi dunia. Jangan sampai berbagai strategi yang telah dipersiapkan pemerintah pusat untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional tidak berjalan hanya karena ketidakpekaan para pemangku otoritas di daerah.
Himbauan tersebut perlu dikemukakan mengingat banyak peraturan daerah (perda) yang dibuat terkesan mengabaikan implikasinya pada aktivitas ekonomi. Kepentingan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD) sering dilakukan dengan menambah jenis aktivitas yang dijadikan obyek pungutan pajak atau retribusi.
Penyusunan perda-perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi tersebut tidak disertai kajian ekonomi mendalam, apalagi tidak melibatkan pelaku usaha terkait aturan tersebut.
Ada soal. Misalnya kepentingan pribadi yang seringkali menimbulkan tafsir berbeda terhadap sebuah kebijakan. Jangan heran jika pembuatan aturan di daerah terkesan tidak didasari semangat yang membikin ekonomi daerah lebih bergairah.
Dengan adanya begitu banyak aturan di daerah tersebut, membuat biaya yang harus dikeluarkan pelaku usaha menjadi jauh lebih besar, atau dalam istilah yang poluler disebut ekonomi biaya tinggi.
Selain itu, meski pajak atau retribusi yang harus dibayar oleh para pelaku ekonomi lebih besar, namun seringkali pelayanan yang diterima tidak meningkat.
Kondisi tersebut tentunya tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang dimaksudkan agar terjadi efisiensi dalam segala bidang. Padahal, mestinya manakala ada otonomi daerah, segala urusan di daerah menjadi lebih mudah. Hal mana otonomi daerah berimbas pada pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku ekonomi ketika mengurus segala tetekbengeknya ke ibukota negara.
Untuk Bidang kontruksi misalnya, pemerintah pusat, lewat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 369/ KPTS/M/2001, sudah menetapkan Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional. Meski demikian perlu kajian untuk melihat bagaimana kaitan keputusan menteri tersebut dengan aturan yang lain seperti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi; Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi; Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Tentu saja, tidak ada manfaatnya jika sebuah kebijakan pemerintah yang sudah dirancang dengan baik menjadi tidak bermanfaat karena bertabrakan dengan aturan yang lain. Ketidaksesuain antara satu aturan dengan aturan yang lain justru berakibat menyulitkan para pelaku usaha dalam mengalkulasi biaya yang harus dikeluarkan.
Sudah sering kita dengar keluhan para pelaku usaha mengenai banyaknya aturan yang membebani mereka. Berkaitan dengan bidang kontruksi, seperti dikutip dalam salah satu media, Tigor G.H. Sinaga, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia (REI) Jawa Barat pernah mengatakan mengenai adanya aturan daerah di Kota Bandung yang terkesan menghambat investasi untuk bidang properti di daerah itu. Di antara Peraturan Daerah yang ia nilai menghambat adalah jenis retribusi galian, retribusi pelayanan sampah dan kebersihan serta retribusi parkir.
Sementara itu, menurut catatan Bandung Institute of Governance Studies (BIGS), ada enam peraturan daerah tentang pajak serta 22 jenis peraturan mengenia retribusi yang berlaku di Kota Bandung. Dalam pandangan BIGS, keberadaan beberapa peraturan daerah di kota Bahndung sudah terlalu berlebihan.
Keluhan yang serupa terjadi di daerah lain. Beberapa waktu lalu sejumlah rekanan yang tergabung dalam Forum Konsultasi Jasa Konstruksi (FKJK) Pamekasan mendesak agar Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) yang berlaku di daerah itu untuk segera direvisi.
Alasan mereka, dalam Perda IUJK tersebut terdapat beberapa aturan yang tidak relevan sehingga menghambat kerja rekanan ke depan.
Sebuah judul berita di salah satu koran ibukota berbunyi “Proyek MRT Terancam Mundur”. Berita itu menyebutkan bahwa proses pembebasan lahan jalur kereta bawah tanah Mass Rapid Transit (MRT) terancam mundur karena belum turunnya dana APBD DKI Jakarta. Padahal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menargetkan bahwa proses pembebasan sudah rampung pada tahun ini sebelum rencana pembangunan konstruksi dan kajiannya yang akan dimulai Maret 2009 nanti.
Akibatnya pembebasan lahan dan pembangunan depo dan prasarana MRT ini mundur dari jadwal yang ditentukan sebagiamana tertuang dalam Surat Gubernur tertanggal 19 Desember 2006 No: 3280/-1.792.1. Wakil Kepala Dinas Perhubungan, Udar Pristono, mengatakan anggaran yang dialokasikan untuk pembebasan lahan di Dinas Perhubungan untuk pelebaran terminal bus Lebak Bulus sekaligus depo MRT sebesar Rp. 22 miliar hingga kini belum kunjung cair.
Sebenarnya proses pembebasan lahan sudah dalam tahap proses administrasi kelengkapan surat-surat, namun, eksekusinya menunggu sampai turunnya dana APBD.
Ada dua kasus di atas. Tentu kasus itu hanya contoh, dan sekedar ilustrasi untuk menunjukkan terjadinya ketidakesesuain antara kebijakan dan implentasi di lapangan. Kondisi tersebut tentu menyulitkan para pelaku usaha yang bergerak di bidang konstruksi sebagai salah satu sektor penggerak proses pembangunan. Itu sama saja ingin membangun gedung bertingkat tanpa fondasi yang kuat.
Maka, mari sama-sama kita benahi. (*)
Featured Image: Construction