Tuesday, April 30

Laut, Cinta, dan Sisa-Sisa


13 Mei 2018


 

Bertahun merantau, lalu kembali. Laut, pantai, hutan, jurang, masih sama. Hanya plastik terus menyeruak. Tangan dua hanya mampu mengangkat satu-satu. Ada banyak tertiup hembus musim, terbakar, terbiar…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


A NAUTICAL mile, sampah kita ada di sana, melayang, tenggelam, didebar-debur gelombang menghambur ke selat ke pantai ke relung jiwa. Betapa, ternyata cinta kita bertabur sisa-sisa.

Suatu ketika di bening sore, di seputar batu-batu Megamas, kami menulis, menggambar, mengambil gambar, membuat foto kenangan: saya, Dedew, Finda, Jamal, Arthur, Ireine.

Lalu, kami tulis sajak estafet, masing-masing sebaris. Ada tersisa dalam benak, yang saya ingat ‘cawan’. Entah Jamal mememorize atau mendokumentasikan ‘pesta harap’ berbagi sloki. Ingatan ini terdampar di ujung 2007.

Lebih setahun lewat, dari belantara beton ibukota saya bersuara dalam sajak, WISH: “Sustainable development calls for wise management of natural, built, and sociocultural resources in destination areas as resources are used in time by tourism and the local population as well“. Can’t wait to see, what after WOC. (11 May 2009 at 03:52).

Seketika Annashka Mozhayev, kawan yang menetap di UK bilang, “Palingan Manado jadi kumuh.” Antje tentu punya argumen bagi jawabannya.

Matulandi Paat Lontoh Supit, pegiat Masyarakat Adat Nusantara, bertanya dalam harap, “Masyarakat kiranya termasuk sebagai pihak yang beroleh manfaat dari Deklarasi Manado.”

Kota itu, serta alam sekitarnya, begitu mengesankan. Berkunjung ke sana saban kali membawa cerita. Bersua kawan, berbincang, menikmat macet. Orang-orang berseliweran di mall sejuk, bila berpapas senyummu sumringah.

Awal 2018, sehari dua ada di sana, saya menulis tentang “Pembangunan Lingkungan dan Pilih Pemimpin”, lalu mengirimnya ke teman journalist. Pada artikel itu, yang coba saya garisbawahi, dari perubahan yang terus terjadi pada semesta: Kritik terhadap pembangunan dan dampak pembangunan belum mendapat tempat pas di masyarakat, jika ada, maka nikmatilah bully berkelanjutan di social media. Berapa banyak pembela sistem berkeliaran menjanjikan perubahan tatanan, mindset, struktur pembangunan berkelanjutan, dan keberpihakan?

Masih mimpi!

Pembangunan ‘overpass tol Manado – Bitung’ masih ada di headline sejumlah surat kabar. Berikutnya, ‘kata berita’ ada roadmap pembangunan infrastruktur pariwisata, sektor-sektor unggulan lain. Berapa program masih dianggap beban kerja ‘gemuk’. Dengar-dengar program penanggulangan kemiskinan perkotaan masih bergeliat, entah seperti apa progressnya. Walau, berita perpolitikan lebih sexy diumbar media. Apalah daya kisah laut, hanya badai hujan banjir yang sudah jadi agenda rutin dan dianggap angin lalu.

Pikiran menggelayut ke masa silam…

Pernah datangi Bunaken, susuri Pante Liang, jalan-jalan di hutan tepi Alung Banua, nyelam, snorkeling, berenang dari pagi hingga senja dengan kawan-kawan dari Club Med, bercengkrama di bayang mangrove manakala lampu-lampu cottage meredup.

Di lingkar selatan, seputar Arakan, saya berenang di Napo Piring. Berperahu bersama nelayan yang membudidaya rumput laut. Berjalan hingga jauh di ujung tanjung, membaui musim teri yang anyir ketika perempuan-perempuan mengangkat ikan-ikan itu dalam keranjang dari laut dangkal menuju pantai, menuju para-para, menuju dapur.

Di sana, di Arakan dengan para aktivis Jaringan Pemetaan Kampung, dan Pengelolaan Pesisir. Banyak isi diskusi yang telah terlupa, tentang kedaulatan orang kampung, hutan adat, pemberdayaan tetek-benget bernuansa kampung. Masih ingat nama-nama aktivis itu, Ati, Billy, Cinta, Destu, Jerry, John, Karel, Lily, Ona, Windy, siapa lagi ya? Lupa!

Di titik timur, melintas Pulisan, Sera-waya, Marinsow. Menghirup pagi di aroma amorphophallus. Ah, waktu itu, sudah lama sekali. Datang ke sana mengamat hutan pantai nan rawan. Pesisir Wori hingga Likupang. Benarkah growth pole mampu menstimulasi kehidupan ekonomi rakyat? Hasil laut dari sana ramai diangkut pick-up dan di jual di pasar rakyat.

VISION: Indonesia sebagai poros maritim dunia. Apa kabar rencana aksinya? Regulasi menyebut, mimpi ini dibuat sebagai upaya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Itulah mengapa kebijakan ini dituang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017.

Medio 2017, Arif Havas Oegroseno, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman, menyebut bahwa, untuk dapat mewujudkan cita-cita sebagai negara maritim yang kuat, maju dan mandiri, perlu keterlibatan semua pihak: pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri dan masyarakat.

Ada strategi dan rencana aksi, dalamnya termasuk penegakan kedaulatan, hukum, keselamatan di laut, dan terlaksananya tata kelola kelautan. Boleh tanya, “di mana ruang rakyat, dalam hal ini masyarakat pesisir nelayan dan seterusnya, di mana peran pemerintah daerah – apa yang sudah dikerjakan sejauh ini di wilayahnya terkait aksi menunjang gerakan ‘Indonesia Poros Maritim Dunia’.

Kata tanya berderet-deret, karena urusan lingkungan dan keberpihakan pada rakyat kecil memang sedikit porsinya.

Berapa banyak nelayan miskin di tanah-air kita. Hari Nelayan 2016, Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengucap salam, “Semoga nelayan kita lebih sejahtera.”

Data BPS 2014, rumah tangga di Indonesia yang mengandalkan hidupnya dari menangkap ikan di perairan umum dan laut, sebanyak 964.231 atau sekitar 1,5 persen dari rumah tangga di Indonesia.

Data BPS September 2017, jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 26,58 juta orang.

Saya berasumsi di luar data. Ketika cerita dan berita orang-orang yang turun ke jalan dalam rangka demo apa saja, adalah separuh wajah kemiskinan kita, sisanya mengendap di dalam otak. Miskin karena tidak mau bergerak menjadi beradap dan smart. Ini tugas bersama untuk dicari solusinya.

Gerak Tol Laut memberi dampak, paling tidak harga BBM di berbagai lokasi jadi masuk akal. Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah  — khususnya kawasan timur Indonesia  — mengentara dan terus digenjot. Entah yang beroleh untung dari mahalnya harga-harga rasa terusik. Kita, orang Indonesia, punya mimpi yang harus segera diimplementasikan hari ini: tiap tangan terus memunguti sisa aktivitas, sampah dan dosa, menaruhnya di tempat layak, membangun negeri ini dengan cinta.

Dalam kenang, kutera: Jarak menjauh di butiran kabut, senja sebentar lagi jingga. Rindu mengkristal, tembang nista dalam rahim sunyi. Pernah kita terjaga di bawah dedaun ketika pegunungan masih remang, lalu berlari ke tepi samudera di mana asa menggunung. Burung-burung laut mengepak sayap putih mengungsi bersama mimpi, mengejar kunang-kunang di batas cakrawala. FAIRIES: my heart being lit with flame. (7 May 2010 at 13:27).

Bertahun merantau, lalu kembali. Laut, pantai, hutan, jurang, masih sama. Hanya plastik terus menyeruak. Tangan dua hanya mampu mengangkat satu-satu. Ada banyak tertiup hembus musim, terbakar, terbiar.

Masih menggambar laut gelombang tebing gunung awan. Itu saya, kawan memberi inspirasi dari sajak-sajak, Oppy AilSie dalam my heart being lit with flame:


begini jadinya,
dia dan jingga


sang waktu mengoyak rindu
di pelupuk ufuk

cinta tak pernah salah
seperti mentari tak pernah tersesat

meski wajah malam selalu terbenam kelam
gelap menista rahim kesunyian pekat

di entah kapan
meski remuk telah berganti redam…

with the eternal flame
hope never dies!


Pasti Oppy AilSie ingat sajaknya bertajuk FAIRIES.

Saya. Berguman sendiri untuk debur. CATASTROPHIC: you sang to me, ‘the silence is slowly killing me’, and time is slowly passing me by | I fell in love with you as a friend.

#WaterSplashing

Berapa mile mendayung, berapa langkah dikayuh, cerita masih sama, kenang pada laut gelombang dan amuk badai, sisa-sisa, dan cinta pada dirimu.

Siapa? Jawab sendiri-sendiri. (*)