Saturday, November 23

Film, Memanah Mata Hati


22 November 2024


Jejak, tapak-tapak nan purba. Diajak menulis di zonautara berapa tahun lalu, sayang artikel itu kini tidak dapat diakses ‘Film, Memanah Mata Hati’, boleh baca di sini saja isinya: Ketika itu – September 2017 – saya juga giat menggarap beberapa judul terkait film sambil mempersiapkan ‘rancang-bangun dalam imajinasi’ apa itu Teropong Bataraguru dan Teropong Alor. Nah, pada dua judul itu ada semacam jejak hilang, namun bekas digitalnya dapat anda telusur kapan saja. Btw, film menginspirasi banyak temuan besar dunia dewasa ini. Oleh film kita beroleh hiburan, beroleh inspirasi.


Oleh: Daniel Kaligis


WEST Yorkshire 1888. Ada apa di sana? Ngobrol history, nanti kita jadi kuno. Tertawa saja sambil menikmati hawa dingin merasuk dari mesin-mesin. Musim kadang mempengaruhi tontonan kita.

Dari Oldest photographs in the world yang diunggah akun hilbert2547 ke youtube dan dilihat 1,575,860 kali, menyuguhkan semacam kilas-balik fotografi sejak era 1820-an. Fokusnya manusia, perempuan dan lelaki. Lalu, manakala anda membaca artikel ini, seketika jari anda mengklik Oldest photographs in the world di mesin pencari, kisah lama itu tampil di depan mata-mu dalam bentuk gambar bergerak, film. Itu dia, sementara anda nikmati, – boleh jadi – lagi anda geluti sekarang ini dalam keseharian sejauh ini.

Masa deras berlari dari zaman documentary di laut Utara dan Selatan merekam tapak-tapak purbanya kehidupan, hingga hari ini ketika aktivitas manusia, siapa saja, boleh langsung ditonton orang sedunia. Facebook Live misalnya, memberi fasilitas live video streaming, apa yang sedang dikerjakan sekarang bisa terunggah ke social media. Orang-orang tertawa, orang-orang menangis, orang-orang berprestasi, orang-orang lebay, dapat ditonton sendiri, atau ditonton ramai-ramai.

Detik ini, seraya menulis catatan, saya memandang bulan setengah dari lantai tiga sebuah building. Malam, cahaya warna-warni perpendar ke segala arah. Dari sini laut lepas terlihat legam di barat-daya negeri. Beberapa hari silam saya ada di bekas hutan mangrove, pantai terabrasi, dan sampah plastic di lidah gelombang ada di ekor mata, di ujung Pattaya. Satu-satu benih pohon meninggi di sini, orang-orang dengan gadget di tangan, mengabadikan senja yang panjang sebab hingga jelang 20.00pm langit tetap biru. Semua boleh didokumentasikan, pilihan kita-lah, ditayangkan, atau tunda. Batas sudah runtuh. Tembok-tembok politis negara jadi nisbi.

Saya penggemar documentary film, walau belum satu-pun documentary yang saya telorkan yang mengikut kaedah pembuatan film dokumenter. Tahun 2013 saya sempat memaparkan makalah film di Sulawesi Utara, saya mengutip John Grierson yang menyebut dokumenter adalah perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian aktual. “The creative treatment of actuality,” ulasan John Grierson ditulis di surat kabar New York Sun, saya terangkan dalam materi dasar-dasar pembuatan film dokumenter saat itu. Sesungguhnya, the creative treatment of actuality ini muncul dari tulisan John Grierson menanggapi film-film karya Robert Flaherty, terutama pada film Nanook of the North. Film berdurasi kurang lebih 1,5 jam itu tidak ‘mendongeng’ ala Hollywood. Grierson menyebut apa yang dilakukan Flaherty sebagai perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian aktual.

Film adalah sebuah tema. Kita lalu berpikir tentang konten, story board, plot, shoot, kamera, dan sebagainya. Selanjutnya tentang pemasaran, penonton dan akibat dari tontonan itu. Banyak hal memang jika bicara film. Inovasi teknologi kamera, gadget, suara, dan property pendukung lain telah mengambil peran penting bagi perkembangan film.

Ada semacam perbedaan antara eksis, update, dan makang puji; belagu katanye orang Jakarte. Segalanya tergantung kepentingan. Sedemikian pula sebuah teori dan definisi. Film, entah documentary, entah news, entah hiburan, entah hoax, ia, yakni film itu, sudah menjadi keseharian kita.

Film kini dapat dibuat tanpa sutradara tanpa produser. Nyanyi ‘kuda gigit besi’ terasa hambar, walau, jika ada ‘kuda gigit pizza’ juga terlihat ngawur di socmed. Gambar bergerak dan film seakan membakar berita-berita di lembar kertas. Koran, majalah, portal berita banting tulang, pontang-panting mengejar rating, mengejar zaman di mana tiap orang ingin jadi focus, jadi locus.

Kembali ke West Yorkshire, di sana film tertua direkam. Roundhay Garden Scene, disutradarai Louis Le Prince. Film ini direkam dengan 20 Frame per Second (FpS). Adolphe, anak sang sutradara, menyebut film ini direkam di Oakwood Grange Road – Roundhay, Leeds, West Yorkshire, Inggris pada 14 Oktober 1888. Nanti pada medio 1930, National Museum of Photography, Film & Television membuat salinan foto tersisa dari materi film ini. Hasilnya menggunakan 52 frame dan panjangnya hanya 2 detik pada kecepatan 24,64 FpS.

Kita menggemari film, ada berapa koleksi kita?

Okay, kita ke pertanyaan lain. Apa tontonan kita manakala gadget ada dalam genggam? Tak penting menjawabnya sekarang.

Dapat ngobrol beberapa judul ke sejawat tentu melebarkan pertemanan dan dianggap hebat: The Dark Tower, The Fate of the Furious, Spider-Man, Guardians of the Galaxy. Anak kecil bahkan jauh lebih banyak menghafal dan menonton sejumlah judul.

Trailers film dengan mudah diakses dari internet.

Anak-anak yang lahir sesudah hari ini adalah generasi di luar dugaan kita, susah dan sulit menggambarkan mendefinisikan seperti apa real-nya mereka di masa depan.

Mereka yang barusan lahir sudah dapat kita tonton. Ayah-ibu mereka menjinjing gadget dan tontonan ke mana-mana, seperti itu habit turunan kita, bahkan lebih ‘lincah’.

Di ruang peribadatan saat semua khusuk, mata anak-anak kita terhisap gambar bergerak, bisa jadi games, bisa jadi film. Jari-jari cekatan menggeser, lupa-lah waktu.

Medio 30 Maret 1950, sineas Indonesia, Usmar Ismail membuat film pertamanya, Darah dan Doa, released internationally as The Long March. Latar film ini dipetik dari skenario penyair Sitor Situmorang, berkisah seorang pejuang Indonesia jatuh cinta kepada gadis Jerman yang bertemu di pengungsian.

Sekitar tahun 1920, sudah ada beberapa gedung bioskop di kota-kota di Indonesia yang memutar film Barat bisu. Tahun 1927, dua orang bangsa Eropa, F Carly dan G Kruger, membuat film cerita pendek berjudul Rulis Acih dan Lutung Kasarung di kota Bandung.

Balik lagi ke issue yang disebut pada paragraph awal: West Yorkshire 1888. Ini sebuah misteri keberadaan film dunia. Setelah sepuluh hari tampil dalam Roundhay Garden Scene, yakni pada 24 Oktober 1888, Sarah Whitley, mertua Le Prince meninggal di Leeds. Sutradara Le Prince bermaksud ke London untuk mematenkan penemuannya, dalam perjalanan kereta-api antara Dijon dan Paris 16 September 1890, dia hilang. Kemudian dua tahun setelah bersaksi dalam kasus menghilangnya ayahnya, medio 1902, Alphonse Le Prince ditembak mati di New York.

Film menginspirasi banyak temuan besar dunia dewasa ini. Oleh film kita beroleh hiburan, beroleh inspirasi. Karena tontonan kita betah berlama-lama di depan layar lebar di depan tivi di depan gadget. Portal duniaku.net menyebut sembilan dampak negative nonton gambar bergerak semisal Drama Korea, yakni: kecanduan, baper, mudah emosi, banyak berkhayal, demam Korea, kurang bersosialisasi, malas, susah dapat jodoh, bosan dengan pasangan.

Silahkan tertawa karena ini memang lucu, tapi beberapa di antaranya terjadi pada diri kita. Sama ketika kita menertawai anggota legislative yang ‘diterkam kamera’ saat nonton film biru.

Dari film, pesan-pesan sudah disampaikan pada audiens. Dari film kita meniru, juga kita mengenal budaya negeri seberang. Positive-negative-nya boleh dipilah. Film sudah memanah suatu ruang dalam jiwa manusia, kita menamainya kenang, lalu lupa! (*)