Sunday, December 22

Episode Nanking: 13-12


13 Desember 2021


Qinhuai River nan elok membelah kota, dikenal sebagai sungai induk di tengah kota Nanking, masyur sebagai ‘Darah Kehidupan’, pernah amis darah. Judgement: International Military Tribunal for the Far East. Chapter VIII: Conventional War Crimes (Atrocities). November 1948: menyebut, manakala Perang Tingkok-Jepang Kedua meletus, ratusan ribu orang Tiongkok terbantai, sebagian mayatnya ada di tepi Qinhuai River.


Oleh: Dera Liar Alam
Gambar:  Bodies of victims along Qinhuai River out of Nanjing’s west gate during Nanjing Massacre/ Moriyasu Murase.


MEMBACA Nanking Atrocities, bertahun silam, telusur kontroversi: sebagian besar pembunuhan militer Jepang sengaja dijadikan misteri. Katanya, peristiwa kekejaman itu lebur ketika Jepang menyerah, 1945.

Orang-orang terbunuh di zaman perang, daftarnya mungkin lebih panjang dari Sungai Panjang, Yangtze — sungai terpanjang di Asia, dan ketiga di dunia, sejauh enam ribu tiga ratus kilometer. ‘Darah Kehidupan’, adalah anak Sungai Panjang, saksi bisu pembantaian, sejumlah peristiwa.

Sejumlah situs bersejarah ada di Nanking, pusat politik dan ekonomi bagi daerah delta sungai Yangtze selama ratusan zaman. Menyebut Nanking, ingatan megah dari mereka yang menetap dan pernah datang di ‘ibu kota Surga’ itu. Seperti itu dicatat di Demographia World Urban Areas – 14th Annual Edition, Doing Business in China, dan di Nanjing Bureau of Statistics.

Berapa waktu lalu, saya menera sejumlah resume, saat membaca Nanking dari sejumlah literature — manakala Perang Tiongkok Jepang Kedua — terkenal episode pembunuhan, penjaraan, dan perkosaan massal yang dilakukan Tentara Jepang terhadap penduduk di kota itu.

Hari itu, 13 Desember 1937, dan berlanjut selama enam pekan, Jepang kuasai Nanking. Para kombatan dilucuti lalu dibunuh. Diperkirakan, puluhan ribu bahkan ratusan ribu warga sipil dibunuh tentara.

Perkosaan, penjarahan meluas. Walau sebagian besar catatan militer Jepang terhadap pembunuhan sengaja dirahasiakan atau hancur tak lama setelah Jepang menyerah tahun 1945. Sejarawan belum bisa secara akurat memperkirakan jumlah korban tewas dalam pembantaian itu.

Pengadilan Militer Internasional Timur Jauh, tahun 1948, memperkirakan, lebih dari dua ratus ribu orang Tiongkok tewas dalam insiden itu. Berapa pelaku kunci kekejaman diadili, dinyatakan bersalah, dan dieksekusi.

Pelaku utama lainnya, Pangeran Asaka, anggota dari keluarga Imperial, lolos dari penuntutan dengan berlindung pada kekebalan yang diberi Sekutu.

Perang Saudara:
1850 -1864

Tahun 1807 Robert Morrison mulai misinya dari Makau, menyusul kemudian para misionaris Protestan.

Adalah Hóng Xiùquán, seorang Tiongkok Hakka, punya nama lahir Hong Renkun, tercatat lahir di desa Fuyuanshui, 01 Januari 1814. Hakka adalah salah satu kelompok Tionghoa Han terbesar di Republik Rakyat Tiongkok. Hakka merupakan kelompok Han terakhir yang bermigrasi ke selatan dari Tiongkok Utara secara bertahap sekitar abad Empat Masehi, sebab bencana alam, perang, dan konflik. Kakek dari Hóng Xiùquán adalah petani, sama dengan leluhur mereka.

Misi Protestan sementara berjalan di Tiongkok. Pekerja-pekerja rumah tangga dan alat cetak-alat cetak mereka digunakan untuk memperbanyak kamus dan terjemahan injil Morrison. Orang-orang seperti Cai Gao, Liang Afa, dan Qu Ya’ang adalah orang-orang Tionghoa pertama yang berpindah keyakinan mengikuti mereka. Berulang kali mereka ditahan, didenda, dan diasingkan ke Malaka. Tetapi, mereka memperbaiki dan menyesuaikan misi mereka untuk menjangkau orang-orang Tionghoa, dengan mencetak ribuan buku-buku hasil pemikiran mereka sendiri.

Selasatu buku asli, sembilan bagian karya Liang Fa, buku tebal 500 halaman berjudul Quànshì Liángyán, sampai di tangan Hóng Xiùquán pertengahan 1830-an.

Sebagaimana dicatat di Encyclopædia Britannica: Lee Nathan Feigon, Hong Xiuquan – Chinese prophet and rebel, berikutnya di China at War 165, dan Gray, tahun 1836 Hóng Xiùquán berkunjung ke Guangzhou. Di sana dia mendengar khotbah misionaris Kristen Evangelikal. Dari misionaris itu, Hóng Xiùquán menerima terjemahan dan ringkasan Alkitab yang ditulis Edwin Stevens dan Liang Fa.

Flag of Taiping Heavenly Kingdom

Dari pengalaman mendengar khotbah misionaris itu, dikatakan Hóng Xiùquán mengalami sejumlah mimpi menakutkan. Hóng mengartikan mimpi itu sebagai wahyu-wahyu mistis. Dalam mimpi-mimpinya Hóng dikunjungi oleh dua orang tokoh, seorang tua dengan figur ayah, dan figur kakak laki-laki. Dalam salah satu mimpinya orang tua tersebut marah kepada orang-orang karena memuja setan, ketimbang memuja orang tersebut. Pada penglihatan kedua, ia melihat Kong Hu Cu dihukum karena ketidakpercayaannya.

Hóng Xiùquán ‘katanya’ juga bermimpi malaikat membawanya ke surga, dan dia bertemu dengan seseorang yang memberinya pedang dan segel magis, memerintahkannya untuk membersihkan Tiongkok dari setan. Beberapa tahun kemudian, ia membuat penafsiran bahwa hal ini berarti Allah Bapa Surgawi — yang diidentifikasikannya sebagai Shangdi sebagaimana tradisi Tionghoa — memerintahkannya untuk membersihkan dunia dari pemujaan kepada setan.

Hóng Xiùquán lalu mendeklarasikan diri sebagai Tian Wang, Raja Surgawi, saudara dari Yesus Kristus.

Hóng mempelajari keyakinannya, membakar semua patung dan buku Kong Hu Cu dan Buddha di rumahnya, serta mulai berkhotbah mengenai penglihatannya. Orang-orang pertama yang berhasil ia konversi adalah kerabatnya, termasuk minoritas Hakka, yaitu Feng Yunshan dan Hong Rengan.

Hóng bekerja sama dengan mereka untuk menghancurkan patung-patung suci di berbagai desa kecil, sehingga menimbulkan kemarahan pejabat dan warga setempat. Aksi Hóng dan kelompoknya dipandang sebagai sakrilegi. Mereka dianiaya umat Kong Hu Cu yang memaksa mereka untuk meninggalkan posisi mereka sebagai pengajar di desa-desa tersebut. Hóng Xiùquán dan Feng Yunshan melarikan diri dari distrik tersebut pada tahun 1844, dan berjalan sekitar 300 mil ke bagian barat menuju Guangxi di mana banyak masyarakat Hakka jauh lebih bersedia untuk menerima ajaran-ajarannya. Demikian dicatat Wm. Theodore de Bary dan Richard Lufrano, dalam Sources of Chinese Tradition.

Tàipíng Tiānguó – Taiping Heavenly Kingdom, Kerajaan Surgawi, demikian Hóng Xiùquán menyebut gerakannya. Nama Nanking sebagai ibu kota Surga.

Tiongkok, tahun 1842 kalah dari Britania pada Perang Candu. Pertengahan abad Sembilan-belas penuh perkara. Tiongkok di bawah dinasti Qing mengalami serangkaian bencana alam, masalah ekonomi, dan kekalahan di tangan kekuatan-kekuatan Barat. Di Nanking, dan seputarannya perang mengganggu pola pengiriman dan menghentikan banyak bisnis di Tiongkok. Mereka yang tidak senang dengan penguasa berbondong-bondong bergabung dengan Hóng Xiùquán, maka meletuslah perang saudara.

Sekitar tiga puluh juta serdadu dipimpin Hóng Xiùquán menguasai sebagian wilayah Tiongkok Selatan. Pemberontak kerajaan mengumumkan reformasi sosial dan penggantian kekuasaan Konfusianisme, Buddha dan agama rakyat Tiongkok dengan bentuk Kekristenan, dan memegang keyakinan bahwa Hóng Xiùquán adalah adik dari Yesus dan bahwa ia bertemu Allah dan istrinya di Surga.

Namun wilayah Taiping dikepung pasukan Qing. Dinasti Qing mengalahkan pemberontakan dengan bantuan Prancis dan Inggris.

Padahal, tujuan revolusi Hóng Xiùquán menggulingkan pemerintahan Qing yang korup dan sangat menindas: katanya propaganda, berontak untuk damai dan harmonis. Ideologi politik dan keagamaan Hóng Xiùquán ini berbeda dengan pemahaman Kekristenan tradisional. Ideologinya lebih mirip dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan politis dari masyarakat perdesaan.

Sebagaimana dicatat Paul A. Cohen, China Unbound: Evolving Perspectives on the Chinese Past, tentang Hóng Xiùquán terdapat berbagai pandangan dan opini yang sangat berbeda. Kaum Komunis, di bawah kekuasaan Mao Zedong, secara umum mengagumi Hóng Xiùquán dan gerakannya sebagai suatu perlawanan petani yang sah, yang mana diharapkan oleh mereka sendiri.

Sun Yat-sen, berasal dari daerah yang sama dengan Hóng Xiùquán dan dikatakan telah dikenali kemiripannya dengan Hóng Xiùquán sejak masa kecilnya.

Laste

Episode Nanking, pernah cemas, perang, pembantaian. Tinggal kenang. Hari ini memperingati kobarannya dengan sejumlah tanya misteri, tersaput kisah militer dan keyakinan-keyakinan yang pernah menghasut.

Tanah pertanian yang eksis sebelum Tahun Tuhan, kota yang berapa kali dihancurkan, itulah Nanking, yang sekarang dieja Nanjing. Perang saudara pernah menyala belasan tahun, 1850 -1864. Sejak dulu, area itu adalah pusat perhubungan di Tiongkok Timur dan daerah hilir Sungai Yangtze, ibu kota ilmu, sains, kebudayaan, kesenian, dan pariwisata. Nanking sudah terkenal sebagai pusat kebudayaan dan ilmu di Tiongkok ribuan tahun. Nanking merupakan satu dari empat ibu kota kuno Tiongkok dan menjadi ibu kota sepuluh dinasti.

Tentang perang saudara yang pernah berkecamuk, di Nanking: Tahun 1959, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mendirikan museum kecil di tempat kelahiran Hóng Xiùquán.

Bukan impian kerajaan di seberang langit yang mengklaim nasib masa depan. Masih sama, harapan rakyat, harapan semua orang, damai dan harmoni. (*)