27 Agustus 2023
Menjawab ‘Jejak 20’.
Ayat-ayat sudah dirancang untuk memenjara kata, membungkam argumentasi…
Oleh: Daniel Kaligis
Gambar: Suara didengar diabaikan.
JANGAN ditanya mengapa dengung tanpa suara rakyat dilarang ‘manggung’. Sebab, panggung penuh sesak. Di sana para penunggu sementara melakonkan hantu penasaran bangkit dari kemalasan berpikir. Coba baca beritamu kemarin dan mulailah berpikir.
Atau bila engkau enggan, mulailah bersandiwara sendiri. Matamu masih merah sisa kantuk semalam, dan di tiap cawan yang kau tinggalkan jejak bibirmu belum dicuci. Panggung-pun masih memanggil-mangil obrolanmu bacakan kesaksian masa depan sebagai ujaran kisah bersambung sejarah negeri seberang sudah kau singgahi dengan segala penat dan letih bercampur selingkuh kepercayaan.
Pesta-pesta menjelang, pembangunan dengan segala argumentasinya hanya meminggirkan rakyat, dalamnya konspirasi politik menuang kabut perseteruan dalam tubuh negeri penuh gores luka sayatan menusuk jauh ke sum-sum, menginfeksi seluruh jaringan, tumbuhkan imun terhadap malu tak lagi memuakkan.
Siapa berdiri di depan cermin lebur dan sanggup mengenali wajah poranda – retak – yang sambungkan kisah pembungkaman? Siapa? Ada: Kota. Saksi dusta. (*)
Jakarta, 26 Agustus 2010