Saturday, September 13

Delapan Kata dari Alex


12 September 2025


Hitung tutur, “Apa yang disebut Salombe dan John sudah betul.” Kata-kata itu terlontar dari ucap sabda Drs Alex Walalangi ketika saya mewawancarai dia di kediamannya – Bougenville, Makassar, medio 2012. Poin itu saya catat sebagai hal menguatkan argumen dari narasumber yang sudah saya temui sebelumnya.


Oleh: Daniel Kaligis


Editor: Philip Marx


BUKU tak ada yang sempurna. Namun buku, selalu final episodenya. Demikian adanya tulisan saya, ‘Sejarah Berdirinya Perguruan Tinggi Atma Jaya Makassar: Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar’. Ada empat nama berkompeten telah bertanda-tangan dalam buku itu, dan memberi sambutan terkait jalan sejarah Atma Jaya di Makassar, yaitu, Uskup Agung KAMS – John Liku-Ada’, berikut Ketua Pembina Yayasan – Prof. DR. C Salombe, berikutnya Pendiri dan Ketua Yayasan – John Chandra Sjarif, dan Rektor Atma Jaya Makassar – Drs. Felix Layadi, Lic. Th. Bahwa, secara tegas disebut pada halaman 2 buku tersebut yang mana isi buku didasarkan pada wawancara dengan Prof. DR. C Salombe, Drs Alex Walalangi, dan John Chandra Sjarif.

Bila hendak mengulik lebih jauh data-data tentang Yayasan Perguruan Tinggi Atma Jaya Makassar (YPTAJM), siapa saja dapat berziarah pada fakta dokumen-dokumen yang yang dimiliki YPTAJM sejak berdirinya yayasan itu, 09 Juni 1980. Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar adalah susastra khas sejarah lisan terekam atau oral history. Saya memilih kata, memilih huruf, menenun data fakta tutur para pendiri, merekat relevansi informasi yang disebut para pihak terkait YPTAJM. Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar adalah catatan mendalam tentang peristiwa dari sudut pandang narasumber, guna merajut informasi yang tidak ditemukan dalam sumber tertulis.

Saya berterima kasih kepada Muara Harianja, S.H., M.Hum., Kuasa Hukum John Chandra Sjarif, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bersaksi di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar – rentang Agustus 2025 hingga 11 September 2025 terkait Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar. Terima kasih untuk Erwin Halim telah memberi informasi terkini perkembangan YPTAJM. Secara khusus untuk Ikke, Adi, Dani – anak-anak mendiang John Chandra Sjarif – tokoh berdedikasi yang saya hormati. Juga untuk Ibu Nona, Pak Jess, Hendrikus Kadang, Ph.D, Lita Limpo, dan teman-teman semua tetap bersemangat dan setia mengawal YPTAJM.

Dalam kesaksian di Pengadilan Negeri Makassar, saya menutur nama yang disebut Prof. DR. C Salombe, yakni Franciscus Xaverius Seda. Diceritakan Salombe, pada tahun 1964, Partai Katolik diwakili Franciscus Xaverius Seda telah merintis pertemuan antara Partai Katolik dengan Ketua Partai Katolik di tiap provinsi. “Saat itu posisi saya sebagai Ketua Partai Katolik Sulawesi Selatan dan Tenggara. Setiap malam Sabtu kami bertemu di Marga Siwa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), di Jalan Dr. Ratulangi No.1 Jakarta. Antara Partai Katolik dengan Wali Gereja yang pada saat itu diwakili Uskup Joyo Saputro dari Jakarta, bersepakat hanya akan mendirikan satu saja Universitas Katolik di Indonesia, dan nantinya tiap-tiap provinsi akan memilih fakultas-fakultas mana yang menjadi prioritas kepentingan daerahnya,” sebut Salombe.

Franciscus Xaverius Seda, nama yang senantiasa disebut Prof. DR. C Salombe mewarnai jejak pergerakan awam menggagas Atma Jaya Makassar adalah tokoh Indonesia dari Maumere – Flores, Nusa Tenggara Timur. Di masa perjuangan, Seda aktif sebagai laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), pernah jadi Ketua Pemuda Indonesia di Surabaya.

Di masa Presiden Soekarno, Franciscus Xaverius Seda menjabat Menteri Perkebunan RI (1964 – 1966). Kemudian jadi Menteri Pertanian (1966). Di zaman Presiden Soeharto, Seda memegang jabatan Menteri Keuangan (1966 – 1968). Tercatat Franciscus Xaverius Seda pernah memegang posisi Presiden Dewan Komisaris PT. Kompas Media Nusantara — surat kabar nasional Indonesia dari Jakarta yang terbit sejak 28 Juni 1965.

Jelang sore – usai sidang – 11 September 2025 di Pengadilan Negeri Makassar, orang-orang berdiri, melangkah keluar ruangan, menyusuri etalase lewati pintu-pintu tuju gerbang. Dalam percakapan Lita Limpo menyebut, “Kirim ke saya delapan kata yang diucap Alex saat wawancara penulisan buku,” ucap Limpo dengan wajah berbinar. Saya bilang, “Alex Walalangi waktu itu berkata jujur,  bahwa apa yang sudah dikisahkan dalam resume wawancara dengan John Chandra Sjarif dan Prof. DR. C Salombe adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah.”

Saya mengulang kata-kata Alex Walalangi: “Apa yang disebut Salombe dan John sudah betul.” Mata tertuju pada bacaan, letih rela menyimak Stoicism Daily, wejangan Bertolt Brecht, “Those who don’t know the truth are fools, but those who know the truth and call it a lie are criminals.” Bertolt Brecht betul dalam petuahnya. Siapa yang tidak mengetahui kebenaran adalah bodoh. Tapi, mereka yang mengetahui kebenaran dan menyebutnya kebohongan adalah penjahat. Dalam tataran ini, Brecht menarik garis tegas antara ketidaktahuan dan dusta yang disengaja. Walau, kurang pengetahuan dapat dimaafkan. Hal memutarbalikkan kebenaran secara sadar merupakan tindakan korupsi dan kriminal. Dalam artikel ini saya menulis sambil melebarkan wawasan dengan berbagai literatur.

Hari manakala sidang berlangsung, kuping saya dipenuhi suara-suara, tinnitus menggila. Namun, suara kebenaran sangat jelas, merasuk hingga dasar jiwa. Masih lanjut menulis hingga larut senja. Lalu mimpi saya berulang, bintang-bintang jatuh bertabur dari langit. Bintang-bintang jatuh dari panggung. Begitu roda semesta memutar peristiwa, jadi fakta, jadi data. Simpan untuk besok. (*)


Untuk verifikasi, hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak terkait informasi dan pemberitaan.