Wednesday, November 12

Bursa Kanonisasi Pahlawan


11 November 2025


Membekas warisan Hindia Belanda tetapkan Persbreidel-Ordonantie, 07 September 1931, termuat di Staatsblad 1931 Nomor 394 dan Staatsblad 1931 Nomor 44. Gouverneur-generaal van Nederlandsch-Indië mewakili kekuasaan Belanda di Nederlandsch-Indië antara tahun 1610 hingga pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 – mengatur menetapkan – bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar dan majalah yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak pencetak, penerbit dan redaksinya tidak diberi kesempatan membela diri, atau banding ke pengadilan di tingkat lebih tinggi.

Sekarang, ada pers ikut arus, ada jurnalis merayap di bawah sandal penguasa. Terus direndahkan dan menistakan sendiri martabatnya.  


Oleh: Dera Liar Alam


KRITIK pembangunanisme — pada zaman itu dituduh sistem sebagai ancaman stabilitas nasional. Hey, bapak pembangunan. Demokrasi rongsok, hari ini potret prosedural ada, walau substansinya diberondong senapan mesin politik transaksional dan oligarki. Dulu, keputusan besar bergantung pada sosok dominan — dalamnya oposisi dikontrol. Pembangunan pesat dan timpang, ekonomi dikuasai kroni dan konglomerat. Kemudian ‘pemain’ berganti, pembangunan buat bayar gaji aparatur dan untuk elite saja. Demikian keadaan saat ini.

Sensor kuat. Jadi ingat breidel, istilah dari bahasa Belanda bermakna berangus, larang, atau pembatasan pada media massa dan produk pers jurnalistik. Ada zaman media bebas, walau dikerangkeng tekanan ekonomi-politik dan disinformasi. Kritik di media sosial bisa berujung kriminalisasi, pasal-pasal regulasi dalam UU ITE menodongnya. Argumentasi bolong sana-sini sebab mindset seragam dan instan, lupa ilmu pengetahuan mahaluas, semesta tiada batas untuk pertengkaran pemikiran yang oleh banyak pihak duel itu dimusuhi pemikiran dengan analisa-analisa dangkal.

Sistem, apakah masih waras? Kampung fiksi Naruto, desa daun tersembunyi, Konohagakure, ramai-marak sorak-sorai disamakan dengan sistemnya negeri ini, Konoha. Pintu ditutup negara untuk kasus HAM besar, ingatan yang ingin dihapus, 1965, Tanjung Priok, Timor Timur, Marsinah, Munir, Trisakti, Semanggi, etc. Kita memang butuh data fakta membeber semua. Alasan apa menyebut minim akuntabilitas dan transparansi, meski jargon reformasi sudah lewat dua dekade. Sistem fungsional administrative tetap ngalir seperti biasa-biasa saja, tapi secara moral dan historis — keadilan sosial dan HAM diabaikan — ya tentu, kewarasan sistem dipertanyakan.

Balik lagi ke beidel – dari sensor langsung ke represi digital dan ekonomi. Bentuk berubah. Arahnya sama: alasan jaga stabilitas kekuasaan.

Masuk pada dua simbol ekstrem episode sejarah sosial-politik Indonesia. Soeharto: representasi kekuasaan otoriter Orde Baru (1966–1998) — stabilitas politik dijaga ketat dengan represi, pembungkaman oposisi, korupsi, dan pelanggaran HAM. Berikutnya Marsinah: buruh perempuan, simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Ia dibunuh brutal pada medio 1993 setelah memperjuangkan hak buruh — dan kasusnya sampai sekarang tak pernah tuntas.

Sejarah tak pernah akan lunas ditulis. Kita berada dalam versi sejarah yang disaring pemenang, penguasa. Peristiwa 1965-66 ditulis dari sudut pandang penguasa, bukan korban. Perlawanan rakyat, gerakan buruh, perempuan, pergerakan minoritas akan terus dinegasikan.

Coba saja masyarakat angkat figur misal Marsinah, Wiji Thukul, atau Tan Malaka. Seketika muncul perdebatan ideologis komunis, bukan panutan, radikal, dan seterusnya. Padahal soal pahlawan kita punya hak atas kebenaran sejarah. Gelar pahlawan, kanonisasinya telah jadi alat politik. Jelang pemilu, ada pihak berkepentingan mendrive isu, menyingkirkan isu-isu kerakyatan dan tuntutan keadilan atau momentum nasional, elite mengangkat atau menolak tokoh tertentu untuk bangun citra meraup dukungan publik. Akan terus kita ulangi: Figur Marsinah atau Munir dianggap ganggu narasi stabilitas.

Anomali, bukan tetiba figur Marsinah dikanon jadi pahlawan. Kenapa? Marsinah meninggal Mei 1993 di usia muda setelah aksi perburuhan — kematiannya jadi sorotan luas karena dugaan pelanggaran berat terhadap hak buruh dan HAM. Tercatat dia adalah buruh pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, aktif berjuang untuk hak-hak buruh: kenaikan upah, dan agar ada kondisi kerja lebih baik. Dia simbol keberanian pekerja dan terutama perempuan pekerja dari kalangan rakyat biasa.

Serikat Buruh dan Pemerintah Jawa Timur dan sejak 2022 telah mengajukan pengusulan nama Marsinah. Berikut Prabowo Subianto manakala Hari Buruh Internasional 01 Mei 2025 menyatakan dukungan agar Marsinah jadi pahlawan nasional. Lalu pada Oktober 2025, Kementerian Sosial Republik Indonesia mengusulkan empat puluh nama tokoh termasuk Marsinah untuk gelar pahlawan nasional.

Di balik empat puluh nama, kontroversi, bapak pembangunanisme, tokoh otoriter, disebut ‘jenderal bermandi darah’ masuk dalam daftar nama untuk gelar pahlawan. Tanya berulang, masih waraskah Konoha? Tafsir, jawaban terserah logika mana yang dipakai. Walau tegas jelas dalam praksis bahwa ada pola impunitas dan pengaburan tanggung-jawab tanggung-gugat sistem negara masih berlangsung.

Nama-nama kontroversi. Nama, siapapun selalu ada cacat.

Tan Malaka dipuja sebagai pemikir revolusioner. Dulu, dianggap komunis dan berbahaya.

Thomas Jefferson, dihormati. Walau dia simbol kemunafikan moral dalam sejarah. Dianggap pahlawan, penulis deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat. Dia pemilik ratusan budak dan hubungan eksploitasi dengan Sally Hemings, perempuan yang dia perbudak.

Winston Churchill, dianggap pahlawan, penyelamat Inggris dari Nazi. Diperdebatkan sebab pandangan rasis, bertanggung jawab atas kelaparan Bengal 1943 menyebabkan jutaan orang meninggal. Churchill diagungkan di Barat, dikritik keras di bekas koloni Inggris.

Nelson Mandela simbol perlawanan terhadap apartheid dan perdamaian rasial. Pernah dicap teroris oleh Inggris dan Amerika. Nama Mandela baru dihapus dari daftar teroris Amerika pada tahun 2008. Nelson Mandela diakui secara global. Namun dia tetap dikritik ekstrem kanan di Afrika Selatan.

Ziarah pada para berhala, patung, batu-batu, kepala batu sembah dogma.

O iya, ada masa di mana mindset militer main dalam sistem, dwifungsi. Lalu Orba rontok. Tetap saja militer ‘tak resmi’ berpolitik. Jabatan sipil dan politik diisi purnawirawan. Dwifungsi geser ke soft power militer dalam birokrasi.

Kenang pahlawan pembangunanisme menyejarah masih sama: tinta, kapur, batu, pasir, balok, bambu, kaso, tiang kayu, tiang logam, pasak, atap, laras, roda, kaca, aspal, beton, jalan, dermaga, port, cat meronai raut dan praksis, etc. Kini pembangunanisme menjarah sejarah, memenjara mindset.

Sejak mula, definisi pahlawan nasional dibentuk negara, bukan oleh masyarakat secara murni. Penetapan gelar pahlawan lewat Keputusan Presiden — hal ini menandakan dan bermakna bahwa selalu ada pertimbangan politik, bukan hanya fakta sejarah. Data fakta menyebut yang mana pahlawan itu bukan cuma soal siapa yang berjuang, namun siapa yang kisah perjuangannya menguntungkan narasi negara, tentunya akan menguntungkan siapa yang duduk pada tahta kekuasaan.

Pejuang melawan kolonialisme diakui negara, walau kontroversi beberapa nama. Tapi orang-orang yang dianggap melawan negara setelah merdeka, misal korban 1965, berikutnya buruh Marsinah, atau aktivis HAM seperti Munir, dianggap kontroversial — padahal juang orang-orang itu juga demi rakyat yang adalah bagian dari vision menuju cita-cita bernegara berkeadilan sosial, berkeadilan hukum, cerdas, tertib di dunia.

Soeharto dianggap penyelamat stabilitas nasional. Namanya juga tercatat sebagai pelanggar HAM berat.

Sejarah akan mungkin dinilai berbeda di masa mendatang. Tak ada nama dalam gelar pahlawan yang netral. Nama adalah cermin kepentingan ideologi di zamannya.

Kita butuh pemaknaan baru, membaca menganalisa zaman silam nan ambigu. Sekarang science membantu umat manusia. Dulu, tindak gegabah, mati konyol boleh saja didramatisir kisahnya sebagai pahlawan. Kita disodori narasi kemanusiaan semesta, berikut hubungan moral antara manusia dan lingkungan alamnya, dalamnya nilai tanggung jawab moral kita terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Environmental ethics provides the moral framework for sustainable development, which aims to meet present needs without compromising future generations’ ability to meet their own.

Masing-masing punya cara sendiri menentukan pahlawannya — sering berbeda tafsir rakyat dengan negara dalam menentukan. Apalagi sejauh ini negara belum dapat berdamai dengan sejarahnya sendiri. Maka, duel pemikiran dan perdebatan ini akan terus memanjang.

Catat untuk lupa. Di mata buruh, Marsinah adalah pahlawan. Di mata aktivis HAM, Munir pahlawan keadilan. Pernah dalam tafsir sistem negara dalam hal ini pemerintah, Marsinah dan Munir belum memenuhi syarat administratif. Di hari pahlawan ke sekian tahun di negeri ini ada sejarah yang lupa dan mengalir beda arah. Namun, pahlawan moral ada di jiwa rakyat. Tafsir pahlawan formal dicatat dokumen negara.

Alam tetap akan buas dan tak memilih nama siapa yang akan ia hempas, kapan saja.

Kemanusiaan semesta sementara dipinggirkan. Figur kritis seperti Marsinah atau Munir pernah dianggap ganggu narasi stabilitas. Itulah mengapa debat tentang siapa layak diberi gelar pahlawan sering bukan soal siapa berjasa — tapi nama siapa nyaman untuk dikanonisasi. (*)