Friday, October 24

Bubarkan Parpol Korup


24 Oktober 2025


Zaman Orde Lama, pembubaran partai politik dilakukan oleh pemerintah melalui Keppres, contoh pembubaran Partai Masjumi dan PSI karena dianggap terlibat pemberontakan. Namun, setelah amandemen konstitusi, kewenangan pembubaran partai politik sepenuhnya dialihkan ke Mahkamah Konstitusi.


Oleh: Dera Liar Alam


PRINSIP kedaulatan rakyat telah dikangkangi. Bahwa, sejauh ini kedaulatan rakyat telah dirampas partai politik. Praktiknya jelas: pemilu – pilkadal – dan apa yang dikampanyekan sebagai pesta rakyat telah jadi sarana memperkokoh budaya feodalisme dalam badan partai politik.

Terus dan terus — hitung berapa banyak petinggi partai politik terjerat kasus korupsi dan diputus bersalah. Data antikorupsi.org, sejak 2004 hingga 2022, dari 1.519 tersangka terdapat 521 tersangka korupsi yang terhubung partai politik, yakni dari anggota legislatif hingga kepala daerah. Berikut, data Komisi Pemberantasan Korupsi – dihitung dari tahun 2003 hingga awal tahun 2024, ada 532 anggota partai politik telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Tak ada upaya hukum yang meminta pertanggung-jawaban partai politik. Padahal, pertajam pisau analisanya: korupsi berjemaah dananya diduga mengalir ke ‘dompet partai politik’ tertentu sudah berulang kali terjadi. Tercatat korupsi dana e-KTP mengalir ke banyak nama anggota DPR sebagaimana disebut dalam surat dakwaan KPK. Proses penegakan hukum terhenti sampai ke individu pelaku, sementara dugaan keterlibatan partai politik hilang ditelan isu yang dimainkan sistem. Isu ini sekian masa didiamkan.

Bahwa, jelas dan nyata, internal partai telah jadi sarana penyaluran kepentingan kelompok dan pribadi, bukan lagi wadah penyaluran aspirasi rakyat. Mahar politik mengakibatkan korupsi terencana. Partai politik utamakan finansialnya, bukan suarakan kepentingan rakyat. Hal ini membikin rakyat tidak efektif mengawasi dan meminta pertanggung-jawaban partai politik atas tindakan mereka.

Sementara aturan pembubaran partai politik diatur secara eksklusif oleh pemerintah, sehingga rakyat kehilangan haknya untuk menyuarakan pembubaran partai yang telah melenceng dari tujuannya. Di titik ini jelas bahwa ruang partisipasi rakyat dan kedaulatan rakyat itu nyata telah ditelanjangi.

Alasan partai politik dapat dibubarkan: yakni menyangkut ideologi, asas, tujuan, dan program dari partai politik tersebut telah terbukti bertentangan dengan regulasi, yakni UUD 1945. Di sini keruwetan itu dimulai — pemerintah, melalui jaksa agung yang ditugaskan presiden, mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian Mahkamah Konstitusi akan menggelar persidangan memeriksa pokok permohonan, alat bukti, saksi, ahli, dan berbagai keterangan yang relevan. Manakala dianggap cukup, Mahkamah Konstitusi akan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim untuk memutuskan apakah permohonan pembubaran partai politik diterima atau ditolak.

Padahal, fakta data terpampang nyata, keberadaan – peran – praksis dari beberapa partai politik sekarang ini telah merampok kedaulatan rakyat. Telah langgar konstitusi, langgengkan feodalime, korup dan tidak lagi menjadi saluran suara kepentingan rakyat. Jadi jelas dalam posisi ini keberadaan partai politik yang dimaksud berpotensi merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil makmur.

Lalu apa? Peran Mahkamah Konstitusi sejauh ini nihil. Menempatkan pemerintah sebagai pemohon tunggal dalam pembubaran partai politik terbukti tidak efektif dan tidak tepat. Eksekutif dan legislatif sejauh ini telah bersekutu mematahkan kedaulatan rakyat. Apa buktinya? Hukum tumpul ke atas. Kemiskinan ada di mana-mana. Suara kritis evaluasi direndam dalam lautan isu yang sengaja dihamburkan sistem dalam gerbong kerakyatan kemanusiaan semesta.

Dalam situasi ini, keberadaan Mahkamah Konstitusi disebut sebagai ‘Kewengan yang Tidak Berguna’. Begini dicatat Antoni Putra, “Selasatu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus pembubaran partai politik. Kewenangan yang sesungguhnya krusial karena dapat menjadi kontrol dan pembatas terhadap partai politik agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum yang berpotensi menyebabkan gaduh dalam kehidupan bernegara.” Dan sejauh ini peran itu nihil. Maka dilanjut Antoni Putra, idealnya, “Hak untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik diberikan juga kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan badan hukum. Dengan begitu, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai dapat berguna dan kontrol terhadap partai politik juga akan berjalan lebih baik karena diawasi seluruh masyarakat Indonesia.”

Kalkulasi lagi, hitung? Sejak regulasi pembubaran partai politik ditandatangani Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, 2008, yakni, ‘Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik’,  nyatanya tak ada satu-pun partai politik yang jelas-jelas telah langgar kontitusi dan amanat rakyat itu dibubarkan. Kenapa demikian? Tegas jawabannya: Eksekutif dan legislatif sejauh ini telah bersekutu mematahkan kedaulatan rakyat.

Ingat Norma Pasal 24C Ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mengatur hukum acara pembubaran parpol dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008. Secara substantif Mahkamah Konstitusi telah cukup baik mengatur bahwa partai politik dapat dibubarkan jika ideologi, asas, tujuan, program partai politik, atau kegiatan politiknya bertentangan dengan UUD 1945. Atau jika akibat yang ditimbulkan kegiatan politiknya bertentangan dengan UUD 1945.

Ruang ini seyogyanya dibuka. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatasi — hanya pemerintah, melalui jaksa agung yang ditugaskan presiden, mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Pasal (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 yang membatasi hanya pemerintah — dapat diwakili Jaksa Agung dan atau menteri — yang dapat menjadi pemohon pembubaran parpol —.segera direvisi sebab hal itu semangatnya menyimpang.

Titi Anggraini, Direktur Perkumpulan untuk Demokrasi, menyebut bahwa, “Maraknya kasus korupsi oleh petinggi partai politik melahirkan tuntutan agar partai politik dibubarkan karena anggapan muara dari hasil korupsi itu digunakan untuk pendanaan partai. Tuntutan yang sangat wajar. Namun tak semua paham dan punya pengetahuan soal ini. Bahwa tuntutan pembubaran parpol bisa dikupas dari aspek hukum dan bukan sekedar tuntutan politis.”

Rakyat bergerak, ruang di mana partai politik mengingkari ideologi, asas, tujuan, program partai politik, atau kegiatan politiknya bertentangan dengan UUD 1945. Atau jika akibat yang ditimbulkan kegiatan politiknya bertentangan dengan UUD 1945. Di sini rakyat segera bergerak. Tegakkan kedaulatan rakyat. Tuntut penyelenggara negara untuk segera bubarkan partai politik korup yang sejauh ini hanya melebarkan feodalisme dalam badan partai politik. Bubarkan partai politik yang hanya jadi sarana penyaluran kepentingan kelompok dan pribadi, bukan lagi wadah penyaluran aspirasi rakyat.

Uji regulasi, tempatkan partai politik pada postulatnya menjunjung kedaulatan rakyat. Postulat, kebenaran tanpa perlu dibuktikan teori para pakar ‘circulus in probando’ yang hanya memperkeruh isu kerakyatan, titik awal penalaran lanjut, terutama dalam kebenaran logika bernegara. Tegas seperti itu. Kedaulatan ada ditangan rakyat, dalam teori dan dalam praksis bernegara. Begitu harga hidup kemanusiaan semesta itu. (*)