Tuesday, April 30

Bola Meletus di Bibir


31 Juli 2023


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


Gambar: Anak-anak bermain bola


TUKANG taman berkeliling jalan dengan truk memuat tandon air, siram tanaman saban sore, lalu geraknya macet sebab anak-anak bermain bola di ruas jalan. Langit masih biru di atas ufuk Sungai Poso manakala saya membidik kamera. Riuh suara anak-anak memandingi gema toa di lorong seberang.

Oma Bibi bercerita, sabdanya panjang lebar, rautnya serius. “Kalau bola itu nyasar ke sini, saya belah jadi dua. Biar meletus bola itu,” kata dia. Pada saya, oma bilang, bahwa dia sudah sekian kali menegur anak-anak itu supaya jangan bermain di jalanan. Oma memang selalu sibuk dengan apa yang lalu di hadapannya mobil parkir memantulkan cahaya ke dia, pasti oma murka. Anjing tetangga menggonggong, oma naik pitam. “Mengganggu! Bikin rebut saja,” desis Oma. Namun, oma akrab dengan saya. Mungkin karena saya selalu mengiyakan apa yang dia ceritakan, keluh.

Oma sering memberi saya makanan, kue, dll. Dia senantiasa menyapa bila kami papasan tatap. Saya bilang biarkan saja anak-anak itu bermain. Taman, lapangan, semua lokasi telah dijejali bangunan. Gudang-gudang, ladang skala besar bahkan dapat porsi lebih strategis ketimbang rakyat — proletarian, pelayan, buruh, tani, nelayan, dianggap pekerja kasar yang tak mampu beli rumah dan halaman, hanya tunggu firman, tunggu perintah kaum imam, kaum raja, kaum dewa. Di titik sama, ada orang yang menguasai tanah ratusan hektar sebab kedekatan dengan pejabat negara urusan tanah urusan kuasa.

Apa mau dikata, anak-anak tetap bersorak girang tidak peduli. Tetap berlari mengocok bola dan saling ledek di jalanan dua arah terpisah barisan pohon. Tanah dan rumah oma mau dijual. “Bola lagi, bola lagi, pindah.” Suara meletus-letus dari bibir Oma yang menunggu tanah dan rumahnya belum laku. Padahal oma tidak mau pindah. Anaknya yang berhasrat menjual tanah, bayar pinjaman dan jaminan di bank.

Di tengah kota ada saja generasi langgas absen beberapa ketika untuk komunikasi media teknologi digital, walau di kala sendiri tetap terhubung juga dengan gadget bila punya. Di kampung saya, anak-anak se-usia pemain bola jalanan itu sudah duduk dan nongkrong di warung captikus. Ada waktu mereka live di media sosial sambil memperhatikan wajah sendiri, mengacak-acak rambut dan berdiskusi tentang pemain bola dunia, atau klub andalan mereka.

Tahun silam, membaca kabar. “Anak-anak memanfaatkan jalan raya sebagai arena bermain sepakbola. Meski berbahaya, mereka tetap asyik bermain di jalanan kawasan Prumpung, Jakarta Timur.” Tajuk itu ditera, ‘Sepakbola Jalanan Ala Anak-anak Ibu Kota’, detiknews, Sabtu, 14 Mei 2022.

Anak-anak dibujuk gadget agar diam, banyak yang terbabit. Zaman memang senantiasa abadi perubahan. Bola pemikiran, nalar meletus dalam khayal. (*)