Friday, September 19

Biarkan Konfrontasi itu Terjadi


21 April 2025


PENGHILANGAN INFORMASI PENTING DAN MENENTUKAN TERKAIT FAKTA SEJARAH DALAM ESAI SAYA “KUIL YASUKUNI DAN MILITERISME JEPANG” DI HARIAN KOMPAS, SABTU, 19 APRIL 2025


Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah sastrawan dan pegiat budaya


Gambar: Tafsir Bendera


SEPERTI kalian ketahui bersama esai saya “Kuil Yasukuni dan Militerisme Jepang” dimuat Harian KOMPAS kemarin, Sabtu, 19 April 2025. Di KOMPAS cetak dan KOMPAS e-paper, sejumlah kata yang merupakan keterangan sangat penting dan amat menentukan konteks paragraf pertama esai tersebut hilang atau dihapus. Kata-kata yang hilang atau dihapus itu adalah “para pendiri Demak dan Banten”.

Silakan membaca paragraf pertama esai saya:

“Dalam film The Last Samurai dikisahkan negeri Jepang terbentuk dari tetesan pedang katana. Pedang adalah jiwa suci bangsa dan negara Jepang, yang melandasi semangat bushido para samurai, mengingatkan pada leluhur saya, PARA PENDIRI DEMAK DAN BANTEN. Pedang dan keris bukan sekadar senjata, tetapi lambang marwah dan kehormatan sampai hari ini.”

Kata-kata yang dihapus sengaja saya tulis dalam huruf kapital.  Akibat kata-kata itu dihapus,  keterangan tentang leluhur saya lenyap. Mungkin ada yang mengira leluhur saya malah orang Jepang. Akibat lainnya, kalimat tersebut menjadi tidak relevan dengan kalimat berikutnya yang menjelaskan tentang pedang dan keris sebagai lambang marwah dan kehormatan. Sebab orang Jepang tidak menggunakan keris.

Apa sebabnya dihapus? Belum jelas.

Aturan tegas dalam ilmu dan metode sejarah untuk mendapatkan kebenaran berdasarkan fakta empiris dengan merekonstruksi kebenaran yang sesungguhnya adalah sama dengan ilmu dan metode hukum untuk mendapatkan kebenaran. Begitu pula segala hal terkait dengan leluhur kita.

Leluhur saya adalah leluhur Banten dan Demak yang sesungguhnya berdasarkan ilmu dan metode sejarah dan hukum, termasuk hukum Islam yang berlaku di negara Republik Indonesia, yang tentunya bertentangan sama sekali dengan leluhur Demak dan Banten yang fiktif, yang dibuat berdasarkan karangan penulis Babad Tanah Jawi dan berdasarkan Tarikhul Auliya Sejarah Wali Tanah Jawa karangan Kiai Bisri Musthofa.

Sudah sangat jelas bahwa bangsawan penguasa Demak dan Jepara melarikan diri dari Demak dan Jepara ke Banten. PANGERAN ARIA JAPARA (penguasa Kepangeranan Jepara terakhir) dimakamkan percis di samping makam kakak kandungnya Sultan Maulana Yusuf di Pekalangan Gede,  Kasunyatan, Banten. Sultan Agung Abu Mafakhir Mahmud Abdul Qadir juga dimakamkan di situ. Mengapa penting saya sebutkan namanya? Karena ada bangsawan-bangsawan palsu yang kakeknya juga bernama Sultan Agung Abu Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, yang dimakamkan di Kenari, Banten, dan keturunan sultan palsu ini beserta keluarganya kemudian menjadi narasumber disertasi doktor Profesor Hoesein Djajadiningrat, “Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten” (dalam bahasa Indonesia berjudul, “Tinjauan Kritis Sejarah Banten”). Karena mewawancarai keturunan sultan palsu beserta keluarganya, maka disertasi Djajaningrat berisi kebohongan yang bertentangan dengan fakta sejarah dan kebenaran empiris. Universitas Leiden wajib membatalkan disertasi Djajadiningrat, karena dia menulis tentang tokoh fiktif.

Bukti hukum dan arkeologis bahwa leluhur saya Sultan Agung Abu Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dimakamkan di Pakalangan Gede, Kasunyatan, Banten, adalah batu nisannya yang tertulis jelas nama dirinya, nama ayah kandungnya, dan nama kakek kandungnya.

Dari data primer pula diketahui bahwa bendera negara Kesultanan Banten berwarna kuning dengan lambang dua pedang yang bersilang, sedangkan bendera negara Kepangeranan Jepara  berwarna kuning yang lebih tua dengan lambang dua keris yang bersilang

Lalu penguasa Demak yang melarikan diri ke Banten adalah PANGERAN MAS (penguasa Demak terakhir, terkonfirmasi melalui data primer Portugis pada masa itu di Malaka) digelari Sultan Pangkalan Nangka dan dikuburkan di Pangkalan Nangka, Kasunyatan Banten.

Menurut negara Kesultanan Banten, PANGERAN ARIA JAPARA dan PANGERAN MAS adalah leluhur saya dari garis ayah saya, TUBAGUS JOHNNY MALIK,  yang tidak terbantahkan, baik secara hukum Islam maupun hukum negara Republik Indonesia. Hal ini diperkokoh lagi oleh dokumen primer yang diserahkan PANGERAN ARIA PURBAYA yang bernama asli HASAN JAMIL kepada Gubernur Jenderal Joan van Hoorn saat dia ditawan di Batavia pada 1704. Diperkokoh lagi oleh dokumen primer yang diserahkan kepala negara Banten pada masa itu, Sultan Abu Mahasin Zaenal Abidin, kepada Nicolaas Bruijn, seniman dan pengelana terkenal dunia pada 5 Juli 1706 di Surosowan, Ibukota negara Banten waktu itu.

Tentu berdasarkan ilmu dan metode sejarah maupun hukum, kekuatan pembuktian dan fakta empiris kebenaran sejarah yang ada pada diri saya bersifat mutlak dan tidak bisa dibatalkan oleh karangan individu atau karangan hasil produksi rumah tangga keluarga lain, seperti Babad Tanah Jawi ataupun Tarikhul Auliya Sejarah Wali Tanah Jawa karangan Kiai Bisri Musthofa.

Satu lagi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah para pemberontak yang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pemerintah yang sah, yaitu negara Kesultanan Demak pada masa itu. Pada saat penguasa Jepara, Ratu Padjadjaran, menyerang Portugis di Malaka, Kerajaan Mataram Islam belum lahir di muka bumi, masih berupa rimba  belantara bernama RIMBA BELANTARA ALAS MENTAOK.  Dalam fiksi Babad Tanah Jawi, penguasa Jepara adalah tokoh fiktif yang bernama Retna Kencana.

Tindakan oknum di Harian Kompas yang menghapus keterangan “para pendiri Demak dan Banten” dalam paragraf pertama tulisan saya yang berjudul “Kuil Yasukuni dan Militerisme Jepang” itu telah menyumbang pengaburan terhadap fakta sejarah. Apa tujuannya? Mungkin untuk mencegah terjadinya konfrontasi antara fakta sejarah tentang keluarga kami dan cerita karangan yang mengaku-aku leluhur kami sebagai leluhur mereka. Padahal konfrontasi itu biarkan saja terjadi agar pemalsu sejarah bertanggung jawab terhadap kejahatannya. (*)

13 Comments

Comments are closed.