10 Mei 2022
Damai dibayar mahal, namun, perang mendaur perang — proyek pertempuran akan jauh lebih fatal dan mengancam, siapapun boleh saja dimangsa maut, musnah. Kertas perjanjian sudah tercabik-cabik jadi abu pertikaian di bumi sebab perselisihan ternyata lebih gampang dinyalakan…
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Lukisan Hermann Junker – Frankfurt Peace Negotiation, 10/5/1871.
DEUTSCH-FRANZÖSISCHER KRIEG, begitu orang Jerman menyebut ‘Perang Jerman-Prancis’ itu. Orang prancis menyebutnya ‘La Guerre franco-allemande’. Hegemoni politik ideologis kekuasaan serta ambisi telah memungkinkan perang itu berkobar. Para konservatif selalu hadir di panggung politik negara, dan merekalah yang mengasah dan menajamkan senjata-senjata pemunah kehidupan.
Wilhelm Friedrich Ludwig dari Wangsa Hohenzollern, melangkah pasti di Hall of Mirrors nan gemerlap, di istana Versailles Paris, 18 Januari 1871. Di sana dia dilantik, tercetuslah Deutsches Reich. Transisi de facto sebagian besar penduduk berbahasa Jerman telah terjadi oleh aliansi para penguasa, namun tanpa kemajuan berarti, sebab kepentingan para penguasa menghambat proses penyatuan selama hampir satu abad setelah pembubaran Kekaisaran Romawi Suci. Dalamnya termasuk perang yang sengsarakan penduduk.
Adalah Otto Eduard Leopold von Bismarck, pemimpin konservatif yang mendominasi urusan Jerman dan Eropa dari tahun 1860-an sampai 1890. Medio 1860-an dia kobarkan serangkaian laga kampanye untuk satukan hegemoni Jerman di Eropa. Padahal, zaman itu Eropa memang sedang dilanda perselisihan, namun dalam trauma pertikaian.
Bismarck, aristokrat berjulukan ‘Kanselir Besi’ itu menindas demokrasi sosial, dan menedang organisasi-organisasi yang menentangnya. Dia-lah yang memprovokasi permusuhan dengan Prancis, dan mengobarkan banyak pertempuran.
Ratusan ribu serdadu berhadap-hadapan, membela siapa yang menghasut mereka. Rakyat, siapa saja tentu dianggap terlibat, paling sengsara adalah mereka sebagai korban. Jerman bersatu – dalam hal ini Prusia – punya kekuatan dua kali lebih besar dari Prancis.
Tercatat pertikaian Bazeilles, laga di Sedan: Angkatan Bersenjata Châlons dengan kekuatan seratus dua puluh ribu serdadu dipimpinan Patrice de Mac-Mahon menahan pengepungan Metz, namun cerai-berai dalam pertempuran Beaumont. Angkatan Bersenjata Meuse dan Angkatan Bersenjata Ketiga Prusia dikomando Helmuth von Moltke mendesak serdadu Mac-Mahon di Sedan. Prusia menang, Charles Louis-Napoléon Bonaparte dan serdadunya ditangkap. Pengalaman perang telah dicatat, jadi sejarah yang senantiasa membuka mata umat manusia zaman sekarang.
Diserbu dari timur laut, Prancis kalah, takluk. Jerman terlatih dan menggunakan teknologi modern dalam medan pertempuran itu. Kemudian di Frankfurt, 10 Mei 1871 — Jerman dan Prancis tandatangani perjanjian perdamaian.
Berdamai, berdagang, hidup seperti biasa, tawanan perang dibebaskan, kembali ke rumah.
Kini — selasatu — airport internasional tersibuk di dunia, ada di kota itu. Stasiun Sentral Frankfurt juga terminal stasiun terbesar di Eropa. Frankfurter Kreuz adalah persimpangan Autobahn tersibuk. Pusat keuangan dan transportasi serta pusat finansial terbesar di benua itu ada di sana.
Kota ini menjadi lokasi kantor pusat Bank Sentral Eropa, Bank Federal Jerman, Bursa Efek Frankfurt dan Pameran Perdagangan Frankfurt, serta beberapa bank besar seperti Deutsche Bank, Commerzbank dan DZ Bank ada di sana. Negara kita, Indonesia, punya konsulat jenderal di kota di sana.
Sebagaimana disebut dalam alinea pembuka: Damai dibayar mahal, namun, perang mendaur perang — proyek pertempuran akan jauh lebih fatal dan mengancam, siapapun boleh saja dimangsa maut, dan musnah. Kertas perjanjian sudah tercabik-cabik jadi abu pertikaian di bumi sebab perselisihan ternyata lebih gampang dinyalakan.
Mengingat Frankfurt, ingat berdamai. Maka, hentikan perang yang sekarang. Berdamailah. (*)