
03 Oktober 2025
Masyarakat menunggu keadilan – hukum ditegakkan. Sayang, aparatur yang mengaku ‘penegak hukum’ ternyata berkelindan dalam gurita ‘bisnis hitam’ di berbagai sektor. Penegakkan hukum, apa kabar? Tidak ada.
Jull Takaliuang
Penulis adalah Aktivis Lingkungan
Penerima N-Peace Award 2015
Editor: Dera Liar Alam
BERAPA postingan terkait hasil penelitian Green Peace dan Polnustar tentang kondisi perairan di Teluk Binebas – Sangihe, menyatakan area ini telah diindikasikan beracun dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Di facebook, ada komentar yang menyatakan bahwa Sangihe tidak termasuk dalam kategori pulau kecil. Karenanya, saya ingin lagi menyatakan untuk ke-sekian puluh kalinya tentang aturan yang tegas terkait pulau kecil Sangihe.
Di bawah ini saya cantumkan screenshot dari dokumen yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri tentang ukuran luas wilayah-wilayah kabupaten kota di Sulawesi Utara. Kepulauan Sangihe berada di urutan ketiga dengan kode 71 03. Jumlah kecamatannya ada 15, kelurahannya ada 22, desanya ada 146. Dan Luas wilayahnya 597, 260 km2. Jumlah penduduknya 136.609 jiwa.

Jadi, sekali lagi – untuk mempertegas, saya tulis ulang. Luas wilayah Sangihe adalah 597, 260 km2.
Diamanatkan UU No. 27 Tahun 2007 yang direvisi menjadi UU No. 1 Tahun 2014 menjelaskan di pasal 1 poin 3, bahwa: Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Mudah-mudahan angka dan soal ini dapat dipahami.
Kemudian, terkait redulasi yang dimaksud — UU No. 27 Tahun 2007 yang direvisi menjadi UU No. 1 Tahun 2014. Pada pasal 35 huruf k menyatakan larangan tegas: melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Jadi semuanya sangat jelas kan? Sangihe itu masuk dalam kategori pulau kecil karena jauh lebih kecil dari 2000 km2. Tidak boleh dilakukan operasi pertambangan di situ.
Regulasi tersebut dikuatkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba – pasal 134 ayat 2: “Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sekali lagi, sangat jelas dan tegas. Undang-Undang Minerba adalah produk hukum yang harus dijaga marwahnya oleh kementerian ESDM. Jadi kesimpulan – aksi dan praktik menetapkan ‘wilayah pertambangan rakyat’ di pulau kecil termasuk Sangihe adalah pelanggaran hukum yang dilakukan secara bertingkat oleh pemerintah. Siapa saja yang terlibat dalam dal ini? Gubernur tentu terlibat. Tentu saja Menteri ESDM terlibat. Legitimator lainnya adalah DPRD Provinsi yang menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah di Sulawesi Utara.
Peran dan praktik apa ini namanya? Legitimasi hukum yang ternyata justeru melanggar hukum.
Saran saya, mestinya kandidat staf ahli, janganlah mayoritas dari pelaku tambang illegal. Rekrut juga para pakar hukum independen mumpuni, sehingga bisa memberikan pertimbangan obyektif. Maksud saya, kekuasaan dan sistem tidak semata untuk tujuan cuan dan kepentingan kelompok, atau ‘balas jasa politik’ yang pada ujungnya jadi jebakan.
Sejauh ini, menurut penilaian saya, kebijakan terkait ‘guna’ tata ruang di wilayah ini jadi ‘blunder’. Amanat ‘mengurus rakyat dan wilayah’ telah dirasuki kepentingan segelintir bandar dan bandit yang tentu akan mengeksploitasi rakyat. Mereka ‘gagah perkasa’ di ruang-ruang dingin ‘pembahasan’ demi keputusan penting untuk rakyat Sulawesi Utara.
Fakta hari ini telah mengajarkan kepada kita semua, bahwa peningkatan ekonomi rakyat benar-benar harus didasarkan pada basis sumberdaya lokal, baik alam maupun manusia yang bermanfaat dan menjamin keselamatan semua masyarakat Sulawesi Utara, tentu untuk alam lingkungan boleh berkelanjutan.
Kita yang ada sekarang, masih ada anak cucu yang butuh melanjutkan hidup di tanah yang sehat, memanen sumberdaya dengan irigasi tidak cemar racun. Kita dan teturunan kita mau mengonsumsi ikan, hasil laut, dan semua yang aman dari samudera.
Namun, ketika laut, dan ekosistem di Sangihe sudah sudah tercemar, kita semua mesti waspada. Arus penyebaran ikan dan hasil sumberdaya laut dari Sangihe, pasarnya merambah berbagai titik di Sulawesi Utara. Berarti potensi paparan tidak hanya berlaku lokal. Terkait — hasil penelitian Green Peace dan Polnustar tentang kondisi perairan di Teluk Binebas – Sangihe, menyatakan area ini telah diindikasikan beracun — tentu saja dampaknya luas. Utamanya soal kesehatan masyarakat dan kita semua. Soal ini memang bukan seperti makan cabe, pedas langsung terasa. Perlahan, saat demi saat, namun semua dapat diprediksi sebelum sesal ada di ujung.
Vision saya, stakeholder negeri ini bermoral, bersinergi dalam melakukan tugas masing-masing. Misal, penegak hukum benar-benar bertanggung jawab, bertransformasi sebagaimana taglinenya, presisi. Janganlah jadi polisi tidor.
Tegakkan hukum. Meminimalisir, dan hentikan paparan sianida dan aliran limbah beracun arsenik merkuri dll yang menggelontor ke pesisir-pesisir, entah di Teluk Binebas, di Salurang, di Laine, di Lapango, di Sowaeng, dll.
Lalu, penindakan harus dibarengi proses hukum. Selama ini yang terjadi adalah perkara pidana pertambangan masih selesai dengan ‘teori delapan enam’, didiamkan dengan damai.
Ada banyak alasan menolak argumentasi dalam tulisan ini: kami mencari nafkah buat kehidupan anak isteri. Berpikirlah, bahwa bukan hanya saya atau dia dan keluarganya, keluarga kita yang ingin hidup. Semua orang Sangihe ingin hidup di ruang yang sama, aman damai.
Rasa kemanusiaan — terutama untuk tidak mengorbankan kehidupan orang banyak demi kehidupan keluarganya sendiri harus dikedepankan. Sebagaimana prinsip orang Sangihe, ‘metatengkang’. Jangan mudah dipengaruhi oleh para cukong tambang yang hanya memperkaya diri mereka sementara buruh makan remah-rtamah tidak seberapa. Bahkan mereka menghadapi resiko besar terhadap keselamatan dirinya. Pengalaman telah mengajarkan beberapa dari saudara kita meninggal di dalam lubang tambang.
Walau memang, ada yang tetap bersikukuh – bahkan (yang bersikukuh itu pemerintah kabupaten), katanya, tetap mengalir saja. Pepatah tua Sangihe akan kelak akan berlaku, ‘Maeng seng tawe kaulrikang. Hedo silaka penentiro.’
Selamatkan Sangihe ikekendage. Nusa kumbahang katumpaeng. Save Sangihe Island. Selamatkan Sulawesi Utara. Semoga kita semua dijauhkan dari segala bencana yang lebih buruk dari hari ini. (*)
Untuk verifikasi, hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak terkait informasi dan pemberitaan.