
25 Juli 2025
Syair kampanye, mengenang alinea rakyat telah sekian zaman dilangkahi: sosok pemimpin nan dipuja dikelilingi oligarki. Mimpi otonom telah tergadai kemauan instan. Demikian virus dipolitisasi — jalan itu pernah dipilih dan dijalani sistem, miskin terbengkalai.
Oleh: Daniel Kaligis
Gambar: Suatu penerbangan usai menembus tubir awan.
WAIPAREIRA BAY — mengingat penerbangan sekian menit yang rumit. Mengapa rumit? Syarat berbagai macam aturan untuk menghalang gerak petualangan. Jalan-jalan dipalang dengan alasan pandemi, airport sunyi, dan raut curiga ada di mana-mana. Saya catatkan ulang: Pada mindset paternal, semesta hanya lahirkan kelamin-kelamin, jantan betina, 2013. Nun, pada tiga belas tahun lampau Winar mengirim syair untuk ditanggapi kawan-kawan. “Serupa goresan cinta, pudar di tetesan hujan. Serupa mekar bunga kemboja, tebar di lembah kesunyian.”
Sikka, pagi dipeluk kabut, di atas Teluk Pedang menggambar Laut Flores, Labuan Bajo, Ende, Tabana, Nobo, Lamakera. Obrolan di Fransiskus Xaverius Seda Airport, 01 Juli 2020: Saya, seperti biasa, mengeja ulang ingatan manakala interview, edit gambar, ngantuk, beberapa ketika menyimak peta, lalu menera resume pengembaraan.
Membaca estorië hari ini: Malam, 25 Juli 1646 — sekelompok orang — ada 107 serdadu Belanda, ada 60 pelaut, ada 20 penempur Kapahaha dipimpin Verheyden tiba-tiba menyerang Benteng Kapahaha, dan wilayah itu ditaklukan.
Rakyat Kapahaha yang ditangkap pada Perang Kapahaha disebut ‘Hausihu’, bermakna bau terbakar. Perang Kapahaha dikenal sebagai Perang Ambon IV atau Ruhmpius. Benteng Kapahaha memang dibakar VOC. Dalam bahasa tanah, yakni lani atau kapata, mengejanya, ‘Elya Kapahaha Lia Putu Mahalasa’, bermakna, Kapahaha musnah dilalap api.
Benteng alami, itu Benteng Kapahaha. Area itu telah ada ribuan tahun silam sebelum huruf dikenal, hunian ‘Rijalal Gaib’ di Gunung Salahutu. Kapahaha saksi sunyi perjuangan Kapitan Telukabessy.
Hanya kisah ditera tinta sejarah, nanti kita tarik benang-merahnya untuk fakta-fakta yang berlangsung hari ini, sebab rindu menghentar kita ke sana.
Port 2010: I’ll cherish all the thoughts you gave to me — jelajah malam di tubir awan, ingin kembara udara ini berujung pagi. Embun tak sempat menguap ketika pijak rindu mengental. Di jejak cakrawala leluasa intai cahaya, dan mengerti, from port to part, ternyata sunyi itu nyata. Real.
Alinea rakyat: pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, pencegahan kerusakan lingkungan, perlindungan lingkungan hidup — perlindungan hak asasi manusia, kesetaraan gender, peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan kualitas kesehatan, keadilan sosial dan seterusnya — subsidi untuk rakyat miskin, peningkatan lapangan pekerjaan, perbaikan infrastruktur, turunkan harga kebutuhan pokok — pemberantasan korupsi, penegakan hukum, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, transparansi pemerintahan.
Apa terjadi? Alinea rakyat itu sunyi – paragraf itu serupa goresan cinta, pudar di tetesan hujan. Serupa mekar bunga kemboja, tebar di lembah kesunyian. Suara rakyat hanya didengar untuk abai sekian masa, hingga muncul lagi sosok pemimpin pemimpi yang dikerumuni oligarki.
Alinea kampanye – visi, misi, program, antikorupsi, keadilan, kesetaraan, transparansi, dorong ubah perilaku, pertumbuhan ekonomi, tingkatkan kesejahteraan, dorong penggunaan produk dalam negeri.
Rakyat dan sistem sama-sama enggan berkaca, enggan berubah, enggan evaluasi. Gusar membaca pasal-pasal berisi huruf tebal regulasi: Katanya, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Katanya negara dalam hal ini sistem menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, berpendapat, dan beragama. Katanya ada persamaan kedudukan warga negara di mata hukum. Ada hak atas pekerjaan. Ada hak hidup layak. Coba berkaca. Zaman lampau, Benteng Kapahaha dibakar VOC. Hari ini, benteng rakyat dibakar hoax yang sengaja dipanjangkan gelegar suaranya oleh sistem.
Alinea ini panjang sebagai ulangan tajuk ‘Kampung, Kota, atau Negara tanpa cita-cita’. Karena lebih baik menjadi pikun, supaya berbagai statement penguasa tak jadi mendesak otak sadar kita. Beberapa hari lalu pesan kepedulian kita dengar lalu kita ucapkan, seperti politik yang selalu melontarkan kecurigaan! Sejarah ngeri negeri sedih compang-camping kini dan terus mengembara mengumumkan mimpi-mimpi kaya. Dihasut sejuta kata sosialisasi integrasi basi. Kita menabuh genderang perang, pedang patah arang. Di tanah sendiri, urban tumbuh pesat sebagai dampak sumber-sumber ekonomi gagal ditumbuhkan di basis rakyat. Kampung kini adalah ramai proposal menempatkan kota sebagai highway menuju masa depan.
Benang merah persoalan, fakta di mana kampung hari ini adalah terminologi sepi, yang mungkin saja tak terjangkau kelitik good governance membombardir korupsi, sebab boleh dikata arus uang yang tiba di tangan terjauh pemerintahan di negeri ini peruntukannya bagi kampung adalah menyasar mereka-mereka yang dikenal saja, orang-orang ‘dekat tungku kuasa’ untuk menghangatkan senyum pura-pura, hasrat tersimpan dalam kantong kepentingan.
Fakta sosialisasi good governance bukan salah satu jalan keluar yang mesti ditempuh. Regulasi berpihak rakyat musti ditelurkan dan dijalankan sepenuh hati. Walau, kerja keras membela kaum kecil yang dibahasakan sebagai keprihatinan para elite terhadap rakyat, sering terbantah. Sudah kita menabuh good governance dengan berbagai judul kritis, hasilnya sama saja, tuli dan tak mempan di hati.
Makin jauh anda bertualang, semakin banyak yang dilihat. Semakin nyata contoh fakta-fakta alinea kampanye ternyata ‘omon-omon’ di banyak tempat. Ulangi lagi: Alinea kampanye merasuk dengan mindset paternal, rakyat hanya kelamin-kelamin yang kapan saja dapat diusir dari wilayahnya oleh kepentingan sistem. Begitu fakta yang dapat anda simak dalam gemuruh badai sistem.
Kita menjejak post-truth: orang-orang ragukan otoritas, ragukan institusi, ragukan para ahli, ragukan negara dan sistem. Bila hendak menonton komedi, bukalah lembar berita. Tontonan, para pura-pura ahli menyihir rakyat dengan kampanye. Para pentokar pemimpin pemimpi dikerumuni oligarki dan tukang jilat.
Mengapa ongkos bertualang jadi mahal? Jawab lain kali saja! Mengapa rakyat tidak boleh paham banyak hal dalam bertualang? Coba anda jawab. Apakah benar bahwa memang rakyat tidak penting untuk paham sejarahnya dan tualangnya? Sistem punya jawaban sendiri untuk sejumlah deret pertanyaan alinea rakyat.
Rakyat, buka lagi sejarah — sambungkan fakta-fakta data zaman silam dengan fakta-fakta data hari ini. Baca sejarahmu, sejarah yang telah disulap sekian kali menjadi alinea kampanye.
Tetap dan tatap tuntut kedaulatan rakyat. (*)