24 Juli 2023
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Samudera terima sisa-sisa
DESK 17 opini menderas, teks dirangkai dari sana untuk hari penat. Iklan layanan memang merdu: Transportasi memainkan kunci utama dalam pergerakan logistik sehingga strategi penetapan tarif jadi isu penting dalam sistem transportasi. Rakyat kurang logistik, kurang pikir. Dalam tataran sama, pemegang kuasa juga kurang pikir. Regulasi peningkatan usaha kecil menengah arahnya instan dan tingkatkan akumulasi pergandaran plastik. Di titik sama, produk lokal dikerjakan asal jadi. Sampah ada di mana-mana dari hilir sampai hulu. Siklus ini bisa dibolak-balik, silahkan tentukan sendiri mau melihatnya dari sisi mana, mau mulai di mana. Hitungannya berujung sisa-sisa.
Dari rimba raya, dizkusie sajak koffie: Tamu datang berkawan. Dia tutur airport semrawut, kumuh ditebari karpet upacara, tarif berasumsi p.a.d. tax, etc. “Jalan berlubang macet itu indikasi dana rakyat diterkam para rompak. Gemuk mengaku miskin. Di sini banyak poster jual regulasi jual janji jual plastik serta larangan-larangan berhalangan.” Orang-orang berfoto, fashion show dan tarian telah dikurung pagar sombong beracara berbicara memekik minta ditonton.
Awan-awan kuning tua di ujung tanjung, warung-warung berderet, penggoda ajak duduk di tenda dekat laut, lampu-lampu mulai nyala seperti obor di buritan sampan nun jauh di seberang danau nan gulita. Begitu ingatan deras di kepala membandingkan wanua-wanua di jazirah utara dengan kota baru yang dirancang seperti Vegas. Kawan genggam mandau, menyandang ketopong, pamerkan senyum dan marah. Dia penari. Sorot mata sayu bengis, saya kokang kamera.
Jalan berlubang memang isu seksi dan panas. Beberapa hari silam datang di airport dan mendapati ongkos jalan ternyata makin tinggi, belum lagi urusan zona yang kabur dikomunikasikan oleh penyedia layanan angkutan jalan. Rakyat, dalam hal ini pengguna jasa angkutan berharap pelayanan sebaik mungkin dengan tarif terjangkau. Apa boleh buat, kadang terpaksa, dinikmati saja. Meski telah lama diketahui yang mana pengeluaran masyarakat untuk biaya transportasi di kota-kota besar di Indonesia ini sangat tinggi, yaitu sekitar 25 persen – 30 persen dari jumlah pendapatan dibandingkan dengan Singapura yang hanya sekitar 7 persen dan Jepang 8 persen. Fakta kenaikan tentu saja memangkas dana yang dipersiapkan untuk hal lain yang lebih berguna dalam hidup. Maka, bila bosan dan ribet dengan urusan angkutan, kami putuskan jalan kaki saja.
Data pada paragraf di atas itu sudah lebih sepuluh tahun ada di situs Kementerian Perhubungan. Sering, percuma bicara, penyelenggara kuasa punya kaki-tangan yang menghisap ongkos di mana-mana tempat. Rakyat selalu diintip ke mana pun melangkah. Anggap patut, jalan berlubang, ongkos naik, pajak yang tidak kembali dalam bentuk layanan. Tak digugat, karena memang masyarakat tak terbiasa pada pikiran kritis. Santai saja, walau dunia sudah melayang dengan terminologi baru menuju planet-planet lain di angkasa.
Diskusi coba saya rangkum dari meja berderet tamu-tamu. Orang-orang berganti, pergi dan datang. Masih deras tukar pikir. Perampasan penghisapan rakyat gampang diduga, regulasi semakin gemuk.
Malam menyamarkan lubang-lubang, kami beranjak jauhi laut. Cari cairan pahit penyegar otak yang hendak meletus. Negeri ngeri kaya seminar, dilarang berpikir – dilarang nyampah mesti didesak teks walau tak mempan sebab kebal dogma kebal malu murah tertawa mudah diprank mujizat.
Harga kopi segelas di sini 5K – memang sangat terjangkau – plus ongkos kirim dari pabrik 50K plus PPN plus service plus biaya bank. Aggregate, malas ngitung. Kami tualang, asing dan asin. (*)