Friday, April 19

Adat dan Adab di Abad Digital


30 Januari 2022


Oleh: DAX
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula


DOA sajak tak digital, dilayangkan Ruth Ketsia Wangkai untuk sajian membuka Edisi Kuncikan di Minteng Coffee & Resto, Sendangan – Tompaso, Minahasa, 30 Januari 2022, ‘Bacirita Awal Taon’, digagas Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) cabang Minahasa dan SUMIKOLA – Sekolah untuk Milenial Kristen Ora et Labora.

Kita berada di wanua, yaitu kampung di mana ada situs wisata budaya, Watu Pinawetengan. Makawale acara, Helty Rorimpandey, M. Kes, Ketua GAMKI Minahasa, menyapa semua yang hadir onsite. Rindu dihentar ramai digital ke lokasi ini, mengingat pembagian Tountemboan, Tombulu, Tolour, Tonsea, dan Panosakan – Tonsawang. Melky Nender, Wakil Ketua GAMKI Minahasa bidang Gereja dan Lembaga Keumatan, jadi moderator acara ini.

Berikut ini dua bait kutipan:
“Sekali waktu warga Kali harus berperang melawan se-sakit, roh-roh jahat yang mengembara tanpa kelihatan. Kehadiran mereka hanya diketahui bilamana daun te’ep — semacam palem, artopacus blume — bergoyang. Untuk melawan mereka, penduduk harus menggunakan satu batang lidi dari pelepah aren. Jika daun te’ep bergoyang, mereka harus memukulnya beberapa kali sampai daunnya mengeluarkan noda, darah. Itulah tandanya bahwa roh-roh jahat itu telah mati. Lalu orang-orang menyangka bahwa semua roh-roh jahat itu sudah dimusnakan, padahal mereka keliru, karena masih ada tiga roh jahat yang bersembunyi pada sebatang pohon aren.”

“Diceritakan selanjutnya, bahwa pada malam hari, saat penduduk tertidur roh-roh jahat keluar dari persembunyiannya dan mengambil beberapa keluarga sebagai mangsa. Keesokan harinya, penduduk melihat ada tiga tangga rumah tidak diturunkan. Itu tanda bahwa roh-roh jahat telah memangsa orang-orang di tiga rumah itu. Maka, penduduk menjadi sadar, mereka telah dikalahkan roh-roh jahat. Nah, sebagai cara untuk membujuk roh-roh jahat tersebut, warga Kali membuat sebuah ritual khusus, yaitu fosso mangelur.”

Nah, dua bait itu ditulis Paul Richard Renwarin, antropolog Minahasa di bukunya Matuari wo Tona’as, 2007, mengisahkan peristiwa di desa Kali, Pineleng, Tombulu. Cerita ini tentang kebiasaan tempo dulu orang-orang Kali menghadapi ‘roh-roh jahat’ yang datang menyerang komunitas mereka. Berikut penggalan cerita yang dikutip Renwarin dari J. Louwerier dari artikelnya De Legenden Van Kali, een negerij in de Minahassa, 1883, diurai lagi oleh Denni Pinontoan dalam tulisan bertajuk ‘Kuncikan’.

Pandemi, sakit penyakit – diusir, diritualkan dalam pelaksanaan ‘kuncikan’: “Figura itu sela satu kegiatan untuk mengeco. Peran lelaki dikira perempuan, perempuan dikira lelaki.” Begitu Denni Pinontoan, Direktur Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, membuka diskusi, menjelaskan bahwa kuncikan — tradisi awal musim di tanah Minahasa yang berbeda dengan penanggalan Eropa — mangelur: menata, mengatur kosmos, membersihkan kampung atau wanua atau roong, lewat ritual memulai ‘fase baru kehidupan’, memberi sesajen, makan-makan, dengan semesta, maumper mengundang leluhur. Orang-orang di wanua duduk satu sesajian dengan alam semesta.

Lebih lanjut disampaikan Denni, “Fosso mangelur kemudian dipakai sebagai cara membersihkan wanua pada saat padi akan mulai ditanam. Salah satu yang mereka lakukan adalah menipu roh-roh jahat itu dengan bertindak aneh. Misalnya, memakai tiga daun di atas kepalanya. Ada sembilan ternak babi, ada sembilan ekor ayam, dan ada sembilan butir telur disajikan. Ini tanda bahwa penduduk wanua tidak akan lagi berperang melawan roh-roh jahat itu.”

Jeffry Liando, Planning Analytics Consultant, tinggal di Australia, menjelaskan abad digital sudah dimulai sejak Perang Dunia Kedua. “Abad digital untuk kemajuan ekonomi sosial budaya dan hak asasi manusia. Barcode muncul 1951. Sistem informasi, perangkat keras perangkat lunak yang terintegrasi, sistem informasi desa dan informasi dunia mesti dikuasai.”

“No meeting without eating, kami yang onsite boleh nikmati goroho goreng dan ubi rebus,” ujar Ruth Ketsia Wangkai, Koordinator Gerakan Perempuan Sulut. Di kesempatan ini kita sementara mencipta ‘adat baru’ menjawab tantangan abad digital, membangun perspektif yang siap memberi mana di abad digital.

Yanny Y.A. Marentek, Penasehat GAMKI, mengatakan bahwa generasi muda jadi pelaku digital. “Memberi penguatan mengedepankan praksis Kristus dalam program kerja GAMKI.”

Kuasai abad digital. Begitu ditera Karel Nayoan, mantan dosen, panelis, dan senior di GAMKI, menyebut, “Jangan berhenti sebagai pengguna medsos. Perdalam kemampuan digital, kontemplasi ulang ilmu teologi. Bahwa literasi digital itu mesti baca, pahami, teliti, dan dikuasai.”

Abad digital, ada pilihan memperkuat adat, atau hanyut dan jadi sisa-sisa di peradaban yang terus mengalir. Begitu. (*)