Friday, November 7

Selalu Setuju


07 November 2025


Dunia tidak butuh lebih banyak orang yang pandai mengangguk, tapi orang yang berani menggunakan akalnya dengan sadar.


Dipetik dari Dinding FB Shinta Miranda


Bila kata setuju untuk insting sosial, itu tanda bukan bukti berpikir. Critical Thinking, bukan magical thinking atau sejenisnya karena adanya tekanan kelompok.

SETUJU itu nyaman. Tidak menimbulkan konflik, tidak memancing debat, dan membuat kita diterima dalam kelompok. Tapi di balik kenyamanan itu, ada bahaya yang sering luput disadari: otak berhenti bekerja. Ketaatan tanpa refleksi membuat manusia kehilangan daya pikirnya sendiri. Dunia dipenuhi orang yang tampak pintar, tapi sebenarnya hanya mengulang apa yang dikatakan mayoritas.

Dalam riset klasik Solomon Asch tahun 1951, terbukti bahwa 75 persen orang rela memberikan jawaban salah hanya karena tekanan kelompok. Artinya, sebagian besar manusia lebih takut berbeda daripada salah. Fenomena ini bukan cuma terjadi di ruang eksperimen, tapi di kehidupan nyata: di kantor, di media sosial, bahkan di keluarga. Ketika kita selalu berkata ‘ya’, tanpa merenung apakah setuju itu benar, kita kehilangan inti dari berpikir kritis—kemampuan menilai sesuatu dengan sadar, bukan sekadar ikut arus.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengiyakan pendapat atasan, menyetujui opini teman, atau mengamini berita viral hanya karena tidak mau terlihat ‘bermasalah’. Padahal, justru dari ketidaksepakatan-lah ide besar lahir. Einstein tidak setuju dengan pandangan Newton. Socrates dibenci karena mempertanyakan yang dianggap benar. Maka, jika kita selalu setuju, mungkin yang mati bukan nalar orang lain—tapi milik kita sendiri. Mari bedah tujuh alasan mengapa ‘selalu setuju’ adalah tanda bahaya bagi daya kritis.

PERTAMA:
SETUJU ITU INSTING SOSIAL, BUKAN BUKTI BERPIKIR

Otak manusia secara alami dirancang untuk mencari penerimaan sosial. Kita lebih suka diterima daripada benar. Itulah sebabnya banyak orang menahan pendapatnya agar tidak menimbulkan ketegangan. Contohnya sederhana: dalam rapat, ketika bos memberi ide yang jelas-jelas cacat logika, semua orang mengangguk. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena tidak ingin tampak menentang.

Berpikir kritis justru dimulai dari kemampuan melawan insting sosial itu. Menyampaikan pendapat berbeda tidak harus dengan nada keras; cukup dengan bertanya “apakah kita yakin ini cara terbaik?” Kebiasaan sederhana ini menyalakan ruang berpikir di tengah tekanan konformitas. Di LogikaFilsuf, ada banyak pembahasan eksklusif soal bagaimana keberanian intelektual bisa dibangun tanpa kehilangan etika berdiskusi.

KEDUA:
SELALU SETUJU MEMBUNUH RASA INGIN TAHU

Ketika kita setuju terlalu cepat, rasa ingin tahu berhenti. Kita tidak lagi bertanya ‘kenapa?’, ‘bagaimana?’, atau ‘apa alternatifnya?’. Misalnya, seseorang berkata, “Media sosial bikin bodoh.” Dan semua mengangguk. Tidak ada yang bertanya: Bodoh dalam hal apa? Dibandingkan siapa? dan apakah ada manfaat di sisi lain? Padahal, pertanyaan seperti itu adalah bahan bakar logika.

Rasa ingin tahu adalah jantung dari berpikir kritis. Rasa itu mendorong kita untuk menggali lebih dalam sebelum percaya. Orang yang kritis tidak puas dengan jawaban yang enak didengar, mereka mencari penjelasan yang masuk akal. Setuju tanpa bertanya sama dengan menutup pintu terhadap kemungkinan berpikir lebih luas.

KETIGA:
KETIDAKSEPAKATAN ADALAH TANDA OTAK BEKERJA

Banyak yang salah paham: Berpikir kritis bukan berarti suka membantah, tapi berani menguji. Jika seseorang menyodorkan gagasan dan kamu secara otomatis setuju tanpa pertimbangan, berarti kamu tidak benar-benar berpikir. Ketidaksepakatan adalah mekanisme alami untuk menguji kebenaran. Tanpanya, ide hanya berputar di ruang gema tanpa tantangan.

Contohnya mudah dilihat dalam dunia kerja. Tim yang selalu sependapat mungkin tampak kompak, tapi sering menghasilkan keputusan lemah karena tak ada yang berani mengkritik. Sementara tim yang berdebat sehat justru lebih kreatif. Perbedaan pandangan bukan ancaman, melainkan tanda bahwa otak kolektif sedang bekerja.

KEEMPAT:
TAKUT BEDA ADALAH BENTUK SENSOR DIRI

Banyak orang tidak sadar bahwa ketakutan untuk tidak setuju adalah bentuk sensor diri paling halus. Ia membunuh potensi berpikir sebelum lahir. Di ruang diskusi publik, banyak yang memilih diam bukan karena tak punya ide, tapi karena takut dianggap melawan arus. Inilah bagaimana masyarakat kehilangan suara-suara penting hanya karena budaya ‘asal aman’.

Padahal, tidak semua ketidaksepakatan harus disampaikan dengan frontal. Kadang cukup dengan mengajukan pertanyaan reflektif seperti, ‘Kalau cara ini gagal, apa rencana cadangannya?’. Pertanyaan lembut tapi cerdas bisa menggoyang dogma tanpa memicu konfrontasi. Orang yang mampu berpikir kritis tahu kapan harus bicara dan kapan bertanya agar pikirannya didengar, bukan ditolak.

KELIMA:
SETUJU TERLALU CEPAT MENUMPULKAN LOGIKA

Setiap kali kita menyetujui sesuatu tanpa menimbang, otak kehilangan kesempatan untuk menganalisis. Lama-lama, kemampuan menalar menumpul. Ini seperti otot yang tak pernah dilatih. Contoh paling nyata ada di media sosial: opini yang paling keras sering disetujui paling cepat, padahal belum tentu benar.

Berpikir kritis adalah latihan melawan kecepatan. Saat ada pernyataan viral, tahan sebentar sebelum bereaksi. Cari konteksnya, lihat datanya, pahami siapa yang berbicara dan dengan tujuan apa. Sikap ini bukan berarti skeptis berlebihan, tapi memberi waktu agar logika tidak tertinggal oleh impuls.

KEENAM:
ORANG KRITIS TIDAK TAKUT SALAH

Salah satu alasan orang selalu setuju adalah takut salah sendiri. Mereka berpikir, “Lebih aman ikut mayoritas.” Padahal, kesalahan adalah bagian penting dari belajar berpikir. Setiap kali kita keliru, otak memperbarui peta pengetahuannya. Orang yang berani berbeda tahu bahwa kesalahan bukan akhir, tapi awal dari kejelasan.

Jika kamu berani mempertanyakan opini umum, bukan berarti kamu sombong. Justru kamu sedang menguji batas nalar bersama orang lain. Di LogikaFilsuf, sering dibahas bagaimana kesalahan dapat menjadi jalan menuju kebijaksanaan, bukan sesuatu yang harus dihindari. Berani berbeda bukan untuk menang, tapi untuk tumbuh.

KETUJUH:
KRITIS ITU BUKAN MENENTANG, TAPI MEMAHAMI LEBIH DALAM

Ada kesalahpahaman besar bahwa berpikir kritis identik dengan menolak. Padahal, berpikir kritis justru mencari pemahaman yang lebih jernih. Orang yang kritis tidak asal menyangkal, mereka mendengarkan, menimbang, lalu memutuskan berdasarkan logika dan nilai. Mereka tidak alergi terhadap pandangan berbeda, tapi juga tidak mudah tunduk pada tekanan kolektif.

Sikap ini menciptakan kedewasaan intelektual. Dalam pertemanan, pekerjaan, atau keluarga, kemampuan berpikir kritis membuat kita bisa berdebat tanpa membenci. Kita tidak terjebak dalam polarisasi, karena tujuan berpikir bukan memenangkan argumen, tapi menemukan kebenaran yang lebih dekat dengan realitas.

Selalu setuju bukan tanda kepintaran, tapi tanda bahwa kita berhenti berpikir.

Dunia tidak butuh lebih banyak orang yang pandai mengangguk, tapi orang yang berani menggunakan akalnya dengan sadar.

Mulailah mempertanyakan hal-hal yang selama ini kamu amini begitu saja. Karena berpikir kritis bukan tentang melawan orang lain, tapi melawan rasa malas berpikir dalam diri sendiri. Jika kamu ingin memperdalam cara berpikir seperti ini dengan pendekatan reflektif dan eksklusif, temukan pembahasannya di LogikaFilsuf. Bagikan artikel ini dan tuliskan di kolom komentar: Kapan terakhir kali kamu berani tidak setuju, dan apa yang kamu pelajari darinya? (*)