
20 September 2025
Layanan makan minum luar biasa: rencana menu, masak, saji, pesta di banyak titik. Kiti Kirana sebut MBG itu sebagai Katering Politik Prabowo. Sambil nanya, sudah dengar program makan bergizi gratis? “Hai, saya Kiti Ruth Kirana, Gen-Z – Master Kebijakan Publik dari Tsinghua University China.” Selamat, kamu hidup di Indonesia tahun 2025.
Oleh: Dera Liar Alam
EVALUASI program prioritas: sistem menyantuni lapar dan gagal tumbuh – sikap halus baik budi bahasa mengakali infeksi yang berulang, ditambah perkara asupan gizi kronis ada di mana-mana. Namun, negeri ini bukan baru sekedar seribu hari kehidupan menyoal lapar dan gagal tumbuh, bonus demografi, dan sistem yang rakus.
Saya menjawab @Jobpaul yang mention nama @Salsa, bahwa, sistem keras tengkuk akan bertahan pada program rawan diselewengkan — sorot untuk ‘makan bergizi gratis’ telah sekian lama berlangsung dan terus dimanipulasi.
Di mesin pencari, dengan kata kunci ‘mbg’, rekomendasi klik paling atas muncul kabar ‘keracuan dan mbg bermasalah’. Di Kompas.id ada judul ‘Keracuan MBG Berulang, Menerima atau Trauma’, artikel itu ditulis Saiful Rijal Yunus, 19 September 2025. Masih di hari yang sama, Rangga Musabar dari detik.com menulis ‘Dapur MBG di Banggai Kepulauan Disegel Usai Ratusan Siswa Keracunan’.
Sistem keras tengkuk memang enggan evaluasi, masih terus berkampanye. Urusan perut sama dengan urusan beras. Mindset rakyat diseragamkan kampanye beras, hak-hak ditukar paket beras dan ada segepok amplop dibagi-bagi, isinya lunas menggadai harga diri lapar beras. Di ‘Ngoplos Saraf Beras’, saya sebut, bahwa — saya mencermati kabar berita mengupas babak ‘beras spanyol’ yakni ‘beras separuh nyolong’ disajikan berapa kantor pemberitaan nasional. Bila membaca ‘Robohnya Moral Kami’ ditulis Soenjono Dardjowidjojo, dipublikasikan Yayasan Obor Indonesia, 2005, di situ di halaman 95 anda dapat membaca kisah ‘beras spanyol’ itu dikutip dari Kompas. Cari ceritanya, majalah Tempo pernah mengulasnya di ‘Menangkal Serbuan Beras Spanyol’, Minggu, 23 April 2000. Sekian waktu berkampanye, soal masih sama: Urusan MBG juga terkait perkara beras naik harga atau langka ngilang dari pasar dan proyek-proyek politik.
Tentang MBG, Friska, kawan saya yang menetap di Jakarta menulis panjang lebar. Kritiknya dia sampaikan di sosial media, 20 Agustus 2025. Ada beberapa alinea yang nanti saya edit dan boleh anda cermati di bawah ini.
Baca juga:
🖇 Ngoplos Saraf Beras’
Friska bilang, “Saya tahu tulisan ini mungkin tidak akan didengar, tapi saya percaya suara kita tetap penting. Kita tidak bisa diam melihat arah pendidikan bangsa ini melenceng. Di saat kualitas pendidikan kita masih darurat, pemerintah justeru sibuk menggelontorkan ratusan triliun untuk proyek yang gampang sekali dimanipulasi. Funny thing is: we keep hearing ‘education is the priority’, but when you look closer at the budget, it feels like the priority is feeding stomachs, not brains. Kenyang itu penting, tapi apa benar pendidikan cukup diukur dari perut yang terisi?”
Hampir separuh anggaran pendidikan 2026 diarahkan ke program MBG: Sekitar Rp.335 triliun dari total Rp.757,8 triliun. Di atas kertas terlihat mulia, tetapi praktiknya di banyak daerah justeru berubah menjadi ladang bisnis, dan kualitas menu kerap tidak sebanding dengan uang rakyat. Apakah ini benar-benar tepat sasaran?
Saya melihat MBG di beberapa sekolah. Quality menu? Meanwhile, lunchbox Kylie cuma Rp.15.000 – bayar pribadi – di sekolah dan perumahan cukup elit dengan menu lengkap: protein jelas – chicken steak atau ikan fillet, carbs, sayur kukus, buah, plus dessert pudding atau jelly bahkan sampai fettuccini ala resto. Cuma 15 ribu!
Kalau dengan Rp.335 triliun kualitas MBG masih kalah jauh, uangnya ke mana? Ini pertanyaan kebijakan, bukan serangan kepada penerima manfaat. Tidak masuk akal rasanya APBN pendidikan diarahkan untuk sekadar mengenyangkan perut. Pertanyaannya: perut siapa yang sebenarnya dikenyangkan?
Disclaimer: MBG di daerah 3T –tertinggal–terdepan–terluar– jika tepat sasaran akan sangat membantu anak-anak yang membutuhkan. Saya tidak mempermasalahkannya, itu penting, bahkan bisa menjadi penyelamat gizi. But, dalam praktik nasional, jangan sampai program ini hanya jadi proyek politik dan ladang bisnis yang merugikan kualitas pendidikan.
Sementara itu, scholarships & quality improvement pendidikan dipangkas habis-habisan. Padahal Indonesia masih darurat learning poverty: sekitar 53% anak usia kelas akhir SD belum mahir membaca pemahaman (World Bank, 2023). Secara global, di negara berpendapatan rendah atau menengah, ada 7 dari 10 anak usia 10 tahun tidak bisa membaca teks sederhana. Alarm ini jelas: we need to fix learning, not just bagi-bagi makanan.
Dan lucunya pendapatan anggota DPR – gaji + berbagai tunjangan – kini lebih dari Rp.100 juta per bulan setelah adanya tunjangan rumah Rp.50 juta per bulan. Kontras, sementara guru di pelosok masih berjuang untuk hidup layak. Wtf!
Sebagai warga negara, I have the right to speak up. Saya pilih Presiden & Wapres, dan jujur saja, saya nggak pernah segemes ini sama kebijakan politik Indonesia! Kadang saya apatis dengan politik, tapi kali ini rasanya tidak bisa kita diamkan begitu saja.
Saya menulis ini bukan sekadar emosi. Guru kami meninggal dalam pengabdian di tanah yang belum tersentuh negara. Kami mendirikan yayasan swasta tanpa sponsor untuk turun memanusiakan manusia: tetap di saat yang sama harus memikirkan gaji guru kami, biaya operasional, dan masa depan murid-murid di sana.
Kalau anggaran pendidikan hanya dihabiskan untuk proyek yang mudah dikorup supply chain-nya, siapa yang menjamin kualitas belajar, beasiswa, pelatihan guru, dan akses pendidikan yang adil?
Di mana hati para pejabat yang enak sekali melakukan pemborosan tunjangan dan anggaran di saat kualitas pendidikan dasar kita sedang darurat. Pendidikan bukan untuk mengenyangkan perut pejabat. Pendidikan harus mengenyangkan akal dan membuka masa depan. At the end of the day, what we really need is simple: bukan sekadar nasi di piring, tapi ilmu di kepala dan harapan di hati anak-anak kita.
Friska bilang, “Pendidikan bukan hanya soal angka di anggaran, tapi soal amanat iman: mencerdaskan kehidupan bangsa, memuliakan Tuhan lewat generasi yang takut akan pencipta-Nya, dan siap membangun negeri.” Ada sebelas alinea dari Friska tercatat dalam artikel ini, entah penyelenggara negara mau membacanya, mau memperhatikan. Mau membaca mungkin saja. Evaluasi dan memberi perhatian, merombak jalan korupt, siapa sangka? Mujizat bela rakyat. Mereka cenderung membela urusan perut dan urusan kursi kekuasaan saja.
Ternyata pemerintah membaca. Prasetyo Hadi, Menteri Sekretariat Negara Indonesia, menyebut hal keracunan bukan kesengajaan, dan minta maaf atas nama pemerintah, “Kami atas namanya pemerintah dan mewakili Badan Gizi Nasional, memohon maaf karena telah terjadi kembali beberapa kasus di beberapa daerah.” Artikel ditulis Rahel Narda Chaterine dan Ardito Ramadhan di Kompas.com, ‘Istana Minta Maaf Banyak Keracunan Massal MBG, Janji Evaluasi’, 19 September 2025.
Editorial berulang. Ketika sarapan belum siap, kita telah disuguhi kabar, berita cerita. Gambar-gambar, video, deretan huruf kampanye, ayat-ayat menidurkan enggan siuman. Coba ganti isu beras isu palsu. Masih ada yang ngoplos isu, menambahkan gamang risau. Pesan hari ini evaluasi.
Kita memang akan terus mengulangi tiap pesan, bukan hafalan: Kesejahteraan petani Indonesia masih rendah. Sejahtera di atas kertas, di lembar-lembar statistik, survei, diduga hidup layak, dianggap punya akses sumberdaya, akses pendidikan, akses kesehatan, akses fasilitas dasar. Semua masih diselesaikan dengan diduga dianggap diasumsikan. Padahal, boleh cari tahu sendiri, boleh rasakan sendiri, semua susah dan ternyata terbatas, atau sengaja dibatasi.
Memang gampang berargumen, menyebut bukan kesengajaan. Terdengar gampang mengumbar janji evaluasi terhadap ‘katering politik’ itu. Tapi, bagaimana menangkis fakta peristiwa keracunan berulang dengan maaf saja? Judul dan peran masih sama, sama-sama ambigu. Massal dan banyak bermakna sama, sama-sama terjerumus, terbabit.
Sapa Indonesia, siaran yang ditayang KompasTV, kabarkan ‘Istana Buka Suara soal Keracunan MBG di Sejumlah Daerah: Ini Jadi Bahan Evaluasi’, dikomentari banyak penonton: “Pemerintah tidak usah malu-malu setop MBG, alihkan saja ke sekolah gratis,” sebut @kasmansembiring. Usul @koinjutawan, “Setiap provinsi dan kabupaten harus ada pabrik MBG.” Siapa saja boleh bersuara. Sistem dikritik, sistem dan nama tidak ada pernah cemar semau blackletter of law yang senantiasa gahar mencari mangsa rakyat miskin argumen, miskin literasi. Apa kata @Nurch? “Prabowo, anda mengeluarkan sepeser uang rakyat, tapi tidak tepat sasaran. Ingat umur anda sudah tua sekali. Jadi, pertanggung-jawabkan di akhirat. Ajal anda sudah dekat. Di sisa umur anda seharusnya bijak dalam mengambil Keputusan.”
Komen telah diedit searah maksud tak merombak esensi. Suara-suara teramat banyak. Gampang bersuara, gampang dibantah. Praksis masih tetap belum seturut isi komen, isi kampanye. Pemerintah bikin pernyataan, terbanyak janji surga, mengawang-awang, memberi komen semau-mau isi perut.
Janji pemerintah, sebagaimana digubris Kiti Kirana, anak-anak makan gratis, sehat, bergizi, setiap hari. Tapi faktanya ribuan anak keracunan. Uang rakyat bocor. Proyek aneh-aneh muncul. Tahun 2025 pemerintah menggelontorkan Rp.52 triliun untuk program MBG, targetnya delapan puluh juta anak penerima Rp.15,000 per piring. Apa yang terjadi di lapangan? Di Garut, lebih dari 560 siswa keracunan. Di Banggai 250 siswa sakit setelah makan MBG. Di Banjarnegara 156 santri keracunan. Berdasarkan data, total sudah lebih dari 5000 anak terdampak keracunan, sakit, gara-gara program MBG. Dan menurut laporan media, uang Rp.15,000 per porsi per anak sering hanya tinggal 8-10 ribu di meja anak. Sisa dananya hilang entah ke mana. Lalu kenapa program ini tetap dipaksakan? Tentu karena program ini bukan soal gizi, tapi soal politik. Patronase, pejabat bagi-bagi proyek ke kroni supaya dapat loyalitas. Klientelisme, proyek diberikan dan ditukar dengan dukungan politik. Mesin patronase klientelisme terbesar dalam sejarah Indonesia – program makan politik.
Ada yang bicara dampak positif. Padahal ada dapur MBG yang tutup karena belum dibayar. Kasus keracunan ada di mana-mana. Kawan M.J. Sinaga bilang, “Tak ada perputan uang di masyarakat karena MBG, selain uang mengalir pada kroni.” Lebih jauh ada karyawan dapur MBG tidak dibayar gajinya tiga bulan. Ada dapur terlanjur bangkrut.
Kisah politik di tataran rakyat memang kerap bangkrut, terbiar sekian lama, boros waktu, makan biaya, menunggu janji surga evaluasi katering politik yang masih berjoget dan masih gemoy.
Lebih seribu lima ratus kata, cukup. (*)
Untuk verifikasi, hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak terkait informasi dan pemberitaan.