
14 September 2025
Pertanyaan kuasa hukum tergugat:
“Kenapa isi buku berbeda dengan bukti dokumen?”
Saya jawab kepada kuasa hukum tergugat:
“Isi buku relevan dengan semua bukti asli. Jika semua isi dokumen dimuat dalam buku, maka, tidak cukup seribu halaman untuk menulis isi buku itu. Sementara, saya dibatasi menulis delapan puluh halaman saja. Isi buku tidak bertentangan dengan dokumen asli yang ada pada pihak penggugat.”
Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Philip Marx
KAJIAN CARA TULIS SEJARAH di masa lampau dan masa kini disusun dalam bentuk serialisasi dengan pendekatan kronologi, kausalitas dan imajinasi. Sumber primer, yaitu bukti-bukti, tulisan tangan pertama, orang yang berada dalam peristiwa, catatan harian, korespondensi, surat kabar, peninggalan naskah yang dibuat setelah kejadian oleh orang berkompeten orang berintegritas dan dapat dipercaya yang ada dalam ‘peristiwa’. Demikian saya mencatat peristiwa. Saya menulis sejumlah artikel dan buku terkait kronologi dan kausalitas.
Bung Koko — nama beken Soedjatmoko Mangoendiningrat, dalam historiografi – menilai sejarah sebagai ilmu harus bebas dari nilai apapun termasuk nasionalisme.
Penulisan sejarah ilmiah dilakukan melalui proses menyeluruh secara intelektual, kritis, dan konstruktif. Pendekatan multidimensional untuk penulisan sejarah dalam keperluan praktis diungkapkan setelah menjelaskan teori dasar yang membangun historiografi. Penulis sejarah harus memahami filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis.
Padahal, sistem dan metodologi pencatatan sejarah yang paling awal dikenal berkembang dari Yunani Kuno, Herodatus. [Wentworth Press, 2016].
Historiosofi dikenalkan August Dołęga Cieszkowski, 1838, untuk menjelaskan pemahamannya atas sejarah. Cieszkowski coba mengembangkan philosophy of action, yaitu gagasan bahwa tidak hanya teori atau ide yang penting, tetapi ‘aksi’ punya peran fundamental dalam sejarah dan perkembangan masyarakat. Pemikiran Cieszkowski memberi pengaruh terhadap tradisi filsafat di Polandia, terutama dalam hal relasi antara gagasan, aksi, sejarah, dan nilai religius. Universitas di Poznań, khususnya Universitas Ilmu Pertanian — Akademi Rolnicza — mengakui kontribusinya. Begitu juga Sekolah Pertanian di Żabikowo adalah cikal bakal beberapa tradisi akademik di sana. Dalam Prolegomena zur Historiosophie, 1838, gagasan Cieszkowski tentang historiosofi menggabungkan unsur Hegelian dengan ide religius‑mesianis.
Pemikiran August Dołęga Cieszkowski dipakai oleh para ahli sejarah di banyak bangsa, dipakai juga oleh penulis-penulis Indonesia.
Telah disebut sebelumnya: Historiografi — yakni kajian tentang cara menulis sejarah di masa lampau dan masa kini — disusun dalam bentuk serialisasi dengan pendekatan kronologi, kausalitas dan imajinasi. Sumber primer: bukti-bukti, tulisan tangan pertama, orang yang berada dalam peristiwa, catatan harian, korespondensi, surat kabar, peninggalan naskah yang dibuat setelah kejadian oleh orang yang ada dalam peristiwa.
Kesaksian di Ruang Sidang
Saya hadir sebagai saksi di Ruang Sidang Mudjono, S.H., di Pengadilan Negeri Makassar – Jl. R.A Kartini No.18/23, dalam perkara gugatan ahli waris Yayasan Perguruan Tinggi Atma Jaya Makassar (YPTAJM), melalui kuasa hukum John Chandra Sjarif, yakni Muara Harianja, S.H., M.Hum., terhadap upaya pihak lain untuk mengelola yayasan secara paksa dan melawan hukum.
Pertama perlu saya tegaskan, bahwa, semua dokumen asli ada pada pihak penggugat, John Chandra Sjarif. Saya memulai proses penulisan dari koleksi dokumen tersebut, merekam gambar, mencatat nomor dokumen dan intisari isi dokumen. Dan, kemudian wawancara para pihak, mendatangi lokasi yang disebut narasumber, mencatat hal penting yang dijumpai di lokasi, verifikasi.
Perlu diulangi supaya jelas, bahwa saya memilih kata, memilih huruf, menenun data fakta tutur para pendiri, merekat relevansi informasi yang disebut para pihak terkait YPTAJM. ‘Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar’ adalah catatan mendalam tentang peristiwa dari sudut pandang narasumber, guna merajut informasi yang tidak ditemukan dalam sumber tertulis. Pada halaman 2 buku tersebut telah dicatat yang mana isi buku didasarkan pada wawancara dengan Prof. DR. C Salombe, Drs Alex Walalangi, dan John Chandra Sjarif.
Kedua, dan sama pentingnya dengan hal pertama: bahwa penulisan sejarah ilmiah dilakukan melalui proses menyeluruh secara intelektual, kritis, dan konstruktif. Pendekatan multidimensional untuk penulisan sejarah dalam keperluan praktis diungkapkan setelah menjelaskan teori dasar yang membangun historiografi. Terkait ‘Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar’, ada empat nama berkompeten telah bertanda-tangan dalam buku itu: Uskup Agung KAMS – John Liku-Ada’, berikut Ketua Pembina Yayasan – Prof. DR. C Salombe, berikutnya Pendiri dan Ketua Yayasan – John Chandra Sjarif, dan Rektor Atma Jaya Makassar – Drs. Felix Layadi, Lic. Th. Nama-nama itu telah lebih dahulu membaca secara kritis isi resume wawancara para pihak, kemudian memberi sambutan terkait jalan sejarah Atma Jaya di Makassar. Cap Uskup Agung KAMS ada di halaman 4 buku tersebut. Sahih isi resume sebelum buku diterbutkan.
Pertanyaan kuasa hukum tergugat: “Kenapa isi buku berbeda dengan bukti dokumen?”
Perlu saya ulangi, “Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar” adalah kronologi – kisah di masa lampau dan masa kini — serialisasi dengan pendekatan kronologi, kausalitas peristiwa dari sudut pandang narasumber.
Saya jawab pertanyaan kuasa hukum tergugat. Bahwa, “Isi buku relevan dengan semua bukti asli. Jika semua isi dokumen dimuat dalam buku, maka, tidak cukup seribu halaman untuk menulis isi buku itu. Sementara, saya dibatasi menulis delapan puluh halaman saja. Isi buku tidak bertentangan dengan dokumen asli yang ada pada pihak penggugat.” Jawaban saya di Ruang Sidang Mudjono, S.H., Pengadilan Negeri Makassar, 11 September 2025.
Dalam benak saya, tergugat dan kuasa hukumnya tidak membaca isi buku dan tidak cermat melihat alur perkara. Atau sengaja ingin meminggirkan fakta data sejarah Atma Jaya Makassar. Padahal, dalam perkara ini pihak ahli waris telah menyerahkan 68 bukti asli memperkuat argumen hukum demi kebenaran, dalamnya termasuk dokumen asli pendirian yayasan.
Mestinya pertanyaan penelitian harus relevan dengan masalah yang ingin dipecahkan dan metode penelitian yang digunakan.
Sejarah tidak dapat dikungkung pasal-pasal ayat-ayat blackletter of law sekalipun.
Dalam perkara yang disidangkan di Ruang Sidang Mudjono, S.H., Pengadilan Negeri Makassar, penggugat adalah ahli waris Jhon Chandra Syarif. Tergugat I – Alexander Walalangi, yang merupakan salah satu pendiri asli. Tergugat II – Betsy Sirua, notaris yang membuat akta yayasan baru. Tergugat III – Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Tergugat Intervensi – Lucas Paliling, mantan pembina yayasan. Di ruang sidang, saya menduga, ‘Alexander’ adalah fakta perkara, adalah bukti pasal dan ayat yang dipelintir guna ‘mencipta baru’ secara melawan hukum.
Majelis hakim yang mulia menanyai latar saya. Banyak hal saya sebut, dan boleh jadi hal itu tidak diperlukan dalam kepentingan pasal-pasal. Saya jurnalis penulis, bercita-cita jadi petani. Dalam menulis senantiasa verifikasi. Saya selalu bilang, “Ada narasumber yang layak tidak dipercaya.” Tidak semua interview wawancara layak ditulis. Tidak semua kabar-berita layak dibaca layak dipercaya. Propaganda, gertak sambal.
Sidang telah digelar sekian kali. Siang, 26 Agustus 2025, dari Jl. R.A Kartini, di depan Pengadilan Negeri Makassar. Usai sidang, Erwin Halim memegang buku, saya mengambil gambar. Gedung, bagian depan yang hadap lapangan Karebosi berhias pagar kawat. Kami selalu evaluasi, membaca tiap gerak. Gambar saya padu, sesuaikan dengan kebutuhan artikel, dan boleh tampil di halaman ini.
Laste
Sejarah, teori historiografi, kebenaran fakta data — lorong sunyi yang dilewati sedikit orang. Biar saja.
Kisah Bung Koko menguatkan argumen yang mana ada teori historiografi yang kokoh tetap dipegang oleh bangsa-bangsa yang besar di dunia untuk membangun ‘jembatan kebenaran’ sejarah ilmiah dan teruji. Bahwa disebutnya – yang mana – sejarah sebagai ilmu harus bebas dari nilai apapun.
Tak banyak orang membaca dan tahu siapa Bung Koko. Makanya di kesempatan ini saya balik lagi pada jejak Bung Koko. Dia lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia Belanda. (10 Januari 1922 – 21 Desember 1989). Selasatu tokoh yang terkenal dalam kajian historiografi di Indonesia. Dia belajar kedokteran di Batavia. Bung Koko adalah intelektual, politikus, dan diplomat.
Tahun 1947, Bung Koko tinggal di Lake Success, New York, jadi anggota delegasi pengamat Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pernah menjabat chargé d’affaires Hindia Belanda di Kedutaaan Besar Belanda di London, Inggris, selagi kedutaan besar Indonesia dibentuk. [Biography of Soedjatmoko, Ramon Magsaysay Award Foundation]. Pada 10 April 1980 – 30 Maret 1987, Bung Koko ditunjuk sebagai Rektor di United Nations University (UNU).
Dalam tulisan ini nama-nama saya petik untuk merangkum makna. Cerita August Dołęga Cieszkowski, membawa saya pada ruang diskusi yang kian lengkap. Cieszkowski merangkum pemikiran Hegelian dengan ‘panggilan’ untuk aksi nyata, tanpa meninggalkan fondasi moral dan religius. August Dołęga Cieszkowski tak hanya pengkritik Hegel. Dia pembaharu yang mendorong filsafat ke arah praksis — arah yang kelak diambil Karl Marx, walau dengan roh yang jauh lebih sekuler.
Di titik ini ‘Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar’ jadi godam historiografi kokoh. Kronologi nan jelas dan tegas menjadi martil untuk meluruskan pasal-pasal yang hendak dibengkokkan. Buku itu adalah kebenaran fungsional – praktis, kontekstual, berorientasi pada kebutuhan publik.
Dalam ‘Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar’ tercatat cita-cita mulia para pendiri. Absolut, memberikan kesempatan pendidikan tinggi kepada generasi muda di Indonesia, utamanya di Makassar. Demikian. (*)