13 Januari 2025
Respons agama yang normatif seringkali lebih banyak menyalahkan moral atau iman korban bencana ketimbang menyatakan empati. Bukankah doa dan empati adalah respons yang jauh lebih mencerminkan roh keagamaan daripada menambah luka dengan mengutuk korban…
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
Editor: Dera Liar Alam
Gambar: A person uses a garden hose in an effort to save a neighboring home from catching fire during the Eaton Fire, Jan. 8, 2025, in Altadena, California — Mario Tama/Getty Images.
Sumber: abcNEWS
TATKALA api menyala-nyala di Los Angeles, memakan ratusan hektar lahan dan menghancurkan ribuan rumah, tidak sedikit yang melihat bencana itu melalui kaca mata agama normatif. “Ini murka Tuhan,” seru beberapa suara, menyematkan bencana tersebut pada dosa dan kesalahan manusia. Bagi sebagian, kebakaran itu adalah pengingat akan keadilan ilahi, tanda bahwa Tuhan sedang menghukum. Namun, benarkah demikian? Tidakkah seharusnya kita membuka mata lebih luas, mencari kemungkinan penyebab yang lebih logis dan realistis sebelum menuduh Tuhan yang berdaulat atas segalanya?
Dalam setiap tragedi, refleksi rohani bukanlah hal yang keliru. Tetapi, apakah bijak jika refleksi itu abai terhadap fakta-fakta yang nyata? Kebakaran di Los Angeles, misalnya, mungkin terjadi karena banyak faktor yang dapat dijelaskan dengan akal sehat. Pemanasan global yang membuat iklim semakin ekstrem, sistem tata kota yang gagal mengantisipasi risiko kebakaran, atau bahkan kelalaian manusia dalam menjaga lingkungannya sendiri. Bukankah lebih masuk akal untuk memeriksa penyebab-penyebab ini terlebih dahulu? Dengan demikian, kita tidak hanya memahami tragedi itu, tetapi juga belajar bagaimana mencegah bencana serupa di masa depan.
Pemahaman yang realistis dan logis semacam ini membawa kita pada pelajaran yang lebih bermakna. Jika kebakaran di Los Angeles disebabkan oleh pemanasan global, maka itu adalah peringatan bagi seluruh dunia bahwa perubahan iklim adalah ancaman nyata. Jika kebakaran itu akibat penataan kota yang buruk, maka kota-kota lain harus belajar untuk lebih siap menghadapi risiko alam. Dan jika itu terjadi karena tindakan manusia yang sembrono, maka ini adalah panggilan untuk lebih bertanggung jawab atas bumi yang kita pijak.
Dengan melihat bencana dari sudut pandang yang demikian, kita bisa menyadari bahwa bencana alam adalah pelajaran kolektif, bukan sekadar penghakiman ilahi.
Namun, yang lebih mengganggu adalah kecenderungan untuk menggambarkan Tuhan sebagai sosok pemurka yang menghukum tanpa ampun. Apakah Tuhan, yang kita yakini sebagai sumber kasih dan rahmat, begitu jahat sehingga mengirimkan kobaran api yang mematikan? Saya kira tidak. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang penuh cinta kasih, bukan hakim yang hanya mencari kesalahan. Ironisnya, respons agama yang normatif seringkali lebih banyak menyalahkan moral atau iman korban bencana ketimbang menyatakan empati. Mengapa tidak berdoa untuk keselamatan mereka yang terdampak? Bukankah doa dan empati adalah respons yang jauh lebih mencerminkan roh keagamaan daripada menambah luka dengan mengutuk korban?
Bencana alam bisa terjadi di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja. Baik di kota megah Los Angeles maupun di desa kecil yang tenang, bencana tidak pandang bulu. Oleh karena itu, tanggapan yang paling relevan adalah berusaha memahami apa sebenarnya yang menjadi penyebab bencana tersebut. Dengan belajar dari setiap tragedi, kita dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan serupa di masa depan. Di sini, kini, dan nanti, pelajaran dari bencana alam seharusnya menjadi pendorong bagi kita untuk hidup lebih bijaksana, lebih bertanggung jawab, dan lebih penuh cinta kasih terhadap sesama. (*)