Thursday, November 21

Kredo Bulan


15 Desember 2023


Bear moon, tapi kami tak beruang. Maksudnya bukan tentang sang beruang – ursus, berbulu tebal, bercakar, bermoncong, dapat berdiri. Tentang ketiadaan. Tak punya nilai yang dapat diperjual-belikan, tak dapat ditukar sajak puisi: pergelutan teori telah dituduh sesat oleh rasul-rasul lapar persembahan mengatasnamakan tuhan segala hantu. Mereka, passobis bergentayangan mimpi keberuntungan menggandakan uang dengan segala muslihat hadiah nanti terima setelah sejumlah syarat dipenuhi…


Oleh: Dera Liar Alam


Gambar: Jemuran rotasi sembilan puluh derajat dan purnama pada suatu ketika


DI BELAKANG bumi, kawan menera ‘sturgeon moon’, bulat sempurna sebagaimana berkas-berkas yang dituduh hilang ternyata kekal. Saya, dalam perjalanan sore di Sunset Quay menulis ‘wolf moon’ yang dikira awal tahun, musim yang telah dimodifikasi untuk consensus kampanye persamaan: seumpama matematika itu sajak, maka tiap kata mewakili penyebut dan pembilang.

Yule sementara menyala, pemburu gaib melontar panah dan peluru. Serigala telah memasuki Wanua dan beranak-pinak, mereka melolong dalam tiap upacara. Suatu pagi, Temboan semburkan lahar, lalu para jurnalis menulis ketul-ketul bantuan – daftar nama sudah ditentukan untuk kampanye: serigala tak kenal kenyang lolongnya membahana mengaburkan pendengaran dan pandangan dogma-dogma. Batu Yule, kayu Yule, kambing Yule, babi Yule, tembang Yule, tangisan Yule – pengorbanan

Bumi Wanua di belakang dogma-dogma. Bulan Akut, severe. Matahari mengintip, Saturnalia. Kami menanam padi, gandum, jagung, papaya, lalang, dan rumput-rumput. Musim panen tidak terhitung harga melambung tinggi, semua harus dibeli dan dibaharui. Rambut diwarnai, kuku-kuku dan bisa racun mesti dipoles. Wanua dipenuhi baru. Sejarahwan sudah mengadopsi tanggal-tanggal konsensus untuk pembaptisan umat, pemberian tanda, kredo.

Bulan, regula fidei. Telah klasik lapar itu fanatik – hunger moon seiring salju membekukan regula. Namun, makhluk menyatakan kasihnya dalam bersebadan, menaimai anak-anaknya manifesto Februari. Berita derita saban bulan, saban hari, saban ketika. Gulita, bibir jadi mata, jemari meraba-raba bulan. Kemudian badai membuntingkan pemikiran dan badan sekian minggu. Para kaya menyimpan gambarnya di awan dan membagi-baginya di media sosial, “Aku.” Demikian pengakuannya.

Pernah kita bertemu ‘long nights moon‘, meja penuh sesajen sepanjang malam, dalam tungku – api membakar kurban dan dupa. Membakar tengah hutan dengan adat ayat-ayat, surat-surat. Dekat danau elok, kami memanggang belibis sambil menyanyi ‘hallelujah’ semesta mahaluas. Berangsur-angsur ‘freezing moon‘ dengan gegabah mengurungnya dalam museum dipagari terali di bayang purnama. (*)