15 Desember 2023
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
Editor: Parangsula
ANGIN telah digunakan sebagai simbol untuk kehidupan.
Ia adalah nafas, roh, daya sakral.
Sara Teasdale, penyair perempuan Amerika, dalam suatu puisinya menulis begini:
“Alas, the wind has made me wise,
Over my naked soul it blew,
There is no peace for me on earth
Even with you.”
“Angin telah membuatku menjadi bijaksana,” kata Sara.
Angin membuat kehidupan menari. Angin adalah daya yang menggerakkan. Ia tidak wujud untuk menyatakan diri. Pada lambaian nyiur, pada gerak angkuh pohon aren, pada senyum cerah bunga mawar, pada kesuraman pohon beringin kita tahu angin hadir.
Angin hadir pada perasaan romantis saat kita berada di tepi pantai suatu malam. Angin berbicara dalam dingin yang abadi pada seorang yang sedang menyambut takdir di atas puncak gunung yang beku.
Angin, ya orang Minahasa menyebutnya ‘reges’. Lumimuut – seorang perempuan – tokoh primordial dalam mite Minahasa, telah menerima ‘suru’ (embrio) dari hembusan lembut ‘awa’at’, angin Barat itu. Jadi, di sini angin adalah kehidupan.
Tapi ada juga ‘reges lewo’, suatu daya yang membawa keburukan. Namun, leluhur Minahasa menyikapi ‘angin’, yang baik dan yang jahat secara bijaksana. ‘Reges leos’, angin kebaikan, dan ‘reges lewo’, angin keburukan itu tidak perlu saling membinasakan. Agar kehidupan dapat terus berlangsung maka yang mesti dilakukan adalah pengaturan relasi. Yang satu tidak boleh menguasai yang lain.
Angin, meski tak tampak, tapi ia adalah nafas kehidupan semesta. Ia selalu meniupkan, menghembuskan atau bahkan menyambar segala sesuatu untuk membuat manusia selalu sadar bahwa ia adalah bagian kecil dari semesta ini. (*)