19 Januari 2023
Daftar korban dan tertuduh sudah dibacakan beberapa hari silam. Media menulisnya dengan huruf disingkat-singkat, viral. Penontong was-was, membuka smartphone, lalu memaki…
Oleh: Dera Liar Alam
MENONTON noon mainkan tembang jingga gunung jurang lereng terbakar twilight — carang-carang tertembus biru dan awan itu partiturnya. Semesta kita massa kuasa tahta panggung katedral pengadilan digenangi nanah lendir darah — pintu jendelanya meletup teriak terhambur kaca-kaca drama, dan sajak dipunguti anak-anak untuk berdandan di kamera smartphone-nya…
Penuntut mengetik argumentasi, penonton harap-harap cemas. Kerajaan langit sudah dekat, melayang-layang kuasanya seperti superhero menenteng kertas: surat harta, surat lahir, surat kawin, surat dakwaan, surat kaleng, dan seterusnya.
Pernah tertera tafsir ayat-ayat hak asasi: hak hidup tidak boleh dicabut oleh manusia, bahkan oleh kuasa apapun di bawah langit. Tetapi, suatu ketika, peluru mahakuasa sudah dilontarkan, menyasar kepala, badan, tangan, kaki, dan jiwa. Mengerang. Diam. Melayang. Di sana, gelak tawa kemenangan, sekaligus tangisan dan pekik maut menggema di ruang-ruang bumi. Seindah apapun susastra ditera pada kertas sejarah, darah sudah tumpah, huruf-huruf ruah, musnah itu tak pernah dapat ditarik kembali lagi ke semesta, selain kenang…
Penuntut berkacamata kelam, di depannya mic, di depannya air mineral untuk disemburkan bila perlu. Iklan privatisasi pasal-pasal yang sekarang boleh diperdagangkan jika ada isu diketahui semua penduduk bumi.
Kemudian konvoi marah disyuting awak media. Pakar mengumumkan analisa sejumlah tafsir supaya tivi-tivi dan video beroleh manfaat, ditilik sejumlah knowing everything partical object.
Suatu pagi sebelum sarapan. Iblis tertidur. Bermimpi dia, dicobai regulasi dan dogma…
Daftar korban dan tertuduh sudah disebut. Anak-anak menyanyi lagu perjuangan, bunyinya, “Tok tok tok tok.” Permainan zaman silam terulang di ruang pengadilan. (*)