Sunday, November 24

Pasar Totalitas Ide


31 Maret 2022


Gagasan, nilai, norma: diwariskan dari tetua, ditularkan leluhur pada turunannya untuk mengerjakan alam supaya berguna. Bertahun silam, kawan menyentak saya dengan tulisan tentang ‘identitas dan social-engineering’, kemudian kami bertukar pikir…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Pasar Sawah, kadang tergenang air lumpur dan sampah di musim hujan. Harga ikan di sini acap kali seperti menimbun harga diri.


TENTANG pasar dan budaya, pada beberapa kawan saya menyebut, “Pasar akan membantah segala fanatisme, (jika) lahir di tanah leluhur hanya sebuah kebetulan – yang oleh sebagian orang menganggapnya takdir.”

Apa itu takdir? Saya tak hendak menyebut itu sebagai ‘jalan buntuh pemikiran’ atau bingkai yang mengurung kemerdekaan berpikir. Namun, saya menekankan pada tukar pikir dengan kawan itu, bahwa identitas memang penting.

Sejumlah fakta pembangunan, fakta perkembangan, dan anda tentu dapat membantahnya kapan saja: Tanah leluhur jauh dan sangat jauh ketinggalan, hanya mengekor dan akan terus berada dalam pusaran ‘miskin’ inovasi dan kreativitas, sisanya ‘gede rasa’ alias ‘makang puji’ saja sebagai entitas budaya unggul. Dan jika saat ini kita tidak membuka mindset, mengolah tanah seluhur menulis sajak, serta menghargai sesama sebagai insan setara, maka, tinggallah seperti itu selamanya…

Namun, kawan berbincang itu bilang, “Tanah leluhur adalah melting pot pelbagai etnis, ada proses akulturasi, maka tanah leluhur menjadi entitas budaya tersendiri yang sudah berbeda dengan budaya suku-suku lain – dengan ‘keyakinan’ budaya dari tanah leluhur memberi rona pada suku-suku lain yang tiba di tanah leluhur.” Entah, sejauh ini saya sepakat saja dengan argumentasi itu.

Dan saya, sebagai saya dengan pandangan budaya saya, totalitas idea, perspektif, perilaku, saya masuki arus utama perang budaya – yang pada beberapa kawan saya sebut upaya ini sebagai ‘masuki arus utama perang bisnis’, kuasai uang, maka sejarah akan mencatat tanah leluhur itu secara spontan.

Mendecak pasar, budaya tersingkir, becek dan tergenang. Sekarang apa saja dengan mudah dapat diakses. Suatu zaman sementara bergeser. Walau, tanah leluhur tetap sakral dalam ‘rindu’ tanah leluhur yang menggebu, berkobar. Sayang bila kemajuan hanya ada dalam poles foto untuk konten ‘enak dipandang mata’ saja.

Totalitas ide akan mahal pada waktunya. Dan – value yang sementara anda anut dalam keyakinan sakral itu akan pecah oleh perubahan kekal di semesta – entah nantinya anda dapat dan sanggup membayar ide itu. (*)


Tanah leluhur, 2014