27 Agustus 2010
Oleh: Yustinus Sapto Hardjanto
Editor: Dera Liar Alam
Gambar: Elle Aon/Shutterstock
ENTAH angin dari mana yang membuat daerah-daerah di Bumi Nusantara ini menghembuskan slogan goes green. Pendek kata semua rame-rame ber‘hijau’ria.
Padahal sebelum ini konotasi warna hijau sering diidentikkan dengan keagungan nilai dan etika Islam. Hijau adalah warna dasar kerajaan Arab Saudi. Hijau juga warna dasar bendera lambang Nahdatul Ulama (NU). Ketika masa terakhir pemerintahan Soeharto, sering terdengar istilah ‘ijo royo-royo’ itu artinya masyarakat muslim diakomodir dengan sangat baik di dalam pemerintahan Soeharto.
Kini hijau dipakai oleh banyak kepala pemerintah daerah untuk menyatakan bahwa kepemerintahan mereka adalah peduli dan punya komitment besar untuk lingkungan. Menetapkan diri menjadi daerah ‘hijau’ berarti membangun kapasitas daerah untuk memperoleh pendapatan dari usaha-usaha yang tidak merusak lingkungan, atau usaha yang meperhatikan keberlanjutan alam serta masyarakatnya. Dan jika pemerintahan ‘hijau’ ini bisa terwujud maka akan menjadi pemerintahan yang ‘ramah’ alias tidak jahat terhadap alam seisinya termasuk penduduk yang ada di dalamnya.
Sekarang pertanyaannya: seberapa kuat niat, konsistensi dan ketahanan untuk menaati nilai di balik kata hijau itu?
Seberapapun gencarnya kampanye soal daerah hijau, toh pada dasarnya semua masih berupa ide, bukan gagasan yang terencana dengan baik dan komprehensif.
Hijau tidak boleh sekedar disimplifikasikan pada gerakan tanaman sejuta atau bahkan semilyar pohon.
Pemerintah kita yang kepalanya kerap berganti-ganti masih butuh waktu panjang untuk melakukan perubahan nilai, budaya dan struktur internal organisasinya.
Menyatakan diri sebagai daerah ‘hijau’ tidak dengan sendirinya kesadaran bahwa pemerintah dan masyarakatnya hadir bersama untuk membawa misi kesejahteraan yang berkelanjutan akan hadir begitu saja.
Trophy dan aneka awards green kerap hanya menjadi semacam iklan belaka, cara atau strategi untuk membangun reputasi pemimpinnya.
Menyatakan diri menjadi daerah hijau adalah sebuah pilihan etis untuk mengarahkan segenap perangkat daerah, masyarakat dan warga untuk merubah hidup dan perilakunya dalam segala hal agar lingkungan kehidupan, alam dan seisinya terjaga untuk kesejahteraan semua dari sekarang hingga masa yang akan datang.
Semoga slogan hijau tidak menjadi ironi, hanya terpajang di iklan, baliho, spanduk dan pidato-pidato saja.
Menggelikan jika tebaran kata hijau itu berserak bersama dengan tumpukkan sampah yang tak terangkut di mana-mana, berkubang bersama lubang-lubang tambang yang dibiarkan begitu saja, berpeluh dalam desakkan antrian kendaraan yang terjebak dalam kemacetan, menetes dalam pipa air PDAM yang mati hidup dan hanyut dalam genangan air yang tak tahu harus meresap ke mana.
Sebelum meneriakkan yel-yel: Green yes! Mestinya berkaca lebih dulu melihat adakah mata ini tak lagi ‘hijau’ melihat deretan angka PAD dalam APBD yang bisa masuk ke kantong kanan dan kiri yang ternyata berwarna hijau juga. (*)