08 Agustus 2021
Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah Penulis dan Sastrawan
BALIHO-BALIHO sudah terpasang di beberapa tempat, menampilkan wajah-wajah tembam lambang kemakmuran milik sosok-sosok yang berambisi menjadi hmm hmm hmm…, capres 2024.
Jangan terulang lagi peristiwa seperti 2019.
Menjelang hari pencoblosan tahun itu, seorang teman menghubungi saya untuk berceramah tentang pentingnya memilih sosok buruk ketimbang memilih sosok terburuk.
Saya tertawa. Ia mengingatkan jangan sampai sosok terburuk menang dan menjatuhkan bangsa Indonesia dalam penderitaan tak bertepi. Menangkan sosok buruk, imbaunya.
Pada hari pencoblosan, beberapa teman juga menelepon untuk menanyakan saya memilih siapa. Mereka melanggar prinsip langsung-bebas-rahasia. Jangankan memilih, kata saya, pergi ke TPS pun tidak.
Ada yang meminta saya memotret jari-jari saya sebagai bukti. Untuk menenangkan orang sakit jiwa itu, saya mengirim foto jari-jari saya. Tidak ada noda tinta setitik pun. Bukannya tenang, ia makin histeris, khawatir idolanya kalah. Benar-benar sakit jiwa.
Pada 2019 itu, keluarga korban penghilangan paksa diminta menjerit lebih keras dan kalau perlu melolong sekalian di Jakarta, dengan diberi uang transportasi dan dibekali sedikit uang saku. Mereka mau, karena mungkin masih berharap. Anak, suami, bapak, dan kakak yang dihilangkan belum pernah dicari.
Penguasa sudah jelas tidak punya hati nurani. Apa lagi bukti yang kurang? Telak di depan mata. Aksi Kamisan di depan istana tidak pernah berhenti. Ketika sosok terburuk yang ditakuti itu diangkat menjadi menteri pertahanan, teman-teman saya yang sibuk dalam urusan pencoblosan itu bungkam.
Mereka tidak ikut Aksi Kamisan di depan istana untuk dengan lantang memprotes pengangkatan menteri pertahanan.
Jangan sampai 2019 terulang pada 2024. Saya tidak tertarik kepada wajah mana pun dalam baliho. (*)
Editor: Daniel Kaligis