Sunday, May 5

Potret Buram Hukum

05 Agustus 2020


Oleh:
Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Adakah kaitan antara kemajuan atau kemunduran demokrasi dan rule of law dengan pendidikan hukum?

HUBUNGAN antara praktik hukum dan pendidikan hukum seharusnya menjadi proses dialektika penting dalam rangka mencari penjelasan dan solusi komprehensif tentang perjalanan reformasi hukum bangsa kita hari ini. Bagaimanapun, mereka yang memiliki otoritas dan menjalankan lembaga penegakan hukum dan peradilan adalah para sarjana hukum, produk pendidikan hukum.

Kasus Joko Tjandra adalah puncak gunung es dari banyak kasus lain dan merupakan jendela akademik untuk mempertanyakan apa yang terjadi dengan lembaga penegakan hukum dan peradilan di negeri ini. Seberapa jauh cara kerja birokrasi hukum ditentukan oleh paradigma positivisme hukum dan segala manifestasinya yang mengakar dalam pendidikan hukum?

Adakah cukup ruang bagi para calon sarjana hukum untuk mengenal hubungan antara hukum dan konteks kemasyarakatan dengan dimensi kultural, ekonomi, politiknya; suatu pengetahuan yang amat dibutuhkan saat mereka menjadi penegak hukum? Semua penjelasan ini seharusnya berujung pada pengadilan (kecerdasan) akal budi, bukan politik akademik.

Potret Buram Kemunduran

Reformasi hukum berupa perumusan legislasi atau kebijakan dan revisinya memang dibutuhkan untuk cepat merespons berbagai permasalahan masyarakat. Namun, prosesnya harus mengikuti kaidah rule of law, tak bisa serampangan. Rule of law memastikan perlindungan warga negara terhadap negara atau sesamanya.

Rumusan hukum secara prosedural harus jelas, berkepastian, dan dapat diterapkan. Secara substansial harus bermuatan keadilan, mencakup perlindungan terhadap hak individual dan kelompok, dan memastikan mekanisme kontrol berupa peradilan yang independen.

Meski demikian, realitas yang kita saksikan dalam proses perumusan hukum di antaranya adalah revisi UU KPK yang meruntuhkan semangat pemberantasan korupsi banyak kalangan. Perumusan omnibus law, sungguh pun tujuannya baik untuk memangkas korupsi birokrasi, kurang melibatkan partisipasi publik yang luas. Pada masa pandemik ini, ketika korban kekerasan seksual justru meningkat, DPR mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas.

Dalam ranah penegakan hukum, Joko Tjandra begitu mudah melewati para penjaga gerbang keadilan. Namun, banyak orang lain mudah dipidana hanya karena mengkritik atasannya lewat medsos (kasus Saiful Mahdi); atau mempertahankan ruang hidupnya (banyak kasus agraria seperti Budi Pego), ataupun korban pelecehan seksual yang didakwa balik pencemaran nama baik (Baiq Nuril).

Belum lagi kasus pidana dengan dakwaan pasal karet seperti penodaan agama dan ITE. Terakhir, pembiaran intoleransi terhadap minoritas kepercayaan atau masyarakat adat (Sunda Wiwitan).

Secara antropologis, penggerak lembaga penegakan hukum dan peradilan adalah para aktor penegak hukum. Tampak paham positivisme hukum menjadi habitus bagi mereka. Paham ini memisahkan eksistensi hukum dari substansinya.

Eksistensi hukum yang terkait otoritas penegakan hukum harus tetap berjalan sesuai bunyi teks hukum, yang dianggap kebenaran dan kepastian tunggal. Tidak soal substansi hukum memperhitungkan rasa adil, merugikan pihak tertentu, ketinggalan zaman, atau tidak.

Perubahan tafsir terhadap teks dianggap akan mengguncang secara institusional. Padahal, kaidah rule of law mengatakan bahwa hukum dan penafsirannya harus mengandung keadilan, termasuk keadilan kekinian. Kepastian hukum memang penting, tetapi bagaimana mengakomodasi substansi keadilan masyarakat?

Sesungguhnya, keadilan hukum yang bersifat prosedural dan teknikal tidak identik dengan keadilan substansial. Hukum tidak berada di ruang kosong, tetapi berada dalam keseharian hidup masyarakat dan budayanya.

Keadilan prosedural dan teknikal dalam kenyataannya sangat bisa dimanipulasi. Inilah realitasnya mengapa muncul kasus Joko Tjandra yang lolos dari cengkeraman pidana, tetapi di waktu yang sama muncul korban-korban hukum untuk tindakan yang tidak layak dipidana.

Pendidikan Hukum

Di Amerika Serikat, mahasiswa belajar hukum melalui tahap pra-universitas (college) tiga tahun, memilih mata kuliah yang disukainya dalam konteks liberal arts. Mereka masuk sekolah hukum setingkat S-2 dengan kepala sudah penuh dengan berbagai pengetahuan sosial-humaniora; dan kelak akan lulus sebagai sarjana hukum yang lengkap.

Di Belanda, mereka yang ingin masuk universitas sudah diarahkan sejak SMA ke VWO (Voorbereidend Wetenschappelijk Onderwijs), jumlahnya sekitar 15 persen saja dari angkatan, selebihnya masuk ke sekolah kejuruan, kelak menjadi tenaga profesional. Di Indonesia, siapa pun lulusan SMA bisa masuk fakultas hukum.

Menurut epistemologinya, ilmu hukum memiliki dua ranah. Pertama, ilmu doktrin, dogma, meliputi hukum pidana, perdata, dan acara. Kedua adalah ilmu kenyataan hukum, seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, yang pada dasarnya studi hukum interdisiplin. Itu sebabnya, sekolahnya disebut fakultas hukum, bukan fakultas undang-undang.

Di S-1 fakultas hukum kita, mahasiswa harus mengambil banyak kuliah wajib fakultas. Tampaknya pengetahuan dasar hukum dianggap tidak terbatas kuliah pidana, perdata, dan acara. Semakin banyak dosen mendefinisikan kuliahnya sebagai pengetahuan dasar hukum dan menjadikannya kuliah wajib. Mahasiswa masih harus mengambil kuliah wajib peminatan.

Barangkali ada soal dengan semakin banyak mata kuliah, semakin banyak pendapatan! Kesempatan mahasiswa mengambil kuliah pilihan jadi amat terbatas. Dominasi kuliah hukum arus umum, black letter, sangat kuat. Padahal, tak semua lulusan S-1 akan menjadi corporate lawyer, tetapi juga hakim, jaksa, advokat hak asasi manusia, pegawai pemerintah, aktivis, dan lobbyist isu kemanusiaan dan lingkungan. Mereka butuh pengetahuan tentang hubungan hukum dengan konteks kemasyarakatan dengan berbagai isunya.

Apabila kurikulum pendidikan hukum S-1 bersifat black letter, di manakah ruangnya agar ilmu hukum dapat dipelajari secara lengkap? Tampaknya kurikulum S-1 sampai S-3 menampilkan karakter black letter yang sama kuatnya, padahal semakin tinggi strata suatu program studi seharusnya semakin bersifat interdisiplin.

Kelahiran studi interdisiplin didorong oleh kebutuhan merespons masalah masyarakat. Kemampuan merespons ini membutuhkan paradigma baru dalam melihat hukum. Tentu saja studi pascasarjana adalah tulang punggung produksi pengetahuan, daya dukung yang diharapkan bagi reputasi world class research based university.

Pembenahan Kurikulum

Seharusnya kuliah-kuliah kenyataan hukum beserta kebaruan metodologinya dapat disediakan di tingkat S-2 agar mahasiswa mengerti ilmu hukum secara lebih lengkap dan berwawasan luas tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat.

Mahasiswa S-3 seharusnya diarahkan agar mampu mengonseptualisasi semua pengetahuan teoretik hukum dan menyintesiskannya dengan data penelitiannya dari masyarakat. Dengan demikian, ia mampu melahirkan gagasan konseptual baru, menjadi pembaru hukum dalam berbagai dimensi, termasuk menjadi desainer pembangunan hukum yang dibutuhkan negeri ini.

Perdebatan teoretik dalam proses dialektika antara praktik hukum dan pendidikan hukum hendaknya berakhir pada kecerdasan akal budi. Apakah yang paling dibutuhkan bangsa ini untuk membenahi distorsi rule of law dan memperbaiki kualitas demokrasi.

Bagaimanakah keadilan hukum dapat didekatkan dengan keadilan substansi. Baik buruknya praktik hukum dapat ditelusuri dari hulunya, yaitu kurikulum dan kualitas penyelenggaraan pendidikan hukum.

Ilmu hukum tak bisa lagi dikungkung dalam romantisme akademik masa lalu dan dikukuhkan dalam rezim administratif-birokratik pendidikan tinggi yang kaku dan sukar berubah. Pendidikan hukum tak bisa lagi dilakukan business as usual, sebagai tempat mencari uang saja, tetapi harus menjadi center of excellence, sumber produksi pengetahuan tentang segala persoalan hukum.

Masyarakat menuntut lahirnya profesi hukum dengan pengetahuan dasar dan keterampilan hukum yang kuat, sekaligus mampu membangun budaya berkeadilan. (*)


Editor: Daniel Kaligis