Thursday, April 25

Pemberita Miskin Cerita


03 Mei 2020


Diam-diam menggerutu. Pemburu berita ada di ladang mereka, mencangkul huruf, tenun kata bagi kalimat, seperti kiamat lewat, koran-koran konvensional terbakar, ditembaki situs bermata tanpa hati…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


NEGERI kita kaya. Seperti itu sosialisasi berkali-kali kita nikmati, dan dituliskan dalam buku sejarah. Sekarang kita menikmati cerita derita, layar penuh berita lumayan mencekam. Lalu, sebagian pemirsa memilih padamkan berita, turunkan tensi takut.

Penjual ayat mengabarkan neraka, mulai tidak laku. Kemiskinan lebih neraka dari dongeng neraka.
Apa dirasa para miskin sudah pasti tak sama yang dirasakan penguasa dan mereka yang kaya.

Berapa kali kita mendengar penguasa di berbagai tempat berseru dalam pidatonya. Dengar apa yang diteriakkan dalam kampanye-kampanye para calon penguasa. “Kesejahteraan. Kekayaan negara dalam bentuk sumberdaya alam. Dalam rangka implementasi sistem pemerintahan yang benar, serta dalam rangka pendidikan politik yang sehat, kesejahteraan mesti terwujud. Kekayaan alam itu milik seluruh rakyat, dan akan kita nikmati bersama.”

Rakyat sering mendengar, menyimak dan lupa di hari kemudian oleh berbagai tanggungan dan hutang. Pemberita meneruskan kumandang itu.

Publik menyantap setiap terminologi dalam bingung. Singkatan, istilah, cara pandang, teori buta dalam kemiskinan berkelanjutan dan terstruktur, sebab bertahun-tahun kita menjadi masyarakat pengekor yang terus membuntuti tren asing, termasuk cerita dan berita.

Di sini. Negeri di mana rakyat miskin informasi tentang hak-haknya. Padahal, di tingkat nasional dan di berapa daerah sudah ada Pusat Pengaduan Informasi & Pelayanan Publik. Walau, masih ada saja informasi yang ditutup-tutupi, meski sudah ada regulasi mengatur tentang kebebasan informasi publik. Apakah pemberita pernah menyentuh wilayah ini?

Manakala meliput di Lombok, enam tahun silam, saya menemui berbagai sosok: buruh, pejabat, petugas kesehatan, perempuan, ibu hamil, petani, nelayan, tukang warung, kader kampung, dan sejumlah tokoh. Di Nusa Tenggara, utamanya di Lombok Utara, saya mengumpulkan begitu banyak data. Merekam cerita, menulis hal-hal kecil yang saya anggap berguna untuk menjadi bahan baku tulisan.

Baku data saya peroleh. Profile daerah Lombok Utara tahun 2010. Ini data lama, tapi boleh diambil sebagai pembanding. Tercatat di Kecamatan Kayangan, dari 40.202 jumlah penduduknya, ada 28.349 penduduk yang dikategorikan miskin. Ada lima kecamatan di Lombok Utara, Bayan, Gangga, Kayangan, Pemenang, dan Tanjung. Secara keseluruhan jumlah penduduk di sana 207.996, dan tercatat di tahun 2010 ada 139.635 penduduk miskin. Artinya, lebih separuh penduduk di Lombok Utara dikategorikan miskin.

Menjelajah Nusa Tenggara, mendatangi dusun dan kampung, Serimbun, Dangiang, Kayangan. Mewawancarai orang-orang kampung, kader, dan tokoh. Bersua keterbelakangan, gizi buruk, kawin dini, perceraian. Menanyai orang-orang seperti apa mereka mengais rejeki sesuai ketersediaan pekerjaan dan kegiatan.

Di Dangiang, saya bercerita dengan Nuri. Dia kader di dusunnya, nama lengkapnya Nuri Muliana. Nuri bilang, informasi pelayanan kesehatan dan kependudukan hanya segelintir orang saja yang tahu. “Memang ada sosialisasi dari pemerintah kecamatan, kemudian diteruskan ke desa, ke tokoh masyarakat, ke tokoh agama, ke tokoh pemuda, juga disampaikan kepada kepala dusun. Tapi, informasi itu tidak sampai kepada semua orang. Umumnya masyarakat di sini kurang paham, mereka jarang lihat ‘orang berseragam’, jadi mereka takut, mereka jarang ke kantor desa, jarang ke puskesmas.”

Dangiang adalah desa di kecamatan Kayangan, Lombok Utara – Nusa Tenggara Barat. Awal Mei 2014 silam saya ada di sana. Saya menayai Sri Rosyani. Sri kawannya Nuri, sesama warga Dangiang. Sri membenarkan kisah Nuri tentang orang-orang di Dangiang. “Dulu, masyarakat di sini tidak tahu. Mereka menerima apa saja yang disodorkan para kader tanpa mempertanyakan apa ini, apa itu. Sekarang sudah mulai ada perubahan. Semakin orang boleh mengakses layanan publik yang menjadi hak mereka karena informasi mulai tersebar. Program pengentasan gizi buruk ditangani Puskesmas, dan mereka yang menderita kurang gizi mendapat pelayanan di posyandu. Di situ anak-anak dan ibu-ibu mendapat makanan tambahan berupa telur, susu, biskuit, dan scott emulsion.”

Konsekuensi bernegara dalam cermin berita. Desentralisasi memberi ruang otonom, atur sendiri. “Pemimpin telah diberi berbagai kewenangan, menurut perundang-undangan di bidang otonomi daerah, urusan yang didelegasikan ke daerah adalah sebanyak dua puluh empat urusan wajib, dan delapan urusan pilihan, dan hanya enam kewenangan yang masih berada di tangan pemerintah pusat.” Retorika yang diteriakkan sistem itu belum direalisasikan secara penuh. Ini janji, entah politis, entah elastis.

Tunggu Janji

Kemarin malam, Sabtu, 02 Mei 2020, sekitar pukul 18.20, saya ngobrol dengan Mas Bro. Dia tukang pangsit yang mangkal di Jalan Sungai Pareman. Sebelumnya bertahun-tahun Mas Bro jualan di Jalan Gunung Merapi. Seperti itu memang panggilannya, di gerobak pangsitnya juga tertulis julukannya dia ‘Mie Pangsit Mas Bro’, jadi semua orang di kompleks memanggilnya demikian, Mas Bro. “Kita hanya mendengar janji-janji. Saya dengar ada bantuan dari pemerintah, tapi, yang terima itu-itu saja. Kan dari dulu sudah begitu, susah dirobah, orang yang terima bantuan biasanya kerabat dari tukang data. Padahal, orang miskin banyak, kami yang susah semakin susah karena sekarang dilarang keluar rumah. Sudah berapa tahun saya menetap di sini, mau kembali ke Jawa, pelabuhan ditutup.”

Mas Bro cerita, pascapandemi penghasilannya menurun drastis. “Sekarang susah kalau mangkal, tinggal di tempat hanya satu dua orang yang mampir makan. Makanya saya berkeliling, sambil melewatkan waktu berbuka puasa,” ujar dia.

Bertahun-tahun rakyat menunggu janji. Contoh pernah diumbar. Pemerintah menganggarkan dana besar, bantuan langsung tunai triliunan rupiah untuk jutaan keluarga miskin di negeri bernama Indonesia ini. Tahun berikutnya dilakukan program bantuan langsung tunai bersyarat untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi. Juga untuk para miskin di semua lokasi. Bantuan ini mencakup bantuan tetap, bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, dengan rata-rata bantuan per rumah tangga. Tanya melambung kemudian: Mengapa rantai kemiskinan itu tak juga putus? Daya beli ada bila ada uang di tangan, justru kesempatan dapat uang untuk beli kebutuhan semakin melorot.

Sekarang ada bantuan, dana-dana dan materi pangan bagi manusia-manusia terdampak. Bergulir dengan regulasi segala sanksi. Harga sudah berlomba-lomba naik mengiring kelangkaan. Kita nanti akan tahu apa ujung dari cerita ini bila kemiskinan masih terus dipelihara dan terus disuapi. Ujungnya yaitu ketergantungan. Silahkan membantahnya.

Pemberita menulis kepedulian yang dibawa ke pintu-pintu kemiskinan, ketergantungan. Di bilik lain, ada kelompok-kelompok solidaritas saling berbagi namun dihadang dogma. Seperti lorong-lorong kembali dipagari. Regulasi basi menindak aksi, dalam rumah tanpa batas, dalam mobil pindah kursi, depan belakang kurang puas, kemudian cara pandang ditindas.

Obrolan media selalu diglobalisir, kata, ada kalimat logika dalam data dan fakta, tentang kita semua, tentang apa yang dirasakan.

Kita, pemberita. Pilar demokrasi demi kebebasan rakyat, hari ini, 03 Mei saban tahun, gelegar tanpa upacara merangkai tanya: Benarkah pemberita membela kata di jalan yang benar? Atau membela proyek-proyek demi tuntutan kantong nafsi nafsu berbagai alasan, sehingga teks yang kita cipta adalah semir sumir meringkas peduli yang tuli? Apa, siapa, bagaimana, kapan kuasa regulasi itu datang di halaman rakyat dari kantor-kantor kebijakannya, lalu membawa sumbangan kepedulian. Rakyat berhutang beban-beban moral, balas budi nanti di bilik suara perpanjangan tanda tangan kontrak kedaulatan penghisapan legal.

Rakyat, ‘katanya’ akan makin sadar dan pandai untuk menuntut kinerja pemerintah, dalam mengemban fungsi pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan penyediaan infrastruktur dasar lainnya. “Evaluasi selama ini menunjukkan, bahwa masih banyak daerah yang perlu meningkatkan kualitas kepemimpinan dan pengelolaan pemerintahan, termasuk kemampuan dan komitmen kuat untuk menjalankan good and clean governance. Kondisi ini diperlukan, agar kita terhindar dari situasi di mana desentralisasi wewenang dan keuangan bagi berbagai lokasi pembangunan hanya menghasilkan pemburukan kualitas pelayanan kepada masyarakat, uang negara terhambur boros dan sia-sia.”

Lagi-lagi retorika, penyandang kuasa gemar memamerkan lagaknya di ruang ini. Retorika disambut anomali teks pemberita semir sumir implementasi gerak teramat tumpul sebagai sebilah pedang analisa untuk menumpas kemelaratan. Sudahkah titik ini disentuh tinta berita?

Rakyat kecewa! Tokoh dan pemegang kuasa ke cewek atau janda, sesembahan menyebutnya dosa moral. Lalu, pemborong gelar dari surga menyumbat logika. Bisnis tanah suci yang hari ini tertular pandemi, menyuruh semua diam di tempat masing-masing. Diam-diam menggerutu. Pemburu berita ada di ladang mereka, mencangkul huruf, tenun kata bagi kalimat, seperti kiamat lewat, koran-koran konvensional terbakar, ditembaki situs bermata tanpa hati.

Pengarung kata punya kiat kata kabar itu-itu saja. Konfirmasi verifikasi jauh dari lingkar berita dan derita. “Oleh karena itu pemerintah memilih untuk menanganinya secara lebih substantif dan mendasar, dan bukan sekedar siasat statistik dan angka-angka maupun sekedar retorika.” Itu sesumbar yang terus diteriakkan, sayang inipun dapat disebut sebagai janji belaka. Janji-janji berkumandang, dan terasa sumbang.

Berapa banyak pembaca pemirsa yang paham? Berapa banyak yang terus mengalir di arus hidup yang berkalang keraguan di negeri ini? Seperti yang disampaiakan kepala negara dan dikuat-teriakkan pembantu-pembantu penyelenggara negara, bahwa permasalahan mendasar yang dihadapi negara dan menjadi tugas besar kita ke depan adalah memerangi kemiskinan, pengangguran, kebodohan. Walau teori berpalang tersusun bertumpuk-tumpuk, bahwa soal kemiskinan dan pengangguran bukanlah permasalahan statistik atau angka, melainkan persoalan nyata mengenai sulitnya kondisi kehidupan di tataran rakyat yang dimiskinkan dan dipaksa menyinta kemiskinannya dengan segala keyakinan enggan bertanya pada kemapanan yang ketakutan hilang daya hipnotisnya.

Hari ini, mari kita merayakan keraguan. Sejarah yang berulang-ulang dalam talang berita dan derita.
Duhai pemberita, mari kita ulangi: Medio 1993, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 03 Mei sebagai hari untuk memeringati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di jagad semesta. Dari sana, pemberita menjuang kebebasan media dari serangan terhadap independensi. Dari sana pemberita memberi penghormatan kepada kawan-kawan yang terpapar, hilang nyawa karena menjalankan profesinya.

Demikian momentum ini mendorong inisiatif publik untuk turut menjaga dan menjuang kemerdekaan pers. Hari Kebebasan Pers Sedunia mengingatkan pemerintah untuk menghormati komitmennya terhadap kemerdekaan pers.

Kita mungkin lupa, R. Maladi, Menteri Penerangan Republik Indonesia, pada 25 Juli 1961 menandatangani perjanjian untuk membuat komite persiapan pembentukan stasiun televisi di Indonesia. Perjanjian itu menjadi Surat Keputusan Menpen. Komite ini didirikan sebagai bagian dari persiapan untuk Asian Games keempat.

Ada setahun membuat studio, menara siaran, dan peralatan teknis di bekas Akademi Informasi di Senayan. Siaran televisi percobaan pertama adalah liputan langsung perayaan Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1962, dari Istana Merdeka, Jakarta. Kemudian even lainnya diliput. Asian Games keempat di Jakarta. Medio, 24 Agustus 1962, pada jam 14.30, warga Jakarta menyaksikan siaran langsung upacara pembukaan Asian Games dari Gelora Bung Karno. Siaran ini diselenggarakan oleh Divisi Televisi dari Biro Komite Penyelenggara Televisi dan Radio. Momen itu dikenang kemudian sebagai hari kelahiran Televisi Republik Indonesia.

Menulis tentang TVRI, saya ingat R. Maladi. Dia adalah pencipta lagu keroncong handal, bila sempat, anda boleh nikmati tembangnya: ‘Di bawah sinar bulan purnama’ dan ‘Nyiur hijau’.

Orde berganti. Berita dalam cerita. Iklan dalam cerita. Pada 05 Januari 1980, Soeharto menginstruksikan hapus Siaran Niaga dari Televisi Republik Indonesia. Alasannya, iklan dapat mencipta dampak negatif bagi perkembangan Indonesia. Pro dan kontra, terutama karena tidak ada penelitian di balik instruksi kekuasaan itu. Sebulan kemudian, Departemen Riset dan Penelitian Pengetahuan memutuskan untuk melakukan penelitian tentang dampak iklan terhadap program pembangunan nasional. Anda boleh menafsir apa maunya kuasa, apa maunya berita. Tafsirlah segala derita, miskin, dan tidak mau dicerahkan oleh kekuasaan.

Laste

Ini realita kita. Kesadaran nyata dan maya dalam praksis pemberita di negeri yang tidak tuntas merumus jampi-jampi strategis pengayaan pengetahuan bagi rakyat. Kebebasan berpendapat, kebebasan memberitakan, cerita derita, berbaur bersama kabar bohong yang diramu sebagai santap pagi berteori kesejahteraan dijanji ‘nanti’, di masa depan tidak pernah pasti. Kendaraan boros menembus pergulatan malam-malam mesum menggeledah kelamin-kelamin tak bayar pajak, retribuasi pengganti nasi dan alkohol untuk memabukkan cawan radikal-radikal lokal.

Kita pemberita, memilih huruf, meramu kata, menenun kalimat, merekam gambar diam gambar bergerak: data, fakta-fakta, sumber-sumber sekunder, memperkaya wawasan, membangun kiat, mengisi ruang-ruang peradaban.

Mengutip catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia terkait World Press Freedom Day, ada dua belas kasus pembunuhan jurnalis di negeri kita. Di mana ada delapan pembunuhan jurnalis yang terbengkalai dan para pelakunya belum diadili:


Pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin — jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996. Pembunuhan Naimullah — jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, Naimullah ditemukan tewas, 25 Juli 1997. Pembunuhan Agus Mulyawan — jurnalis Asia Press di Timor Timur, kasus ini terjadi, 25 September 1999. Pembunuhan Muhammad Jamaluddin — jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas, 17 Juni 2003. Pembunuhan Ersa Siregar — jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003. Pembunuhan Herliyanto — jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas, 29 April 2006. Pembunuhan Adriansyah Matra’is Wibisono — jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan tewas, 29 Juli 2010. Pembunuhan Alfred Mirulewan — jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas, 18 Desember 2010.


Kita tiba pada hari ini, di mana berita dan kabar bohong berada pada ruang yang sama dalam genggaman kita. Mental budak berdiri di depan kantor mewah berkaca-kaca. Di tangan segenggam surat tugas wawancara cara-cara. Entah berapa data sekunder dipunya dalam coretan dalam otak. Lalu terbitlah kertas-kertas berisi huruf dan gambar. Judul-judul megah, cerita berulang-ulang, itu-itu saja.

Pertunjukan, pertandingan, drama, opera, pembangunan, semua ada dalam kertas. Cerita, berita pengiburan, zabur setara mazmur puji-pujian. Berita dalam cerita di atas kertas. Sejarah menjungkal kertas-kertas di negeri seberang. Radio, televisi, kemudian internet tiba. Cerita dalam berita di atas kertas-kertas kena imbas.

Kita bersua hari ini. Masa depan sudah tiba sekarang, hari ini. Ruang kita: kata, cerita, berita, derita, gegap-gempita, huruf-huruf, gambar, video, dan segala realita alam semesta.

Mari kita hening sejenak. Renung, senyap setapak gulita sejarah pemberita, siapa melaluinya. Kita masih memilih jalan itu dalam senyap atau dalam riang suasana, dan tetap menyintainya.

Selamat Hari Pers International, kawan-kawan pemberita. (*)