31 Juli 2021
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
File info gambar fitur:
Location -8.194, 124.32464
Munaseli – Pantar, Alor Regency, East Nusa Tenggara
Dimension 4608 x 2128
Shot 1/400 sec. f/2.2 2.23mm
TUTUR orang-orang di sini tentang leluhur, cerita tanah, Galiau Watang Lema, yakni pesisir pulau, siapa-siapa yang datang dan menetap sejak 1300-an. Jauh sebelum teks-teks dikenal, lokasi itu sudah dihuni. Mereka menutur badai, api, lebah magis, dalam perang sudah usang. Bertani, memanen hasil laut, dan saling berdamai.
Maret 2021 singgah di Munaseli, membelah pagi ketika hari mulai menghangat walau musim penghujan membuat pemandangan sepanjang perjalanan hijau kaya dan sejuk. Pantai Lianglolong tak jauh dari sini. Di depan kami laut biru membentang, Pulau Buaya, nyare, air seperti kaca di pantai berkerikil berpasir merah coklat hijau kelabu hitam.
Pontius, kawan perjalanan saya, menyebut sejumlah resume. Teks bertua, kitab sejarah Pantar dan Alor. Galiau, tersebutlah lima kerajaan: Kui, Bunga Bali, Blagar, Pandai, Baranusa di Pantar. Raja-raja di zaman dulu itu mengakui punya leluhur yang sama.
Di penanggalan angka tiga-belas manakala kami menyusur Wailawar tuju Bakalang, Tamalabang, Baranusa. Menera catatan estorie dan di simpan untuk status berapa hari ke depan dari hari ini, 13: Penjelajah Portugis yang lahir di Sabrosa, Fernando de Magelhaens, medio 17 Maret 1521 mendarat di kepulauan Filipina.
Masih ada puluhan kilometer harap sampai di Beang Onong, di Marica. Menyusur pantai di Lamma, matahari sore seperti bertenger di ufuk Flores, di bayang-bayang Lembata. Pulau Lapang di seberang. Membaca syair yang ditekskan berapa hari lalu: Kumbang Coleoptera mengepak sayap kelam, kau bertembang pasir putih panjang – hutan, sarang, karang, lamun dibom peradapan. Pernah. Masih. Regulasi dikokang, orang-orang bungkam. Koffie sumbang pulau seberang.
Jalan berlubang, berlumpur tuju Marica. Pagi di dermaga, berdiskusi kami, Pontius, Beno, Lomboan, dan saya, seraya memandangi anak-anak pantai melempar senar ke samudera:
Tak dengar alu bertalu, ditumbuk propaganda beras isi perut seragam hingga pelosok terperosok. Anak Marica lempar kail lempar senar, gemar, kadang memar.
Di sana decak gelombang. Ke kiri saja, Lapang Island, Batara, Lembata, Flores. Awan-awan pagi menari. Biru, mendung, musim yang asing. Morning Kangge Island, mari bersulang bluebluesky.
Masih terisa sajak-sajak adat dalam ingat saya nan murtad.
Kapitang sandar di dinding sampan,
gelombang bahambur.
Tong bersulang,
bambu seruas,
batok sepenuh sopi tumpah su di seloki,
manyanyi bae bae
awan putih manari lego lego.
Teluk melebar Pura Pantar
tuju Flores
tuju Banda.
Berhari-hari lalu, pagi bertalu. Warna dirindu baru: saya meramu bumbu, menanak, menimbah, menambang menghayal pengetahuan, menikmat kicau tanah perkara di samping di depan di belakang – pemukiman status quo. Tinta kabar bukan berita: review, menera resume, wawancara, menulisi kertas-kertas portal sepurba sajak-sajak. Seperti itu mengolah tanah dan bumi, menanam, menyiangi, memetik, berbagi, berkoffie, berilusi, ber-evolusi, revolusi caci maki.
Penganjur baru, orang-orang, pemuja dogma, penyembah bisnis ayat-ayat: sumber terbatas, terabai, terdepresi, konspirasi, ancam penyakit, todong phk, kdrt, stigma, isme, dst.
Bumi kesetimbangan keseimbangan sekian lama diporak-poranda. Konflik segala sumberdaya apa daya, peluruhan, pemunahan. Orang-orang patuh regulasi dipaku authority.
Di sana, bersua senyum yang rela saban bertemu lalu bersapa. Munaseli ditutur juga sebagai Munasely terhubung dengan rontoknya Majapahit. (*)
[…] panjang, saya membaca sajak silam di Munaseli tentang Beang Onong, di Marica. Menyusur pantai di Lamma, matahari sore seperti bertenger di ufuk […]