Saturday, December 21

Melawan Vonis Kanker

25 Oktober 2020


Oleh: Linda Christanty


Tak ada obat kanker. Kalau ada yang beruntung melewati tahun-tahun kritis dan berusia lebih panjang dari perkiraan dokter, itu sebuah anugerah


SEBELAS tahun lalu saya berada di sebuah rumah sakit di Malaysia, sendirian. Saya sedang memeriksakan penyakit. Kemungkinan-kemungkinan buruk sudah saya pikirkan, termasuk saya akan mengidap kanker. Penyakit ini sampai sekarang belum ditemukan obatnya.

Di dunia kedokteran, tidak ada istilah “sembuh dari kanker” atau “penyakit kanker hilang” secara permanen.  Radiasi, pembedahan, dan pengobatan dilakukan untuk memperpanjang umur pasien. Sewaktu-waktu, ia akan kembali, mengganas, kalem, dan mengganas lagi.

Pengecualian selalu ada. Seseorang terkena kanker di usia menjelang 20-an dan masih hidup sampai sekarang, melewati usia 60-an. Meski berumur panjang, orang ini pun suatu saat pasti meninggal dunia. Kalau bukan karena kanker, tentu oleh sebab lain.

Teman saya, Aini, berkata, karena itu orang yang lolos melewati pemeriksaan kanker secara berkala disebut penyintas. Ia rutin melakukan pemeriksaan sesuai durasi yang ditetapkan dokter tergantung perkembangan penyakitnya. Penyintas bukan orang yang sudah sembuh, tetapi orang yang berhasil melewati saat genting, yaitu sel kanker di tubuhnya bisa dikendalikan untuk tidak mematikan.

Ia mengurangi makan gula atau glukosa, karena menghilangkan sama sekali tidak mungkin. Katanya, glukosa adalah makanan lezat bagi sel-sel kanker.

Di ruang dokter spesialis itu, saya berkata, “Apa penyebab penyakit kanker?”

Dokter itu seorang keturunan China (di Malaysia tidak ada etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa hanya ada di Indonesia. Di sana disebut orang China saja) yang tampan dan memeriksa segala sesuatu dengan teliti, diam sejenak.

Setelah menemukan kalimat yang tepat dan dianggapnya kurang menakutkan pasien, ia menjawab pelan, “Sejujurnya, sampai hari ini belum ada yang tahu. Ada yang menyebutnya akibat polusi udara, ada juga yang menyebut dari makanan. Tapi, sejujurnya, belum ada yang tahu.”

Ilmu kedokteran belum dapat mengenyahkan penyakit ini seperti mengobati batuk atau pilek. Tetapi batuk dan pilek pun dapat datang dan pergi sebanyak ratusan kali dalam hidup kita.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang ditulis orang beberapa tahun lalu tentang kanker. Ia menyatakan penyakit kanker dikenal setelah listrik ditemukan manusia (dan digunakan). Menarik.  Apakah listrik penyebabnya? Apakah radiasi yang dimaksudnya?

Namun, pernyataannya itu juga membuat saya teringat jawaban seorang nenek yang menjadi narasumber salah satu liputan saya. Ketika ditanya umurnya, nenek itu menjawab, “Saya sudah menikah yang ketiga kalinya waktu tentara Jepang masuk kampung.”

Pada 1996, saya bertemu seorang ibu yang baik hati dan ia menjadikan rumahnya sebagai salah satu rumah aman di masa Orde Baru untuk para aktivis. Ia divonis kanker.

Di malam hari, menjelang tidur, saya bisa mendengarkan rintihannya dari sofa yang berseberangan dengan pintu kamarnya.

Saya berdoa agar ibu ini panjang umur, karena ia orang baik.

Ia memilih berobat ke seorang tabib yang berpraktik di Kebayoran Lama, Jakarta. Tabib ini memberinya daun-daunan dan akar-akaran untuk direbus, lalu airnya diminum.

Sekitar enam tahun kemudian, saya bertemu anaknya dan menanyakan kabarnya (dan bersiap mendengar ia sudah tidak ada di dunia ini lagi). Anaknya berkata, ibunya dalam keadaan sehat. Dokter yang memeriksanya di rumah sakit kaget. Di tubuhnya tidak ada sel kanker lagi. Sampai sekarang ia masih hidup dan segar-bugar.

Baru saja saya membaca resensi buku yang ditulis teman saya, seorang pejuang (yang melawan) kanker. Penulis buku tersebut menyimpulkan tidak ada obat kanker. Kalau ada yang beruntung melewati tahun-tahun kritis dan berusia lebih panjang dari perkiraan dokter, itu sebuah anugerah. Ia menulis satu buku hanya untuk secara halus menyampaikan hal ini. Tidak menarik.

Teman-teman, hidup ini sangat indah.

Banyak yang sudah kita lakukan dalam hidup ini untuk diri sendiri dan orang lain. Kita mengalami kesusahan, menyimpan banyak kenangan dari masa bahagia, dan masih hidup saat ini dengan sejumlah cita-cita yang bergelantungan di ujung-ujung rambut kita.

Jangan bersedih mengetahui sejumlah penyakit belum ada obatnya. Itu tidak lebih pelik dibanding menjawab pertanyaan bagaimana agar kita bisa hidup abadi.

Ketika kita meninggalkan dunia ini, banyak sekali misteri di bumi dan di alam semesta kita yang belum terjawab. Misalnya, bagaimana serbuk-serbuk bintang yang berada di alam semesta ini sampai membentuk Homo sapiens yang salah satunya berjenis kelamin perempuan, yaitu ibu-ibu, bunda-bunda, inang-inang, emak-emak, embok-embok, mama-mama, atau mami-mami kita, dan di dalam tubuhnya kita diolah menjadi cikal-bakal makhluk hidup.

Sebelum kita semua meninggal dunia pada waktunya nanti, saya berharap kalian mengingat Hari Minggu ini sebagai hari yang menyenangkan.

Menurut saya, yang membuat kita bahagia adalah karena kita berjuang untuk diri sendiri dan orang lain.

Jauhilah sifat serakah dan dengki.

Bagaimana caranya? Tidak harus pergi ke gereja atau ke masjid untuk mendapat jawabannya. Sering-seringlah pergi ke kuburan. Di sana kalian akan melihat gundukan tanah. Tidak ada mobil mewah diparkir di sisinya, bahkan sepeda ontel pun tidak. (*)


Gambar: Di Tepi Nestapa — DAX
Editor: Daniel Kaligis