14 Desember 2018
Oleh: Tom Lasseter
Ko Ni, pengacara Muslim, penasihat Aung San Suu Kyi, saat dia dibunuh komplotan yang melibatkan mantan perwira militer. Kisah kematiannya, termasuk rincian eksklusif tentang salah satu anggota komplotan yang bertanggung jawab atas eksekusi tersebut, membuktikan bagaimana harapan untuk ‘Myanmar baru’ telah meredup.
MANAKALA KO NI melangkah keluar dari Bandara Internasional Yangon pada Januari sore yang hangat di tahun 2017, penasihat hukum untuk partai yang berkuasa di Myanmar itu memiliki alasan untuk tersenyum.
Cucu lelakinya, berusia dua tahun dengan pipi tembem, sedang menunggunya. Ko Ni, 63 tahun, lalu mengangkat bocah itu dan memeluknya erat. Di trotoar di luar bandara, wajah mereka begitu dekat, memandangi koper dan hiruk pikuk taksi.
Ko Ni tidak melihat pria berkemeja merah muda dan celana pendek yang muncul dari kerumunan di belakang mereka. Pria itu mencabut pistol 9mm buatan Ceko lalu mengarahkan ke tengkorak Ko Ni dan menarik pelatuknya. Sebutir peluru lalu merangsek masuk meninggalkan lubang kecil di belakang kepala Ko Ni sebelum kemudian keluar dari giginya di sisi lain. Cucunya jatuh. Ko Ni terhuyung. Darah menyebar ke tanah.
Sebagai figur terkemuka dari minoritas Muslim yang terpinggirkan di negara itu, Ko Ni telah menerima ancaman pembunuhan selama berbulan-bulan. Dia sedang menempuh jalan berbahaya di Myanmar: secara terbuka menyerukan reformasi yang ditujukan untuk mengurangi peran dominan militer dalam pemerintahan. Namun idola politiknya, penerima Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, sedang berkuasa. Meski demikian, Ko Ni terus berupaya untuk mendorong para jenderal agar keluar dari arena politik.
Ko Ni
Tembakan yang mengakhiri hidup Ko Ni adalah gambaran brutal mengungkap fakta tentang Myanmar: harapan untuk demokrasi sejati dan kerukunan antar etnis, yang sebagian besar disematkan pada Aung San Suu Kyi, telah gagal. Mereka dihancurkan militer, oleh nasionalisme Buddha dan, pada akhirnya, oleh ketidakmampuan atau keengganan Aung San Suu Kyi untuk menghadapi kekuatan-kekuatan ini.
Ko Ni percaya bahwa Aung San Suu Kyi, yang secara internasional populer karena memperjuangkan demokrasi di Myanmar, akan menang atas militer yang tentakel pendukung dan kekuasaannya mencapai berbagai sudut politik dan bisnis. Keyakinan itu berakhir dengan tragedi.
Beberapa minggu setelah pembunuhan Ko Ni, tiga mantan perwira militer dijerat tuduhan oleh polisi sebagai dalang di balik eksekusi. Dua di antaranya – Zeyar Phyo dan Aung Win Saw – mengklaim tidak bersalah atas pembunuhan saat menjalani persidangan di Yangon. Sementara Aung Win Khine berhasil kabur saat akan ditangkap. Kyi Lin yang bertindak sebagai eksekutor mengakui tindakannya, namun bersikukuh bahwa aksi tersebut dilakukan di bawah paksaan. Sejauh ini tidak ada bukti langsung yang mengaitkan keterlibatan pejabat militer aktif di pembunuhan ini.
Narasi resmi yang disajikan di pengadilan dan publik, menggambarkan ketiga mantan perwira tersebut sebagai orang-orang tidak puas yang terpengaruh oleh nasionalisme ekstrem dan bertindak menurut inisiatif sendiri.
Tetapi investigas Reuters terhadap ratusan halaman catatan pengadilan dan dokumen-dokumen perusahaan, termasuk akta pendirian dan daftar direktur, menemukan hubungan dekat antara sebuah perusahaan keamanan dan salah satu tersangka yang diadili. Dituduh sebagai donatur eksekusi, Zeyar Phyo adalah mantan kapten intelijen militer.
Menurut catatan pengadilan dan dokumen perusahaan yang dikelola Direktorat Investasi dan Administrasi Perusahaan Myanmar, setelah meninggalkan intelijen militer di tahun 2004, Zeyar Phyo, yang saat itu berusia akhir dua puluhan, mulai membangun jaringan perusahaan di sektor komunikasi dan konstruksi. Perusahaannya bekerja untuk pihak keamanan, seperti membangun barak polisi, dan memenangkan kontrak dari kementerian pemerintah.
Salah satu bisnis Zeyar Phyo di Myanmar mendapatkan akses dari militer untuk tender peralatan komunikasi, seperti tercatat di formulir pasokan – yang menandakan bahwa ia memiliki koneksi di kalangan pejabat tinggi militer, menurut seorang mantan perwira.
Lingkar sosialnya termasuk wakil parlemen untuk Partai Serikat Solidaritas dan Pembangunan yang didukung militer, yang pernah lama menjadi asisten dari panglima militer Myanmar saat ini.
Selama kesaksian di pengadilan, Zeyar Phyo mengungkapkan bahwa semasa berkarir sebagai instruktur intelijen militer, ia “mengajar dan memimpin diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembunuhan di dunia internasional.” Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut soal ini.
Kepada Reuters, pengacara Zeyar Phyo menolak tuduhan bahwa kliennya terkait dengan militer dan menerima tender peralatan komunikasi. Pa Pa Win bersikeras bahwa Zeya Phyo “hanya membangun beberapa gedung dan beberapa rumah polisi.”
Saat ditangkap pihak berwenang di awal Februari 2017, Zeyar Phyo sedang berada di sebuah biara Budha di Yangon dan mengenakan jubah biarawan dan mengaku bahwa di saat persidangan bahwa hal itu adalah kebiasaan tahunan yang dijalaninya. Di persidangan, Zeyar Phyo mengaku menjadi lebih taat beragama, mempelajari ajaran Buddha lebih dalam yang berimplikasi pada berkembangnya cara pandang penuh curiga terhadap Muslim. Bentuk ekstrem dari cara pandang ini adalah kelompok ultra-nasionalis yang tidak menerima kehadiran Muslim di Myanmar.
Ditanya sejauh mana Buddhisme dan nasionalisme garis keras berkelindan di Myanmar, Witha Dara, kepala biksu di biara tempat Zeyar Phyo ditangkap, mengatakan tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Witha Dara lalu menambahkan bahwa “soal Islam, tidak hanya terjadi di negara kami: masalah ini di seluruh dunia. Hal itu disebabkan oleh upaya mereka untuk mendapatkan lebih banyak wilayah.”
Setelah penangkapan Zeyar Phyo, seorang spesialis politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yangon menulis analisis tentang pembunuhan Ko Ni. Yang menonjol adalah kedekatan beberapa terdakwa dengan militer, kata Lian Bawi Thang, penulis analisis tersebut, kepada Reuters. Dia merujuk pada hubungan antara dua orang terdakwa – Zeyar Phyo dan mantan perwira militer lainnya bernama Aung Win Khine – dengan mantan asisten panglima militer, Lin Zaw Tun. Ada bukti foto-foto yang menunjukkan ketiga orang ini menghabiskan waktu bersama.
Juru bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat, Aryani Manring, mengatakan bahwa mereka berkonsultasi dengan ‘banyak aktor’ tentang pembunuhan itu dan memberikan informasi kepada Washington, meski tidak mengeluarkan laporan resmi atau ‘membuat analisa hukum’ tentang apa yang terjadi. Namun, kata Manring, “pembunuhan itu sendiri dan unsur-unsur bermasalah dalam persidangan yang telah berlangsung selama lebih dari setahun, menimbulkan pertanyaan serius tentang siapa yang berada di balik pembunuhan itu dan apakah mereka akan diungkap.”
Aung San Suu Kyi tidak menghadiri pemakaman Ko Ni. Di publik, ia juga tidak berbicara tentang apapun tentang Ko Ni dan bungkam hingga upacara peringatan yang disiarkan salah satu televisi sebulan kemudian, ketika Suu Kyi memuji almarhum sebagai kawan dan penasihat. Namun menurut seseorang sumber, tepat setelah pembunuhan, secara tertutup Suu Kyi mengatakan bahwa Ko Ni ‘telah dirampas dari kita’ dan merupakan pukulan yang mengerikan sekaligus peringatan bagi mereka yang masih hidup.
Apa pun pandangan pribadi Aung San Suu Kyi, pembunuhan tersebut – dan minggu-minggu kesunyiannya di depan umum – mengirim pesan mengerikan kepada umat Islam di Myanmar. Partainya sendiri – National League for Democracy (NLD) telah mengambil langkah-langkah terbuka menjauhkan diri dari politisi Muslim. Pembunuhan Ko Ni menggarisbawahi soal risiko besar jika membicarakan soal reformasi militer.
Ditanya tentang sikap diam Aung San Suu Kyi, putra Ko Ni tampak hati-hati memilih kata-katanya. “Orang-orang sangat tidak senang dengan ketidakhadirannya pada hari pemakaman, dan juga soal sikap bungkamnya,” kata Thant Zin Oo, seorang insinyur perangkat lunak yang kini tinggal di Singapura.
Kantor Aung San Suu Kyi maupun Kementerian Pertahanan tidak menjawab permintaan untuk menanggapi soal hal tersebut.
Sosok yang Tertib
Pada saat dia ditembak mati, Ko Ni sedang melobi amandemen konstitusi yang menjadi akar kekuatan para jenderal. Sekitar empat dekade sebelumnya, ketika Ko Ni mendaftar di Rangoon Arts and Science University, tidak dapat dibayangkan bahwa kelak ia akan memainkan peran besar dalam sejarah Myanmar.
Sebelum pindah ke Rangoon – yang kemudian diubah menjadi Yangon oleh junta militer – ia berasal dusun petani kacang dan nelayan di dekat Sungai Irrawaddy di Myanmar Utara. Keluarganya adalah petani dan yang bekerja sambilan di sebuah toko kecil. Teman sekelas di universitas menggambarkan status ekonomi Ko Ni dengan ringkas: “sangat miskin.” Untuk membiayai studi, dia bekerja sebagai buruh harian.
Ko Ni mulai bekerja di kantor hukum pada akhir 1970-an, mengurusi kasus apa pun yang bisa ia temukan di pengadilan setempat. Dia sosok yang tertib, kata istrinya, Tin Tin Aye. “Tidak ada yang diizinkan menyentuh buku-bukunya. Jika kamu mengambil sebuah buku, kamu harus meletakkannya kembali persis seperti semula,” kenangnya. “Dia selalu tahu jika ada yang menyentuh salah satu bukunya.”
Sebagai sambilan, Ko Ni mengajar mahasiswa hukum. Salah satunya adalah Robert Sann Aung, sesama Muslim. “Ko Ni tidak pernah berbicara tentang imannya atau pengalaman praktek hukumnya sebagai seorang Muslim,” kata Robert Sann Aung. Ko Ni juga saat itu tidak tertarik pada saat itu untuk bergabung dengan aktivisme politik Robert Sann Aung yang berupaya menantang penguasa militer Myanmar.
“Ko Ni bukan politisi, dia hanya pengacara,” kata Robert Sann Aung, yang adalah seorang pengacara dalam persidangan terhadap orang-orang yang dituduh membunuh Ko Ni, mewakili keluarga seorang sopir taksi yang terbunuh dalam perkelahian setelah penembakan.
Ko Ni membangun kehidupan yang nyaman. Istrinya melahirkan dua putri dan seorang putra. Dia tinggal bersama keluarganya di sebuah apartemen di pusat kota dan bermain golf, memenangkan trofi perak kecil di turnamen liburan Klub Golf Myanmar. Dia suka menyanyikan lagu-lagu lama Burma. “Jika Anda tak kenal dengan baik, jika hanya mendengar suaranya,” kata istrinya, “Anda akan berpikir dia adalah seorang Bamar” – kelompok etnis mayoritas penganut Buddha di negara itu.
“Saya mulai memiliki harapan.” Seperti itu istri Ko Ni, Tin Tin Aye, mengenang perkataan suaminya setelah Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah.
Namun, perubahan terjadi. Aung San Suu Kyi kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sedang sekarat pada April 1988, setelah sekitar tiga dekade tinggal di luar negeri. Mendiang ayah Suu Kyi memiliki posisi penting dalam sejarah Myanmar, mirip dengan George Washington di Amerika. Dihormati sebagai bapak bangsa dan patron militer Myanmar, seorang figur utama yang membantu mengakhiri pemerintahan kolonial Inggris.
Setelah Aung San Suu Kyi mulai berpidato di Yangon, Ko Ni muncul, dengan rasa ingin tahu tentang perempuan ramping dengan bunga di rambutnya yang berani berbicara menentang militer dan ikut mendirikan partai politik, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). “Ko Ni akan membawa botol air, keripik kentang dan duduk mendengarkan,” kata seorang temannya, Kyaw Nyein.
Partai baru itu ikut bertarung di pemilihan umum pada tahun 1990 dan menang telak, namun hasilnya ditolak junta militer. Aung San Suu Kyi lalu dikenakan tahanan rumah. Aktivis-aktivis lain ditangkap dan dipenjara.
Ko Ni melanjutkan hidupnya sebagai pengacara jauh dari sorotan publik. Pada tahun 1995, ia membuka sebuah firma hukum dengan dua pengacara lainnya. Ketika kantor itu berkembang besar, ia adalah satu-satunya Muslim, fakta yang tampaknya tidak pernah mengganggu Ko Ni.
Bayangan Demokrasi
Militer Myanmar mengumumkan berakhirnya setengah abad kekuasaan junta dengan pemilihan yang dikelola secara bertahap di tahun 2010 yang memungkinkan para jenderal untuk menukar seragam mereka dengan jabatan publik. Enam hari setelah pemungutan suara, Aung San Suu Kyi dibebaskan. Dia mengatakan akan mencalonkan diri untuk kursi parlemen dalam pemilihan sela yang diadakan pada 2012.
Ko Ni yakin bahwa Myanmar akhirnya berada pada titik balik. “Dia berkata, ‘Saya bisa melihat bayangan demokrasi dan saya mulai punya harapan’,” kenang istrinya, Tin Tin Aye.
Terinspirasi oleh perubahan dramatis, Januari 2012, Ko Ni merilis buklet setebal 36 halaman. Dengan sampul cokelat polos yang bergambar tangan dengan surat suara, judulnya mencerminkan pendekatan praktisnya terhadap hidup dan hukum: “Cara memilih dalam pemilihan mendatang.” Manual ini memberikan instruksi langkah demi langkah kepada pemilih tentang bagaimana proses itu bekerja.
Sebuah foto di dinding ruang tamu Ko Ni memotret momen saat ia menyerahkan volume tipis manual tersebut kepada Aung San Suu Kyi. Foto itu berukuran lebih besar dari sebuah panel kutipan ayat Kursi dari Surat Al-Baqarah, memohon perlindungan Tuhan dari kejahatan, dan dua panel kecil lain yang menyitir doa dalam tulisan Arab.
Selama sekitar lima bulan, mulai November 2011, Ko Ni menjadi relawan untuk partai Aung San Suu Kyi, berkeliling negeri dengan Toyota memberikan ceramah tentang panduan mengikuti pemilihan. Ketika berkeliling dari kota ke kota, ia “mengatakan betapa ia sangat menghormati” Aung San Suu Kyi, kata asisten kantor hukumnya yang telah bersama Ko Ni lebih dari 20 tahun, seorang penganut Buddha bernama San Naing. “Dia ingin negara ini menjadi demokratis, dia ingin negara ini menjadi lebih baik dan diperintah oleh orang-orang terpelajar.”
Setelah memenangkan pemilihan sela pada 2012, Suu Kyi masuk dalam parlemen, memimpin sebuah komite tentang hukum. Ko Ni menawarkan diri untuk membantu di setiap kesempatan, memberikan pendapat hukum secara tertulis tentang apa yang mungkin di bawah hukum Myanmar.
Ko Ni adalah sosok yang mengusulkan jalan lingkar mengakali ketentuan konstitusional yang melarang seseorang yang memiliki anak dengan warga negara asing untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Klausul tersebut, yang dirancang oleh pemerintah militer, memiliki efek spesifik: mencegah Aung San Suu Kyi, yang anak-anaknya lahir di Inggris, menjadi kepala negara. Alih-alih mempertentangkan hal tersebut, Ko Ni berpendapat, mengenai peluang posisi baru dengan kekuatan yang sama. Gelar Penasihat Negara, yang sekarang disandang oleh Suu Kyi, adalah apa yang dimaksud oleh Ko Ni.
Ia juga mengusulkan, bahwa ketimbang menghabiskan energi di rumitnya persyaratan untuk melakukan amandemen konstitusi, mengapa tidak melahirkan konstitusi baru yang berbeda?
Dalam wawancara tahun 2016 dengan media Myanmar, Ko Ni menjelaskan: “Jika militer masih fokus melindungi kepentingannya, adalah tidak mungkin untuk melakukan amandemen konstitusi dari dalam parlemen. Itu sebabnya menulis konstitusi yang baru adalah solusi terbaik untuk menuju konstitusi yang demokratis.”
Sikap itu membuatnya memasuki zona berbahaya.
Bagi militer, konstitusi memastikan bahwa mereka tetap memiliki peran dominan. Memastikan bahwa para jenderal yang memiliki kuasa untuk mencalonkan menteri pertahanan, menteri dalam negeri dan urusan perbatasan, memberi mereka kendali atas tentara, polisi dan keamanan perbatasan. Melalui Departemen Administrasi Umum, mereka dapat mengawasi tulang punggung birokrasi negara.
Munculnya seorang pengacara Muslim di pihak Aung San Suu Kyi yang berbicara tentang amandemen konstitusi adalah “ancaman langsung bagi militer,” kata Win Min, peneliti senior di Pusat Pembangunan Ekonomi dan Sosial, lembaga penelitian di Yangon. “Kondisinya bertepatan dengan berkembangnya gerakan nasionalis melawan Muslim.” Dengan nada rendah di sebuah kafe hotel, Win Min menambahkan: “Mengingat bahwa dia adalah seorang Muslim,” ultra-nasionalis menganggap Ko Ni sebagai ‘target’.
Eskalasi Ancaman
Dengan terbukanya Myanmar, ketegangan agama yang telah dipupuk di periode junta militer mulai meletus. Di bagian barat Negara Bagian Rakhine, operasi militer yang dimulai pada Agustus 2017 menyebabkan lebih dari 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. PBB mengatakan serangan itu termasuk pemerkosaan dan pembunuhan secara luas, yang dilakukan dengan niat genosida. Secara keseluruhan, lebih dari 900.000 pengungsi Muslim yang diakibatkan operasi militer 2017 dan beberapa aksi berdarah di periode sebelumnya, kini mengungsi di Bangladesh.
Ko Ni menjadi target kampanye kotor secara daring, termasuk menuduhnya sebagai pemimpin kelompok militan Rohingya.
Serangan media sosial adalah bel peringatan: sebagai seorang Muslim, Ko Ni telah melewati garis yang sudah ditentukan di masyarakat Myanar.
Berbicara tentang kematian Ko Ni, Han Tha Myint, anggota senior partai Aung San Suu Kyi, mengatakan ada beberapa orang, “meski bukan bagian yang sangat signifikan,” di dalam militer yang “ingin memberi peringatkan kepada komunitas Muslim.”
“Dan itu cukup efektif, saya pikir, karena setelahnya umat Islam menjadi sangat berhati-hati,” kata Han Tha Myint. “Mereka menjadi lebih pendiam. Ini hal yang menyedihkan, tapi saya pikir itu cukup efektif.”
Berkembangnya sentimen anti-Muslim ikut menjadi faktor penting dalam kalkulasi politik Aung San Suu Kyi dan partainya.
Pada Februari 2014, Ko Ni dijadwalkan untuk bicara di sebuah acara di Yangon yang diselenggarakan oleh NLD untuk menandai hari libur perayaan persatuan nasional. Tetapi sebuah kelompok nasionalis, Serikat Biksu Buddha Patriot Myanmar, menuntut agar Ko Ni dan seorang pembicara lain, yang juga Muslim, diganti demi “urusan nasional kita, agama kita, dan negara kita.” NLD lalu membatalkan acara. Terkait keputusan itu, seorang pejabat lokal dari partai Aung San Suu Kyi mengatakan mereka telah melakukan yang terbaik untuk bernegosiasi dengan para biksu.
Dalam sebuah pernyataan kepada sebuah surat kabar Myanmar tentang iven tersebut, Ko Ni mengatakan: “Saya benar-benar khawatir dengan masa depan negara saya.”
Kelompok-kelompok Buddhis nasionalis mulai menyerang Aung San Suu Kyi dan partainya sebagai pihak yang menjual bangsa kepada Muslim dan gagal melindungi ras dan agamanya. Dihadapkan dengan tuduhan-tuduhan itu, National League for Democracy (NLD) memutuskan untuk tidak menyertakan satupun kandidat Muslim di pemilu 2015. Aye Lwin, seorang pemimpin komunitas Muslim di Yangon yang keluarganya telah lama mengenal Suu Kyi, mengatakan ia pergi menemui pemimpin NLD tersebut untuk meminta jawaban.
“Dia mengatakan kita tidak bisa kehilangan satu pun konstituen, jadi tolong tunggu sampai kita memiliki demokrasi penuh, mari coba berpartisipasi dalam upaya kami untuk mencapai tujuan tersebut, untuk melewati masa transisi ini,” kenang Aye Lwin. “Jika ada Muslim di antara kandidat NLD, pihak lain akan memiliki kesempatan untuk berpropaganda bahwa NLD menggunakan Muslim.”
Tapi, Aye Lwin dengan nada suara tinggi menambahkan, “Mereka tidak layak mengklaim diri sebagai demokrat, termasuk Aung San Suu Kyi, karena demokrasi berarti hak asasi manusia.”
National League for Democracy (NLD) menyapu bersih Pemilu di akhir tahun 2015. Pada April tahun berikutnya, Aung San Suu Kyi menjadi penasihat negara, menjadikannya pemimpin de facto Myanmar.
Saat berkuasa, Suu Kyi justru mengecewakan para pendukung setianya. Di antaranya adalah Thein Than Oo, anggota senior Asosiasi Pengacara Independen Myanmar, kelompok yang sebelumnya ikut memperjuangkan kemenangan Aung San Suu Kyi. Thein Than Oo menceritakan pertemuannya dengan Aung San Suu Kyi pada sebuah konferensi tentang reformasi peradilan. Mengatakan ketidaksetujuan mereka dengan proposal pemerintahan Suu Kyi untuk memperketat undang-undang tentang pertemuan-pertemuan damai. Aung San Suu Kyi menanggapi dengan senyum dan lelucon kecil, kata Thein Than Oo.
Sementara itu, Ko Ni makin menonjol karena terus mendorong reformasi konstitusi. Ancaman terhadapnya juga meningkat. Ancaman mati biasanya datang melalui telepon selulernya. Setidaknya dalam rentang delapan bulan sebelum kematiannya, Ko Ni paling kurang menerima 10 kali ancaman pembunuhan, kata Nay La, seorang pengacara yang mewakili keluarga Ko Ni.
Konspirasi Rumah Teh
Permufakatan untuk membunuh Ko Ni dimulai April 2016 ketika tiga mantan perwira bertemu di sebuah kedai teh Yangon untuk membahas ketidakpuasan mereka dengan penasihat hukum Aung San Suu Kyi, menurut temuan yang disampaikan pada konferensi pers oleh kepala polisi dan menteri dalam negeri Myanmar. Liputan media atas peristiwa ini kemudian ditampilkan di pengadilan.
Di rumah teh itu, Zeyar Phyo, pensiunan intelijen militer berpangkat kapten, dan Aung Win Khine, pensiunan letnan kolonel. Mereka bersama dengan Lin Zaw Tun, seorang mantan kolonel yang bertugas di kantor panglima militer, Min Aung Hlaing, dari 2011 hingga 2015. Sejak 2016, Lin Zaw Tun menjadi anggota parlemen mewakili partai bentukan militer Union Solidarity and Development Party (USDP).
Ketiganya merupakan lulusan sekolah elit militer, Akademi Pertahanan Burma di rentang 1990-an dengan hanya berjarak dua tahun antar mereka. Lin Zaw Tun bersaksi bahwa ia dan Aung Win Khine bertugas di batalion yang sama setelah lulus. Di pengadilan ia juga mengatakan bahwa Zeyar Phyo adalah orang yang bermoral dan baik hati, religius yang taat dan “tidak tergoda oleh kesenangan duniawi.”
Bukti foto menunjukkan mereka bertiga menghabiskan waktu bersama di Hong Kong pada Agustus 2016, tersenyum dan berpose di depan kamera. Dalam kesaksiannya, Lin Zaw Tun mengatakan bahwa pertemuan itu terjadi secara kebetulan.
Kepala Polisi menuduh bahwa Aung Win Khine meminta salah satu saudara lelakinya untuk mencari seorang pria bersenjata untuk membunuh Ko Ni. Zeyar Phyo pada gilirannya memberi Aung Win Khine 100 juta kyat Myanmar (sekitar 1 milyar rupiah) untuk membayar operasi tersebut.
Sebagai eksekutor adalah mantan narapidana bernama Kyi Lin, yang sebelumnya pernah dipenjara karena mencuri artefak religi. Di pengadilan, Kyi Lin mengaku membunuh Ko Ni namun bersikeras bahwa ia terpaksa melakukannya karena hidupnya terancam oleh orang lain, versi yang dianggap tidak cocok dengan penyelidikan polisi.
Setelah membunuh Ko Ni sore itu pada Januari 2017, Kyi Lin melarikan diri, dengan pistol 9mm di tangannya dan pistol lain yang berada di dalam tas pundak. Ia tidak berhasil pergi jauh. Massa berhasil mengejar dan membekuknya.
Setelah penangkapan, terungkap bahwa Kyi Lin pernah menjalani hukuman penjara bersama saudara laki-laki Aung Win Khine, Aung Win Zaw. Informasi tersebut membantu penyidik ke terdakwa lain, menurut kesaksian pengadilan. Video keamanan bandara, yang menjadi bukti tambahan, menunjukkan Aung Win Zaw berada di samping Kyi Lin pada saat eksekusi. Mereka terlihat berbincang. Rekaman itu juga menunjukkan Aung Win Khine berada tidak jauh.
Mantan perwira intelijen Zeyar Phyo, yang membiarkan rambut dan janggutnya tumbuh panjang selama berada di penjara, mengaku tidak bersalah atas pembunuhan dan konspirasi yang dituduhkan. Dia menyangkal mendanai rencana tersebut atau berpartisipasi dalam pertemuan di kedai teh.
Saudara laki-laki Aung Win Khine, Aung Win Zaw, mengaku tidak bersalah atas pembunuhan dan konspirasi. Aung Win Khine sendiri berhasil melarikan diri saat akan dibekuk.
Pengacara Aung Win Zaw mengatakan kliennya maupun Aung Win Khine tidak ada sangkut pautnya dengan pembunuhan itu. Mereka “adalah mantan orang militer – jika mereka melakukannya, itu akan lebih sistematis,” kata pengacara itu.
Orang ketiga yang diduga menghadiri pertemuan kedai teh itu, Lin Zaw Tun, mantan asisten panglima, belum didakwa. Penyelidik mengatakan mereka tidak menemukan hubungan antara Lin Zaw Tun dan pembunuhan itu.
Saat bersaksi di pengadilan, Lin Zaw Tun mengatakan bahwa pada malam setelah pembunuhan Ko Ni, Aung Win Khine sempat mendatangi rumahnya yang berada di ibu kota Naypyitaw. Saat itu, Lin Zaw Tun mengakui memberi Aung Win Khine uang tunai sebesar satu juta kyat Myanmar. Lin Zaw Tun berkilah bahwa alasan Aung Win Khine meminjam uang tunai untuk keperluan bisnis.
Saat dihubungi Reuters, Lin Zaw Tun menolak untuk menjawab pertanyaan tentang hubungannya dengan Zeyar Phyo dan Aung Win Khine. “Saya sudah menjawabnya di pengadilan,” katanya.
Orang Militer
Investigasi Reuters soal koneksi militer yang dimiliki Zeyar Phyo, adalah dunia yang jarang dipahami oleh mereka yang berada di luar Myanmar, tentang bagaimana seorang mantan prajurit memiliki pengaruh yang dalam, jalinan bisnis, agama dan teman-teman berseragam.
Di tahun 2012, Zehar Phyo mendirikan perusahaan bernama ZYP Pte Ltd, di Singapura, sesuai verifikasi terhadap dokumen registrasi yang diajukan oleh Badan Regulasi Keuangan dan Perusahaan, Myanmar. Dalam situs web perusahaan galangan kapal milik pemerintah China, perusahaan milik Zehar Phyo melakukan upaya pendekatan yang bertujuan untuk membeli dua kapal patroli.
Kepada Reuters, seorang manajer di perusahaan tersebut mengatakan proses pelunasan pembayaran dilakukan oleh sebuah perusahaan yang berbasis di Myanmar. Zeyar Phyo terdaftar sebagai Direktur Pelaksana perusahaan tersebut. Salah satu karyawan di salah satu perusahaan milik Zeyar Phyo, yang merupakan mantan militer berpangkat mayor yang mulai bekerja sejak tahun 2012, mengkonfirmasi bahwa bos-nya mengimpor kapal tersebut untuk pihak kepolisian.
Sekitar lima bulan sebelum Ko Ni terbunuh, para pegawai Zeyar Phyo menerima bantuan peralatan komunikasi dari militer, menurut formulir tentang pasokan militer yang ditemukan selama penyelidikan polisi dan dijadikan sebagai bukti dalam persidangan. Selama kesaksiannya, Zeyar Phyo mengakui bahwa formulir tentang transfer peralatan, yang dilengkapi stempel oleh Departemen Militer dan menyebut nama perusahaannya, adalah dokumen yang sah.
Seorang mantan perwira militer Myanmar mengatakan kepada Reuters peralatan komunikasi yang diterima perusahaan Zeyar Phyo dari departemen militer, termasuk transceiver dan “main board untuk mendukung enkripsi” menunjukkan komunikasi dua arah yang dirancang untuk menghindari penyadapan dari pihak ketiga. Mantan perwira tersebut, yang akrab dengan proses pengajuan tender saat meninjau salinan dokumen tersebut, mengatakan bahwa hal itu membuktikan bagaimana luas kontak Zeyar Phyo di kalangan perwira tinggi tentara. Tanda tangan oleh staf militer kepada warga sipil hanya dimungkinkan dengan izin dari para petinggi, kata mantan perwira itu.
Bukti lain yang dihadirkan dalam persidangan adalah temuan polisi saat menggeledah kantor salah satu perusahaan Zeyar Phyo, yaitu disket berisi ceramah seorang biksu Buddha ultranasionalis bernama Ashin Wirathu.
Di masa lalu Wirathu menyebut Muslim sebagai musuh. Sebuah pidato tentang Muslim yang beredar luas di ranah daring tahun lalu, Wirathu bertanya kepada orang banyak, “Kadang-kadang saya bertanya-tanya, ketika orang-orang ini makan, apakah mereka makan dengan pantat mereka?” Saat orang banyak tertawa, dia melanjutkan, “Ketika mereka menggunakan toilet, apakah mereka menggunakan mulut mereka?”
Zeyar Phyo mengatakan kepada pengadilan bahwa disket tersebut tidak ditemukan di ruang kerja pribadinya dan bahwa ia ‘bukan ekstremis agama’.
Di tahun 2015, Wirathu tertangkap kamera menerima sumbangan sebesar 20 juta kyat Myanmar (hampir 200 juta rupiah) dari Lin Zaw Tun, mantan asisten panglima tentara.
Setelah pembunuhan Ko Ni, Wirathu memposting sebuah komentar di Facebook. Konstitusi Myanmar dan kekuatan politik yang mengabdi kepada militer, kata Wirathu, “penting untuk keamanan seluruh ras,” sebuah kiasan bagi mayoritas umat Buddha. Wirathu juga berterima kasih kepada orang-orang yang dituduh membunuh Ko Ni.
Saat dihubungi melalui telepon, Wirathu menolak berkomentar.
Terlepas dari ancaman terhadap dirinya bersamaan dengan meningkatnya gelombang sentimen anti-Muslim di Myanmar, Ko Ni mengatakan kepada istrinya bahwa satu-satunya pilihan yang masuk akal baginya adalah tetap bekerja untuk demokrasi.
Itulah yang dia lakukan ketika turun dari pesawat di Bandara Internasional Yangon pada hari dia ditembak. Dia baru kembali dari Indonesia. Delegasi pejabat dan aktivis Myanmar telah melakukan perjalanan ke sana untuk studi banding mengenai transisi dari kediktatoran militer. Di antara mereka adalah sekelompok umat Buddha dan Muslim Rohingya. Mereka sepakat membentuk tim negosiasi kecil untuk membicarakan rekonsiliasi antar komunitas mereka di Negara Bagian Rakhine.
“Semua orang percaya bahwa ini bagian dari jalan menuju perdamaian,” kata Mya Aye, seorang aktivis pro-demokrasi yang ikut dalam kunjungan tersebut.
Pembunuhan Ko Ni, katanya, mengakhiri semua itu. Hal ini terbukti tujuh bulan kemudian, saat militer di Rakhine melakukan operasi militer yang berakibat ratusan ribu etnis Rohingya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Naing Swe Oo, mantan perwira militer yang menjalankan lembaga studi pertahanan di Yangon, juga berada dalam perjalanan itu. Dia mengatakan mendengar suara tembakan yang membunuh Ko Ni. Dalam perkiraan Naing Swe Oo, militer tidak terlibat secara langsung. Tetapi karena Ko Ni terus mendorong amandemen dan reformasi konstitusi, kata Naing Swe Oo, ada sebagian orang yang beranggapan hal tersebut ‘mungkin berbahaya bagi negara’.
Di Myanmar hari ini, yang membawa peluru di siang hari bolong, dan darah seorang lelaki yang berharap demokrasi akan datang. (*)
Penerjemah: Andre Barahamin
Editor: Parangsula
Foto Unggulan: Reuters /Soe Zeya Tun
Foto Ko Ni: Wikipedia
Dimuat di kelung.id: 08 November 2019