Thursday, November 21

Leluhur Asia Turun di Kimuwu


09 Januari 2022


Menunggang modernitas, perempuan sintal memutar arah. Di paha kanannya ular hijau-tua menghadap bagian dalam badan. Di punggungnya, ia memikul tattoo, mantera mistis…

Kami bertiga, Josua, Rikson, dan saya, berpapasan perempuan itu, susuri lekuk lereng Lokon, Tatawiran, Empung, tuju Kimuwu…


Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Denni Pinontoan


KIMUWU itu di Asia, di tanah Minahasa – jazirah utara Sulawesi, Indonesia. Di sana, leluasa memandang alam sekitar, pepohon, pemukiman, awan-awan, kabut, ufuk di mana siklus matahari meninggi, lalu surut di barat, berulang, berganti tanpa henti. Cerita turun-temurun memercaya leluhur mereka turun dari langit. Tempat itu punya makna ‘muka bumi menonjol’.

Narasi tutur dibahasakan Tonaas Rinto Taroreh, dicatatkan Dr. Denni Pinontoan, menyebut bahwa, “Kimuwu, berasal dari kata ‘kuwu’ yang berarti puncak bukit atau gunung. Sebagai nama tempat bagi orang-orang Minahasa, ‘Kimuwu’ adalah puncak bukit yang memiliki nilai sejarah dan budaya.”

Penanda kelahiran: dewi, dewa, tou – touw, ular pernah hidup bersama, saling sapa, turun di Kimuwu. Untuk kisah senada, saya mengutip catatan kawan penulis, Linda Christanty: “Pada masa tertentu ular, perempuan, dan tuhan pernah menyatu. Tiga unsur dalam satu diri. Tritunggal. Sebelum manusia mengenal agama-agama yang lebih mutakhir, leluhur manusia memuja Tiamat, dewi ibu tertua dalam peradaban Mesopotamia Kuno dan dewi ular tertua dalam peradaban dunia. Tiamat melahirkan para dewa. Ia mencipta alam semesta,” seperti itu dicatat Linda dalam Kenangan Uci di bangun-indonesia.com, 21 November 2021.

Seperti kebetulan, trip di awal Januari 2022, manakala menelusur tanah Minahasa, bersua unsur-unsur yang dibincang pada paragraf di atas itu. Di sisi utara telaga tua penuh eceng gondok, Rikson Karundeng, dan saya membahas ‘mahwetik’Kata itu dieja juga sebagai ma’ wetik, mahawetik, tenggara, atau tungkara.

Mahwetik, tumbuhan penyembuh luka. Mahwetik bermakna memancar, disebut karena sifat buahnya yang ketika tua dapat meletup, memancarkan biji-biji yang menjadi benih. Anak-anak di kampung suka memanfaatkan buah yang telah meletus terbelah ruas-ruasnya lalu kuncup sebagai hiasan di kupingnya, anting-anting. Tumbuhan itu dikenal sebagai bunga pacar: Impatiens balsamina L.

Situs eksis berabad-abad. Mahwetik, yakni Impatiens balsamina L., sudah ada ribuan zaman sebelum Tahun Tuhan, disemai dewa-dewi, dihantar benih-benihnya oleh debar badai.

Saya memergoki tumbuhan itu ada di lahan subur Kimuwu.

Impatiens balsamina L., berasal dari Asia Tenggara dan Selatan, menyenangi lahan subur basah, mekar juga di antara bebatuan di pegunungan. Tumbuhan ini diperkenalkan ke Amerika pada abad Sembilan-Belas. Daun bergerigi di tepi, bunganya merah, merah jambu, ungu, putih. Para suraro Permesta yang tahu khasiatnya, bilang, bahwa daunnya dapat menyembuhkan luka sobekan peluru. Di kampung saya, bunga liar itu dikenal sebagai ‘maletok’.

Diskusi di Kimuwu, 08 Januari 2022: hadir Tonaas Rinto Taroreh, Reinard Wewengkang, Rachel Angelica, Rikson Karundeng, Josua Wayong, Anastasia Lensun, Armando Loho, Gusrifaldy Masloman, Mario Jackson Moningka. Para pengawal adat-budaya Minahasa ini menelusur jejak leluhur.

Selintas kelahiran: di Timur Dekat ada pesta datangnya sang penyelamat pada tafsir penanggalan Julian. Berikutnya, Gaius Yulius Kaisar, menyeberang Rubicone, 10 Januari 49 sebelum Tahun Tuhan, ini jadi pertanda perang sipil. Lalu perjalanan jauh dan sunyi. Bumi kaya tafsir. Rubicone, nama kuno Latin sungai kecil di utara Italia. Di zaman Kekaisaran Romawi, sungai ini mengalir ke laut Adriatik antara Ariminum dan Caesena. Saya, pengguna kalender Gregorian, dalam seputar penanggalan itu masih menulis sajak, memetik gambar-gambar.

Orang-orang mengenal tritunggal – tiga (yang) kudus di sejumlah peradaban, mengenal juga ‘aluk sanda pitunna’ – tujuh warisan ritual suci yang turun dari langit. Tonaas Rinto berkisah ‘siouw kurur’ – disebut leluhur Minahasa sebagai ‘sembilan bukhu’.

“Siouw Kurur itu dewa kelahiran sekaligus dewa kematian, kehadirannya ditandai burung ke’a melengkingkan suaranya, lahir dari timur, dari arah sebaliknya menandakan kematian: mungkin perang, penyakit dan bencana,” urai Tonaas.

Pada tiga puluh tahun silam, pepohonan, rumput liar, dan batu penanda terdiam dalam sunyi. “Di sini adalah kebun cengkih saat itu. Karena ada dua situs peninggalan leluhur Minahasa, kami kembangkan sebagai point interest wisata: ada festival ma’tambuleleng, kami menjual asesoris, menyiapkan fasilitas foto dengan pakaian adat, ada kafe dengan cita rasa Minahasa,” kata Reinard.

Padie’s Kimuwu, soft opening 2019, kemudian grand opening-nya pada Januari 2020. Terus mengembangkan perjanjian dengan tamu-tamu internasional, dan tamu-tamu dari berbagai tempat di Indonesia. “Penamaan Padie’s, terkait makanan pokok Minahasa. Ide dan konsep wisata bertema budaya, patronasi kesenian Minahasa, adventure pendukung off-road dan tracking – start dan finish di Kimuwu,” sebut Reinard, pemilik tempat itu.

Walau, tak banyak teks membincang keberadaan situs-situs Minahasa, termasuk di Kimuwu, narasinya disimpan teturunan para leluhur dalam syair-syair yang dirahasiakan. Syair ditutur dalam ritual, disimpan dalam ingatan. “Hanya orang tertentu — yakni tou – touw — yang mewarisi pengetahuan ‘kanaraman’ adat budaya dan alam di sana dapat mengurai hal tersebut,” kata Tonaas Rinto terkait syair dalam ritual itu.

Sebagai nama tempat bagi orang-orang Minahasa, Kimuwu adalah suatu puncak bukit yang memiliki nilai sejarah dan budaya.

Di zaman leluhur Minahasa, tempat ini adalah pusat pelaksanaan foso. Itu ditandai dengan adanya situs watu Marengke dan watu Siow Kurur. Begitu dijelaskan Dr. Denni Pinontoan, peneliti dan penulis adat budaya Minahasa.

Bait-bait berikut di bawah ini juga adalah catatan Dr. Denni Pinontoan:

Istilah ‘marengke’ diambil dari gerakan tari merayakan kemenangan perang. Yaitu menunjuk pada  kaki touw yang digerakkan naik-turun lalu diikuti oleh tubuh membentuk suatu gerakan.

Watu Siow Kurur adalah penanda untuk ketokohan seorang opo (leluhur) bernama Siow Kurur, yang konon memiliki tinggi tubuh sembilan kaki. Ia dikenal sebagai opo yang memiliki kemampuan-kemampuan mumpuni dalam perang-perang di zaman leluhur.

Di zaman Tasikela, atau di era Spanyol dan Portugis, sebelum dan sesudah berperang, para leluhur Minahasa berkumpul di Kimuwu dan melakukan ritual atau sumempung: sembayang kepada Opo Wailan Wangko.

Di zaman berperang dengan kaum Bantik, Kimuwu juga adalah pusat ritual. Sebelumnya, oleh karena terdesak mundur dari arah Saronsong, lalu Kakaskasen dan Lotta, orang-orang Bantik menjadikan tempat ini sebagai pemukiman. Beberapa kebiasaan keagamaan juga mereka lalukan di sini. Tapi, karena suatu hal, maka terjadilah perang antara kaum Bantik dengan kaum Minahasa.

“Di Kimuwu para leluhur Minahasa dari sejumlah walak berkumpul dan bermusyawarah untuk menghimpun pendapat dan kekuatan pada beberapa kali melawan kekuatan dari luar. Pertemuan inilah yang disebut Mahasa atau Maesa sebagai suatu kanaramen atau tradisi para leluhur ketika menghadapi kekuatan yang mengancam kehidupan bersama. Tradisi Maesa atau mahasa inilah yang menjadi cikal-bakal nama Minahasa.” Seperti itu dicatat Pinontoan.

Dengan pena dan kertas, Anastasia merekam diskusi. Hingga larut senja bersitatap awan-awan, rimba hijau, samudera, pulau-pulau, puncak Klabat dibalut kelam – kadang ditudung awan putih. Desk dan sesajen, kopi, goroho goreng, nasi bakar dalam bungkus daun pisang. Saya, membuka ‘Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion, and Transformation’ karya Peter Bellwood. Lalu memetik foto, tak jua bosan menikmat hue berganti saban ketika.

Depan meja persegi, Tonaas Rinto, Rikson, Josua, masih membincang Empung Totokai – sang dewa perang, marengke, dan toitouw. Di luar kabut menebal, sejuk angin, kemilau dari kampung seberang menebar bayan, pemukiman berdesak-desak. Malam di atas Warembungan. “Orai Lumimuut Toar itu jurus rahasia, doa: bila Tuhan benar ada, turunlah bersama touw,” ucap Tonaas.

Syair rahasia, sajak perang. Leluhur telah turun di Kimuwu, membawa benih-benih, tumbuhan penyembuh haus lapar, penghalau bala ditutur dalam kanaramen, tradisi.

Meliuk-liuk lekuk setapak masa silam, meng‘ada’ hari ini di tutur yang senantiasa tertanam benak toutouw, yakni para penjaga damai. Di sana, di Kimuwu. (*)



RALAT


Tertulis
Diskusi di Kimuwu, 08 Desember 2022: hadir Tonaas Rinto Taroreh, Reinard Wewengkang, Rachel Angelica, Rikson Karundeng, Josua Wayong, Anastasia Lensun, Armando Loho, Gusrifaldy Masloman, Mario Jackson Moningka. Para pengawal adat-budaya Minahasa ini menelusur jejak leluhur.

Mestinya
Diskusi di Kimuwu, 08 Januari 2022: hadir Tonaas Rinto Taroreh, Reinard Wewengkang, Rachel Angelica, Rikson Karundeng, Josua Wayong, Anastasia Lensun, Armando Loho, Gusrifaldy Masloman, Mario Jackson Moningka. Para pengawal adat-budaya Minahasa ini menelusur jejak leluhur.