17 April 2020
Siapa dapat membantah sebuah keyakinan? Siapa saja bisa.
Perbantahan usianya ribu tahun, ada jutaan ketika dimangsa dan hilang musnah. Padahal, keyakinan terhadap waktu dan usia bumi pun adalah tafsir, masih diperbedatkan hingga sekarang…
Oleh: Daniel Kaligis
ANDA yakin, silakan!
Walau, tentang keyakinan, kami masih terus mendebat mendiskusi membincangnya, terus dan terus, tak kenal bosan.
Saya berdiskusi seraya membaca email masuk. Mengulang beberapa keyakinan yang tertera di halaman media sosial: Ketika gadget baru muncul, barang itu dianggap saingan bisnis buku suci. Lalu, ada khotbah menuding supaya umat tetap bertahan pada kitab-kitab manual.
Karena keyakinan, ada guru hancurkan gadget anak didiknya. Gadget lebih menggoda dari oceh bisnis kertasnya di depan kelas. Hingga e-learning menendang kesaktian pagar tembok dinding sekolah.
Kemarin, Rabu, 15 April 2020, kami berbincang keyakinan. Dalam diskusi itu ada Denni Pinontoan — sambil menulis teks ini saya membaca pesannya, “Aruy keli karu. Rindu melep sama-sama sambil manyanyi..,” Rain Sumanti, Rikson Karundeng, Roger Kembuan, Greenhill Weol, Yonatan D.K., Ivan R.B. Kaunang, Candra D.R., dan saya. “Agama bermasalah dengan ilmu pengetahuan,” Greenhill, Director Mawale Cultural Center, membuka pembicaraan. Rikson mencatat alur diskusi, menera beberapa catatan. Ini diskusi lanjutan hari silam, di mana akademisi, seniman, sejarawan, budayawan dari komunitas dan organisasi yang berjejaring di Mawale Movement bersua dan bersuara. Saya, membaca wajah-wajah penuh semangat di masa pelik saat ini.
Dari dulu, tentang keyakinan kami bersepakat tidak bersoal dengan siapa pun, dengan dengan keyakinan apa pun, keyakinan ada hal privat. Diskusi mengalir, entah kami sementara menertawakan masa lalu, kenangan yang memang lucu, lainnya misteri.
Ivan R.B. Kaunang, mengurai rutinitas lembaga bertajuk ‘keyakinan’ dengan ritual itu-itu saja, mungkin membosankan. Bagaimana tingkatkan kualitas pelayanan, khotbah tidak hanya di atas podium. Temui mereka yang berkebutuhan, karena doa adalah praksis ibadat dengan memberi makan minum pada mereka yang lapar haus.
Rain — bukan hujan — masih terpengaruh diskusi sehari sebelumnya, menanya ‘Life Saving’ dan ketegasan regulator – dalam menghadapi pandemi. Lengkap pembahasannya ada Manguni News. Kali ini, pada diskusi Rabu, Rain mengusik keberingasan kabar, keyakinan-keyakinan didirikan atas regulasi menyimpang. “Kami dan orang-orang lain yang kritis terhadap lembaga agama dan pengambil kebijakan di daerah, dan meski dalam keadaan susah, masih jauh dari jangkauan pelayanan sebab pengambil kebijakan dan keputusan masih pilih-pilih bulu, pilih kasih.”
Masyarakat kita kenyang bencana, dan sudah punya pengalaman menghadapi masa krisis dan sulit. Tesis ini diulas panjang lebar Denni Pinontoan. “Lembaga agama harus membangun kepekaan, membantu umat menghadapi krisis.”
Jauh hari sebelum diskusi, 01 April 2020, Pinontoan mengulas realita manusia di dusun global. “Teknologi transportasi, komunikasi, dan politik global, serta turisme telah menjadi salah satu struktur, dan sistem ekonomi di hampir semua negara telah membuat dunia sebagai sistem, struktur dan jaringan yang saling terintegrasi. Tapi, pandemi Covid-19 mendekonstruksi semua itu. Dengan pandemi ini, turisme bukan lagi suatu kesenangan karena pengalaman baru, tapi berubah menjadi kecemasan oleh karena trauma. Banyak negara menerapkan lockdown, menutup pelabuhan dan bandar udara. Orang-orang dilarang masuk atau keluar. Di Indonesia, meski belum menerapkan lockdown, tapi beberapa daerah telah menerapkan karantina wilayah. Turis-turis mancanegara atau domestik tidak lagi diperbolehkan melakukan perjalanan secara bebas.”
Pembacaan soal yang menjalar di bumi, anggapan-anggapan absolut, termasuk keyakinan, terbantah oleh pandemi yang sementara berlangsung. Seperti itu Denni Pinontoan mengurai bait-bait esai bertajuk ‘Turisme’.
Dalam pada itu, esai Pinontoan berjawab keyakinan positif dari Grover. Kawan yang bermukim di Frankfurt, Germany, itu bilang, “Ekonomi anjlok selama beberapa waktu, tapi akan bangkit kembali. Barangkali kebangkitan ekonomi nanti akan lebih positif dibandingkan dengan dinamika ekonomi sebelum pandemi. Positif di sini, bukan dalam pengertian akumulasi, melainkan sisi etisnya. Pandemi telah memberi pelajaran, dan peradaban belajar dari bencana itu.”
Grover menyentuh apa yang diulas Pinontoan seputar ‘Turisme’. “Turisme terhenti selama beberapa waktu, lalu bergulir kembali. searah dengan kebangkitan ekonomi. Semakin baik pertumbuhan ekonomi, semakin besar orang-orang bepergian. Turisme mungkin akan lebih baik setelah pandemi selesai. Karena pandemi ini, justru telah memperbaiki kualitas spot, situs-situs dan alam. Pandemi itu masa pause. Pergerakan manusia yang cepat, dihentikan sementara, supaya alam punya kesempatan memperbaiki dirinya sendiri.”
Keyakinan untuk menuju sesuatu yang lebih baik selalu ada, optimis.
Entah ini suatu keyakinan. Bahwa ada interupsi bagi para korup dan para pelayan yang tidak memberi layanan berkualitas: pandemi selalu berulang sebab manusia lalai dan ingkar, atau gejolak semesta. The Black Death, dikenal juga sebagai Atra Mortem, membunuh lebih dari lima puluh juta manusia pada abad empat belas. Berikutnya Flu Spanyol, juga membantai jutaan manusia. Kitab-kitab mencatat, bagaimana orang tinggal dalam rumah saja ketika wabah.
Pemberita belum mau bertobat dari kelakuan menyebar hoax dan ketakutan. Beri semangat pada yang patah, jaga kobar di tungku api saling memberi, saling mengasihi.
Kekuasaan menyiap dana penanggulangan bencana, boleh jadi sejarah mengulang keberingasannya. Dana menjadi ladang korupsi baru atas nama keyakinan-keyakinan. Sekian lama dana-dana adalah keyakinan yang rawan. Soal korupsi di negeri ini lebih kejam dari pandemi.
Tentang penanggulangan Covid-19, Grover menulis, Minggu, 05 April 2020, “Rakyat yakin, bahwa dana 405 Triliun yang digelontorkan Jokowi dalam rangka mengatasi Virus Corona, akan dikorupsi. Mengapa rakyat yakin bahwa dana akan dikorupsi? Karena rakyat melihat pengalaman. Bayangkan semua paket dana dalam berbagai sektor yang sudah digelontorkan telah dikorupsi habis-habisan, misalnya dana BLBI, dana BLT, dana BPJS, dana BOS, dana bencana, dana Haji, dstnya. Semua tidak luput dari korupsi. Siapa yang mengorupsi? Tentu saja pejabat, anggota parlemen, LSM, dan lembaga-lembaga sosial termasuk yang mengatas namakan organisasi agama.”
Yakin, sebentuk pengalaman yang mengalir bersama waktu, sadar atau tanpa sadar, walau yakin belum tentu sebuah kepercayaan yang membentuk organ-organ untuk melawan pengalaman yang sudah sekian lama menindas dan membodohi rakyat dengan ayat-ayat.
Perang Keyakinan
Saya, membaca interupsi, membaca konspirasi, membaca keyakinan.
Membaca berita berapa hari silam. Cerita konspirasi. Sebastian Murphy-bates menulis di Mailonline, 16 Maret 2020, Piers Corbyn mengklaim Bill Gate dan Goerge Soros adalah dalang di balik Covid-19 untuk menekan populasi dunia. Entah kabar itu benar. Sejumlah data masih rahasia, keyakinan juga seperti itu, masih rahasia. Percaya atau tidak, setiap orang punya hak untuk menentukan keyakinannya sendiri tanpa pernah dapat dibaca pikirannya oleh orang lain.
Berabad-abad manusia dihibur keyakinan, segala mujizat ditanamkan dalam pikiran. Keyakinan dijadikan alat kekuasaan untuk mengatur cara berpikir dan bertindak. Keyakinan menjadi ideologi. Dalam kurun sejarah, ideologi dipaksakan dengan tangan besi, pedang, senjata dan perang membantai beda keyakinan.
Keyakinan jadi rawan. Di masa silam kekuasaan menanamkan keyakinan untuk mengatur manusia dalam ritual kepercayaan. Lalu perang meneriakkan kafir pada rakyat yang tak mau menyerahkan tanah leluhurnya menjadi ladang berdansa imperialis yang membawa janji kabar baik dari seberang.
Saya menera tanda, keyakinan di masa lampau. Tesis politik – tercatat, 24 April 2010. Jutaan manusia terbabit dan nyaris punah yakinnya sebab bapa segala bohong masih gentayangan. Perang ada di hati, pertikaian ada di otak sadar manusia. Damai menjadi jauh karena berbagai sebab dan alasan. Perang, bencana dan perceraian menggiring manusia pada tanya mengekal seakan tanpa jawab. Apa itu? Mungkin tentang keyakinan yang rawan.
Mari membuka lembar sejarah. Pernah membaca Privilegium Maius, sebuah dokumen abad pertengahan, dipalsukan antara tahun 1358 atau 1359 atas desakan Rudolf IV dari Austria yang berkuasa dari 1358 hingga 1365. Rudolf IV anggota Wangsa Habsburg.
Privilegium Maius merupakan modifikasi Privilegium Minus yang diterbitkan Friedrich Barbarossa pada 1156 yang telah mengangkat status wilayah perbatasan Austria menjadi kadipaten. Keistimewaan-keistimewaan yang ditulis dalam dokumen ini mengubah dunia perpolitikan Austria dan menghasilkan hubungan unik antara Habsburg dengan Austria.
Debar kuasa tahta suci memperluas wilayah, menanamkan keyakinan, kemudian perang.
Selain Privilegium Maius, ada piagam suci bernama Die Goldene Bulle, diputuskan tahun 1356. Inilah konstitusi pertama Kekaisaran Romawi Suci. Dalam piagam ini tercantum tata pemerintahan kerajaan, lembaga-lembaga tinggi kerajaan, sistem pemilihan, hubungan antarlembaga, dan kedudukan berbagai satuan-satuan politik anggota kekaisaran.
Privilegium Maius adalah sebuah keyakinan yang bertahta sekian lama dalam kuasa wilayah. Waktu berlalu, kepentingan bertalu. Lalu keyakinan bertikai. Tahta suci didera para pembaharu. Kuasa yang ratusan tahun bertahta dan menindas, pecah oleh perang kepentingan keyakinan-keyakinan.
Tercatat dari tahun 1618 hingga tahun 1648, konflik menyala antara Katolik dengan kaum Protestan. Mencuat persaingan Dinasti Habsburg dan kekuatan lainnya juga merupakan salah satu motif perang. Katolik Prancis mendukung Protestan, yang meningkatkan persaingan Kekaisaran Prancis dan Wangsa Habsburg.
Perang dan perang lagi, puluh tahun bersambung-sambung. Sebagaimana ditulis Richard Bonney, dalam buku The Thirty Years’ War, 1618-1648 – Oxford: Osprey Publishing, 2014, menyatakan bahwa, konflik agama, Katolik Roma Jerman dan para pemeluk Protestan, membara sebagai kontes politik penguasa Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci yang berusaha memperluas kendali mereka di Eropa. Berikutnya ada kekuatan Swedia yang berusaha membatasi gerak penguasaan itu. Prancis khawatir dengan prospek hegemoni Habsburg di Eropa. Kepausan Spanyol dan sebagian besar pangeran Jerman bergabung dengan kelompok Katolik yang diperjuangkan Habsburg Austria. Mereka ditentang kekuatan Protestan Swedia dan Denmark, pangeran Jerman yang Protestan, dan Prancis Katolik bergabung setelah 1635. Richard Bonney menyebut yang mana konflik ini paling dahsyat di era Eropa modern awal. Austria-Jerman, dan kawasan Eropa yang lebih luas, terlibat perang.
Pertikaian dapat ditarik benang merahnya dengan kepentingan penguasaan wilayah dan cara pikir rakyat, termasuk keyakinan-keyakinan yang dibawa para pemilik kuasa. Perang sesungguhnya bermula dari masa pemerintahan Kaisar Maximilian I, khususnya, semenjak Reformasi dan pemilihan Karl V, Raja Spanyol, ke tahta kekaisaran tahun 1519.
Kuasa datang dengan ayat-ayat. Klaim kitab segala cerita dan mujizat. Namun, keyakinan sudah menjadi saksi fakta dan data menyebar tanpa dapat dihapus jejaknya.
Wilayah-wilayah didatangi, diperangi, dihibur ayat-ayat, didongengkan surga-surga, ditodong pedang dan senjata neraka.
Walau perang, ada rindu berdamai. Negosiasi untuk mendamaikan Prancis dan Habsburgs, dirintis Kaisar Romawi Suci dan Raja Spanyol, dimulai di Köln tahun 1636. Negosiasi diblokir Prancis.
Derek Croxton dalam bukunya ‘Westphalia: The Last Christian Peace’, Palgrave Macmillan US, Jul 25, 2013, menyebut yang mana Kardinal Richelieu dari Prancis menuntut penyertaan seluruh sekutunya entah berdaulat atau berupa negara di dalam Kekaisaran Romawi Suci. Di Hamburg dan Lübeck, Swedia dan Kekaisaran Romawi Suci merundingkan Perjanjian Hamburg. Perundingan ini berakhir dengan intervensi Richelieu.
Tiba pada 24 Oktober 1648 di Osnabrück dan di Münster, ada runding damai, ini yang disebut sebagai Perdamaian Westfalen. Kekuasaan Ferdinand III yang bertentangan dengan konstitusi Kekaisaran Romawi Suci dicabut, dikembalikan pada para penguasa negara imperial. Rektifikasi atau pembetulan ini memungkinkan para penguasa negara imperial memutuskan sendiri agama resmi mereka. Umat Protestan dan Katolik dinyatakan setara di hadapan hukum dan Calvinisme diberikan pengakuan resmi.
Sekian lama keyakinan dipaksakan. Kuasa merebut wilayah dan memaksakan keyakinan-keyakinannya untuk mengontrol cara bertindak cara berpikir.
Janji berdamai belum cukup. Penguasaan wilayah jadi candu kekuasaan. Rakyat dan negeri yang ditindas ada di banyak lokasi, mereka lalu berontak. Sesudah perang tiga puluh tahun di Eropa, pecah perang Arauco. Pertikaian ini meletus 14 Februari 1655. Suku Mapuche di bawah pemimpin militer terpilih mereka, Clentaru, bangkit melawan Spanyol dalam pemberontakan di negeri yang sekarang menjadi Chili bagian tengah.
Mapuche atau Mäpfuchieu adalah orang asli di Chili Tengah, Chili Selatan, dan Argentina Selatan. Mereka dikenal sebagai suku Araucania, orang Spanyol menyebutnya Araucanos. Namun, istilah Mapuche paling sering digunakan. Data berapa tahun lalu menyebut Mapuche membentuk empat persen populasi Chili, mereka kebanyakan tinggal di Region Araucania.
Orang-orang Araucania hidup nomaden, mereka berburu dan mengumpul makanan. Terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Mapuche, Picunche, dan Huilliche. Mereka berbicara dengan bahasa sama dan bergabung untuk tujuan militer. Walau, sebaliknya mereka memiliki sedikit kesatuan politik dan budaya.
Encyclopædia Britannica menulis, perang Arauco sebagai rangkaian konflik antara suku Indian Chili dan penakluk Spanyol di abad enambelas, dan suatu pertempuran antara orang-orang Araucania dan Chili merdeka pada abad sembilan belas.
Rentang waktu yang lama, pertempuran Reynogüelén hanya alasan, lalu tiba perang Arauco 14 Februari 1655.
Perang Arauco sudah membuahkan pendudukan Araucanía pada 1861 – 1883. Kampanye ayat-ayat militer, persetujuan dan penetrasi tentara Chili dan penetap yang berujung pada masuknya Araucanía ke dalam wilayah nasional Chili.
Tentang penaklukan Chili, situs Spanish Wars History menulis, bahwa pada tahun 1531, Don Diego de Almagro, penakluk Spanyol tiba di Chili dalam misi pengintaian. Sejauh ini penaklukan imperium Inca di Peru dan imperium Aztec di Meksiko telah membuktikan yang mana orang Indian tidak sungguh-sungguh berjuang mempertahankan kemerdekaan di wilayah mereka, dan mereka percaya bahwa hal itu akan sama di seluruh benua.
Keunggulan Spanyol dalam hal senjata dan efek kejut. Pasukan penunggang kuda efektif pada awal konfrontasi militer yang terjadi pada 1531 di Reynogüelén. Dalam perang itu, orang-orang Mapuche yakin mereka didatangi makhluk aneh, setengah kuda, dan setengah manusia. Dan ternyata dengan mudah kemenangan diraih Diego de Almagro dan pasukannya. O iya, Reynogüelén nama asli dari sungai Perquilauquén.
Di balik itu suku Inca telah sekian lama berusaha menaklukkan Mapuche, jauh sebelum orang-orang Spanyol menjejak Tanah Selatan, yang kemudian dikenal sebagai Chili. Mapuche lama berperang, hingga akhirnya imperium itu mengalah dan menetapkan batas kekuasaan mereka di utara sungai Maule.
Puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, waktu dan ketika dalam keyakinan. Abad enam belas, sebelum kedatangan bangsa Spanyol, Chili bagian utara berada di bawah kekuasaan imperium Inka, sedangkan penduduk asli Mapuche mendiami Chili bagian tengah dan selatan.
Chili mendeklarasikan kemerdekaannya dari Spanyol pada 12 Februari 1818. Dalam perang di Pasifik tahun 1879 – 1883, Chili mengalahkan Peru dan Bolivia dan memenangi teritorial utara. Suku Mapuche takluk sepenuhnya pada sebelum dasawarsa 1880-an.
Walau relatif terbebas dari perebutan kekuasaan yang mengacaukan Amerika Selatan, Chili mengalami tujuh belas tahun kediktatoran militer pada 1973 – 1990 di bawah Augusto Pinochet. Nama lengkapnya Augusto José Ramón Pinochet Ugarte jenderal Chili, politisi dan diktator yang didukung Amerika. Jenderal yang naik tahta karena kudeta militer ini disebut menghilanglenyapkan tiga ribu dua ratus nyawa manusia.
Sekarang, Chili menjadi salah satu negara paling makmur dan paling stabil di Amerika Selatan. dan diakui sebagai kekuatan menengah di kawasan itu. Chili memimpin bangsa-bangsa Amerika Latin dalam hal kedamaian, daya saing, kebebasan ekonomi, dan persepsi korupsi yang rendah.
Laste
Sejumlah contoh kasus, fakta, data sejarah, telah kita telusur. Perang mengalir dari zaman sebelum masehi, masih tersisa sampai hari ini.
Bencana selalu berulang. Orang-orang menarik pelajaran dari banyak kejadian di bumi. Keyakinan-keyakinan pernah menempati ruang dengan ayat-ayat segala metafisika mujizat.
Bila ayat-ayat yang diklaim bermujizat itu memang diyakini dapat mengatasi bencana, dapat menyembuhkan sakit penyakit, niscaya sudah dari ratusan tahun lalu hospital dirobohkan, doakan saja segala sakit dan derita.
Doa dan ayat tidak pernah dapat menyembuhkan, tidak dapat memuas haus lapar agar kenyang agar punah dahaga. Namun, doa adalah semangat, sugesti dalam praksis yang menjadi ibadah bagi praksis saling mengasihi sesama.
Orang-orang bertikai keyakinan. Ternyata dalam pandemi kali ini semua harus membatasi jarak mengunci diri dalam renung: bumi dan semesta sekian lama dijarah oleh rakus tamak.
Manakala kita menjaga jarak, tinggal dalam rumah, bumi mengobati dirinya sendiri. Langit menjadi cerah, makhluk berkeriap, orang-orang boleh berbagi tanpa sekat-sekat keyakinan segala dogma yang mengurung manusia beribu masa.
Dalam diskusi berapa hari silam itu kami bertanya, ‘apa sesudah pandemi’, harap tetap mereka.
Keyakinan dalam dogma sudah sekian zaman bertikai dengan ilmu pengetahuan. Namun, sang Pencipta Agung itu ternyata seperti pengetahuan, dapat direvisi kapan pun dan tak dapat dikerangkeng dogma apa pun.
Dia, adalah keyakinan yang ada pada masing-masing makhluk di semesta. Ada pada anda, ada pada saya. Tak usah dipertentangkan. (*)