Thursday, November 21

Conquistador dan Mitos Debu Emas

12 Juni 2020


Oleh: Daniel Kaligis


Pewaris raja Muisca ditelanjangi, tubuhnya dilabur lumpur dan bubuk emas. Orang-orang melempar persembahan untuk para dewa di danau suci.

Sifat konduktor emas yang anti karat, membuat bahan itu dijadikan berbagai elemen pesawat luar angkasa. National Aeronautics and Space Administration, misalnya, menggunakan emas pada pembuatan bahan lapisan permukaan pesawat luar angkasa, emas digunakan pada sirkuit berbagai mesin pesawat luar angkasa…

Muisca raft – El altar al fondo Zipaquirá, Colombia – Monumento a los Mineros, El Parque de la Sal, Zipaquirá, Colômbia – Muisca people.

EMAS dicari selama beradab-abad. Kisah perburuan sumberdaya, termasuk area tambang, sudah menyebabkan perang berkepanjangan di muka bumi. Menyusur lekuk belantara, menyeberang samudera, menelusur tutur. Di area tambang, para penakluk para petarung berhadap-hadapan: menggali, batu, dulang atau tibe, wadah, lumpur, air, alkohol, pedang, perkelahian, darah, menjadi hal biasa.

Kolombia pernah disasar wilayahnya oleh para penakluk sebab mitos debu emas. Sekarang anda boleh mendebat emas oleh sajak suci. Namun, sepuluh ribu tahun silam – bahkan lebih jauh dari itu – sebelum teks dikenal, emas dan isi perut bumi ada di kaki para Tribal yang mengembara berpindah-pindah mengitari hutan rimba hijau gunung jurang berbatu.

Nun, di sana. Jauh sebelum tegak benteng-benteng, revolusi dan evolusi belum masuk dalam terminologi politik dan pengetahuan semesta. Sebelum kekuasaan gelisah mengangkut serdadu dan budak, perebutan pertambangan mineral, jatah ekonomi, propaganda, menjadi catatan panjang yang memang masih enggan ditelusuri.

Ribuan zaman mendekam, serangga, burung, satwa, merangkak, menyibak rimba, menenun sarang, mengulang ritus penyerbukan, biji-biji memecah jatuh mengulang siklus. Hingga datang conquistador, yakni para penakluk, lalu arah sejarah dituliskan dan ditelusur pada saat kemudian.

Zipaquirá, Zipa. Mengeja legenda. Kisah ini dapat ditelusur dalam sejarah merewang, El Carnero, ditulis Juan Rodriguez Freyle. Menurut Freyle, raja Muisca melaburi tubuhnya dengan debu emas secara ritual dalam satu perayaan keagamaan yang diadakan di danau Guatavita, Bogotá. Zipa menawarkan kepada Guatavita dewi perempuan di danau yang dikeramatkan. Tradisi lama Muisca menjadi permulaan dari legenda El Dorado. Kisah El Dorado dapat anda baca di BBC, ‘El Dorado: The truth behind the myth’.

Area yang elok ribuan tahun silam, lalu para penakluk datang. Penggalian di Altiplano Cundiboyacense — tanah tinggi Cundinamarca dan departemen Boyacá menunjukkan aktivitas berarti sejak zaman Archaic yang sama dengan awal Abad Holocene. Ini mengakhiri teori pada Abad Sembilan Belas bahwa Altiplano Cundiboyacense tidak dihuni sampai orang Muisca datang.

Zipaquirá. Orang-orang Muisca. Ketika Spayol menginvasi daerah itu, sudah banyak orang di sana, tak tercatat seberapa banyak.

Cerita dan catatan awal abad Masehi, ada kelompok Amerindian membentuk sistem politik dari cacicazgos dengan struktur piramida, kekuasaan terletak di atas cacique. Dalam Kolombia, dua kebudayaan dengan sistem cacicazgo yang paling rumit adalah Tayrona di area Karibia, dan Muiska di dataran tinggi sekitar Bogotá, keduanya adalah keluarga dengan bahasa Chibcha. Muisca dikenal memiliki sistem politik yang paling maju di Amerika Selatan, setelah Kerajaan Inca. Seperti itu dicatat Sylvia Broadbent, 1964: Los Chibchas: organización socio-política. Série Latinoamericana 5. Bogotá: Facultad de Sociología, Universidad Nacional de Kolombia.

Río Magdalena, terkenang untuk hari ini dalam sejarah yang berulang. Namun siapa mengenang, siapa mencatat kenangan? Ribuan tahun silam, di sana, adalah para pemburu, kelompok-kelompok nomaden subsisten yang tak mengenal ‘emas’. Sajak suci mereka adalah hempas angin badai dan langit yang senantiasa berganti warna dalam biru dan kelam berawan, lalu cerah. Lembah Rio Magdalena, satu dari sekian arteri transportasi utama, memisahkan Cordillera Central dari area yang lebih timur dataran menjulang Cordillera Oriental, kontras bila dibandingkan dengan area pegunungan lain di Kolombia yang punya cawan besar.

Wilayah timur negeri itu jarang dihuni. Inilah area datar menggulung dataran rendah Llanos Orientales — padang rumput tropis di timur Andes, di sisi barat laut Amerika Selatan, yakni Kolombia dan Venezuela. Orinoco di Llanos Orientales beriklim buruk selama era Kolonial — bagian dari Cawan sungai Orinoco dan area rimba yang meliputi bagian Amazon bagian dari cawan sungai Amazon (kedua cawan ini disebut dataran timur) yang meliputi sekitar enam puluh persen dari total area tanah negeri ini. Dataran utara merupakan bagian dari Karibia daerah alami yang meliputi area pegunungan Sierra Nevada de Santa Marta, gunung tertinggi di atas permukaan laut, dan Peninsula Guajira, daerah paling kering dengan formasi yang berbeda dari pegunungan Andes, Serranía de Macuira yang membentuk area hijau Guajira-Barranquilla.

Kolombia punya banyak situs arkeologi: El Abra, lekat dengan nama Río Magdalena yang diperkirakan eksis 13.000 tahun silam. Jejak arkeologi lain ditemukan di wilayah Altiplano Cundiboyacense membikin akademisi bersuara soal budaya El Abra: di Tibitó, peralatan dan artefak kuno lain ditakar ada sejak 9740 Sebelum Masehi; di dataran Bogotá khususnya di air terjun Tequendama terdapat peralatan lain yang tercatat berumur kuno dan dimiliki pemburu profesional. Peneliti lain menemu rangka manusia dari zaman 5000 Sebelum Masehi. Rangka itu dianalisa berasal dari zaman El Abra yang merupakan etnis lain dari orang Muisca membuktikan bahwa suku Muisca tidak menempati tanah kosong.

Mari mengulang. Sajak Río Magdalena, terkenang untuk hari ini dalam sejarah yang berulang. Namun siapa mengenang, siapa mencatat kenangan? Ribu tahun silam, di sana, adalah para pemburu, kelompok-kelompok nomaden subsisten yang tak mengenal ‘emas’. Sajak suci mereka adalah hempas angin badai dan langit yang senantiasa berganti warna dalam biru dan kelam berawan, lalu cerah. Orang-orang menyapa ramah pada para pendatang, lalu armada sandar dan menodongkan senjata.

Christoffa Corombo, nama di balik penyebutan Kolombia. Nama yang popoler dieja petualang samudera dan para Conquistador — dia, Christopher Columbus, disebut Cristóbal Colón di Spanyol, Cristoforo Colombo di Italia. Disinyalir, terminologi Kolombia mencuat dari revolusi Francisco de Miranda yang mengabarkan dunia baru. Tutur menyasar terutama pada bangsa Amerika dan koloni di bawah jajahan Spanyol dan Portugis. Kata ini kemudian diadopsi oleh Republik Kolombia tahun 1819 membentuk persatuan Venezuela, Granada Baru, dan Ekuador.

Christoffa Corombo tiba di Amerika medio 1492. Kedatangan Christoffa Corombo di Amerika, 12 Oktober 1492, sebagaimana ditulis Gerald Erichsen di ThoughtCo., dirayakan sebagai ‘hari perlawanan pribumi’ di Venezuela.

Kedatangan Christoffa Corombo dituding sebagai babak awal bentrokan budaya yang mengubah potret bumi. Impian dunia baru para penakluk dianggap konfrontasi brutal dari cara hidup yang sepenuhnya bertentangan dengan sistem kepercayaan yang dianut masyarakat setempat di benua, di pulau-pulau, di tanah yang dulu dianggap tak berpenghuni.

Mitos Debu Emas

Pemimpin senantiasa dijunjung tinggi. Zipaquirá, Zipa menawarkan sajian kepada Guatavita, dewi perempuan di danau yang dikeramatkan. Tradisi suci, menambang dan memberi persembahan. Disebut yang mana suku Muisca memang dikenal kaya emas. Mereka telah melakukan penambangan di Río Magdalena di lembah Andes selama ribuan tahun. Para peneliti yang datang kemudian meyakini identitas manusia yang dikenal sebagai Muisca pindah ke Altiplano Cundiboyacense ada pada zaman antara 5500 Sebelum Masehi dan 1000 Sebelum Masehi, yang berarti selama zaman Pembentukan karena kurangnya bukti di tempat seperti Aguazuque dan Soacha.

Altiplano Cundiboyacense adalah dataran tinggi yang terletak di Cordillera Timur, Andes, Kolombia.

Sebagaimana budaya Pre-Klasik Amerika, Muisca dalam masa transisi antara pemburu dan petani. Sejak 1500 Sebelum Masehi datang serombongan grup petani dengan tradisi keramik dari dataran rendah. Mereka memiliki tempat tinggal tetap dan bekerja untuk mencari air asin. Di Zipacón terdapat banyak bukti pertanian dan keramik kuno bertanggal 1270 Sebelum Masehi.

Disebut kemudian, pada antara tahun 500 Sebelum Masehi dan 800 Sebelum Masehi terdapat gelombang kedua migrasi ke dataran tinggi yang ditunjukkan dengan keramik berwarna-warni dan perumahan serta pertanian. Katanya, migrasi gelombang kedua itu adalah grup yang berakhir sampai datangnya Spanyol dan meninggalkan bukti berlimpah dan menjadi obyek penelitian sejak Abad Enam Belas untuk merekonstruksi kehidupan masa silam Kolombia.

Dalam ‘The Conquest and Discovery of the New Kingdom of Granada’, Juan Rodriguez Freyle menera tradisi suci Muisca. Ketika pemimpin Muisca meninggal, diadakan suksesi, dipilih pengganti sang pemimpin, ‘golden one’ biasanya kemenakan lelaki mendiang pemimpin. Tulisan Juan Rodriguez Freyle tentang tradisi Muisca itu diterbitkan tahun 1636.

Tepi danau suci Guatavita, orang-orang Muisca berkumpul, nyala api, dupa, sampan, suara-suara. Asap dupa, bendera, hening dalam kerumunan. Imam-imam berhias diri, melempar nyala dupa pada langit, sorak orang-orang mengeja kesetiaan pada pemimpinnya.

Pewaris raja Muisca ditelanjangi, tubuhnya dilabur lumpur dan bubuk emas. Orang-orang melempar persembahan untuk para dewa di danau suci.

Padahal emas, menurut Enrique Gonzalez, sebagaimana ditulis Dr Jago Cooper, di BBC, 14 January 2013, “Muisca hari ini, seperti halnya bagi leluhur kami, emas tidak lebih dari sekadar persembahan, emas bukan simbol kekayaan bagi kami,” ucap Gonzalez.

Emas dan harmoni dengan alam lingkunga. Temuan terbaru Maria Alicia Uribe Villegas dari Museo Del Oro di Bogota dan Marcos Martinon-Torres dari UCL Institute of Archaeology, telah menunjukkan yang mana pada masyarakat Muisca benda-benda dari emas dibuat khusus untuk segera digunakan sebagai persembahan kepada para dewa agar mendorong mereka menjaga keseimbangan kosmos dan memastikan hubungan yang stabil dengan lingkungannya.

Mimpi El Dorado, ‘kota emas yang hilang’, mitos debu emas, telah membikin para penakluk hilang di belantara seputar Río Magdalena, di lembah Andes.

Christoffa Corombo, nama yang lekat dengan Kolombia, Kristoforus Kolumbus. Kedatangannya di Amerika Selatan didanai kekuasaan, Ratu Isabella dari Kastilia Spanyol.

Sang ratu, sebagaimana dicatat sejarah, tersebut sebagai Isabel la Católica, adalah Ratu Kastila dan Leon. Melalui pernikahan, dia adalah Permaisuri Aragon sebagai istri dari Fernando II pada 19 Oktober 1469. Pernikahan mereka menjadi dasar penyatuan politik Spanyol di bawah kepemimpinan cucu mereka Carlos I atau Karl V, Raja Kastila dan Aragon dan Kaisar Romawi Suci, serta mengawali masa keemasan Spanyol. Di ranah politik, Isabel membuktikan dirinya sebagai pemimpin cakap. Setelah mengawali masa-masa sulit di awal pemerintahan, Isabel berhasil menekan tingkat kejahatan dan menghapuskan warisan utang-utang dari masa pemerintahan kakak tirinya.

Paus Aleksander VI memberikan gelar los Reyes Católicos, yakni ‘Penguasa Katolik’ kepada Fernando dan Isabella lantaran dipandang telah melindungi agama Katolik di kerajaan mereka. Isabella dikenal juga mendukung upaya menemukan dunia baru yang dilakukan para penakluk, termasuk sang petualangan yang namanya tenar, Christoffa Corombo.

Sajak Emas di Tanah Sendiri

Membayang emas di negeri seberang. Di tanah kita, cerita emas adalah konflik berkepanjangan yang masih membekas lukanya sampai hari ini.

Saya punya banyak kawan yang menggantungkan hidupnya dari bertambang emas, di tanah Minahasa, di Sulawesi Utara, dan di sejumlah lokasi di tanah air. Venal di wanua Paslaten berkisah tentang bagaimana ia membawa material untuk ‘menangkap’ emas di Nusa Tenggara. “Torang biasa nae penyeberangan dari Jawa, menginap di Bali, kong terus ke Bayan, pelabuhan Carik, di Lombok Utara. Dari situ torang kadang iko jalan darat, kadang sambung dengan penyeberangan. Maar torang so ada tujuan. Di sana, ada wilayah pertambangan rakyat, ada juga pertambangan yang punya izin eksplorasi. Samua itu kita so coba. Noh, torang kwa so biasa dari Toraut, so pernah di Ratatotok, di Tatelu.” Panjang lebar Venal cerita pengalamannya manakala kami bersua Medio 2015, saya ketika itu baru saja kembali dari Nusa Tenggara, menulis tentang rakyat, tentang kisah perempuan-perempuan kampung di sana.

Beberapa nama saya kenal terkait tambang rakyat di Sulawesi Utara: Sonny, Yany, Burik, Stevy, Perga, King, Jemmy, Melky, dan lainnya. Dari mereka saya mengerti mengapa memilih jalan bertambang, mencari emas karena harganya selalu bagus. Berapa di antaranya menyentuh tajuk yang ditulis Audie Judie Kerap, ‘Mengenang Ksatria Ninja di Peti Taman Nasional Dumoga-Bone 1992-2000’, di KOTAMOBAGUPOST, 19 Desember 2016.

Kita tentunya ingat awal 2019 silam, manakala area tambang di Bakan, Lolayan, ambruk dan longsor. Sejumlah penambang tertimbun. “Hingga Kamis, 28 Februari 2019, sore, sudah 27 korban yang dievakuasi. Dari jumlah itu, yang selamat ada 19 orang, meninggal dunia 8 orang. Informasi ini disampaikan Feri Ariyanto, Humas Badan SAR Nasional Manado,” demikian ditulis Michael Hangga Wismabrata, di KOMPAS, 01 Maret 2019.

Emas itu seperti magnet menarik logam. Cerita masa lalu, ‘gold, gospel, and glory’, mata panah imperialist yang juga singgah di tanah Minahasa. Cerita bersambungnya masih ada hingga hari ini, merasuk dengan berbagai dampak. Janji surga, omong kosong neraka, buah bibir yang memasung cara pikir bebas merdeka dalam bumi sengsara.

Mari mengulang babad emas dan pertambangan, mimpi kesejahteraan menderas sekuat sosialisasi masyarakat sejahtera adil dan makmur seperti mimpi tinggal landas yang hampir dapat dipastikan ketinggalan di landasan. Pada 11 Mei 2015, Eku Wand, menera link di halaman SaveBangkaIsland, isinya release penolakan beroperasinya tambang bijih besi di pulau Bangka. Itulah mengapa kawan Lisa Tungka-Feinstein tegas menginterupsi, “Jangan wariskan bencana pada anak cucu kita.” Beberapa dari kalian juga menyebut petaka pada alam dengan nada sama, atas-nama keprihatinan manakala lingkungan diperkosa bunting perkara berkali-kali bernanah luka mengangah.

Kenangan senantiasa berulang. Pernah ada di barisan pendemo, mendulang rasa dan resah karena desah mati rasa. Ujung 2005 saya pernah menepi di Likupang bersama Didi Koleangan dan dua kawan, memotret kapal merapat di utara jazirah Minahasa lalu berbincang dengan orang-orang kampung. Catatanku tentang peristiwa itu lalu dimuat di Harian Swara Kita Manado. Pada ketika itu aktivis lingkungan dicap penghalang investasi.

Barisan para pihak pernah menyemut di jl. 17 Agustus, Manado, di halaman kantor Gubernur, ajaib, sang Gubernur hadir di tengah kerumunan massa dan mengumumkan keberpihakan untuk pembelaan lingkungan. Senin 12 Februari 2007, Gubernur Sulawesi Utara, S.H. Sarundajang, mengatakan telah mengirim surat ke Kementerian Negara Lingkungan Hidup, isinya menolak Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diterbitkan pejabat di Jakarta. Link berita ini dapat dibaca di portal Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Media mencatat, di balik aksi itu, ada puluhan juta US$ sudah dikucur investor tambang untuk bangun infrastruktur jalan dan kantor pabrik pengolahan emas.

Terdiam? Tidak! Ada lagi. Medio 2014 dana investasi triliunan rupiah rupanya sudah diundang ke utara Sulawesi. “Sudah barang tentu perusahaan ini harus melengkapi semua persyaratan sesuai aturan perundang-undangan. Kita pemerintah di daerah tidak boleh menutup diri terhadap investor, apalagi investor itu benar-benar bonafit dan tujuan demi kepentingan umum.” Demikian kutipan pernyataan Gubernur Sarundajang yang dimuat di berita kawanua.

Punya sajak bagi tanah yang kami anggap harganya melebihi emas dan harga diri. Kawan saya, Fredy Wowor, bilang, “Ini hantu deri ingatan kelam di suatu ketika, kayaknya sih.”

Kawan Fahrul Amama, tentang saja itu dia bilang ‘Utopis’. “Beberapa abad lalu, Sir Thomas More menulis tentang suatu negeri ideal, di sebuah pulau khayal di lautan Atlantik bernama Utopia. Tapi buku yang diterbitkan di Inggris tahun 1516 dan menceritakan tatanan masyarakat madani yang dibentuk dari sistem sosial, politik dan hukum yang sempurna itu tidak pernah benar-benar mempengaruhi perkembangan filsafat kontemporer. Meski sampai saat ini buku itu masih kerap dibahas. Kaum utopis seringkali dikritik sebagai orang-orang yang mengagungkan pemikiran yang tidak realistis dan lebih suka mengkhayalkan sesuatu yang besar dan sangat ideal dan tidak mungkin terwujud, ketimbang berusaha mewujudkan hal-hal kecil yang lebih nyata dan lebih dapat dicapai. Idealisme absolut tidak pernah berhasil merubah dunia. Berabad-abad lamanya manusia telah mengkhayalkan bisa terbang ke angkasa. Tetapi hanya beberapa gelintir orang saja seperti Louis Pierre Mouillard, Otto Lilienthal, Orville Wright dan Wilbur Wright yang bekerja keras mewujudkannya.”

Itu tanggapan pada sajak yang dibikin sebelas tahun silam oleh Dean Joe Kalalo, 11 June 2009 at 21:20. Anda dapat nikmati saja itu di bawah ini:


Kita Pe Bumi


Di atas kita pe tanah orang-orang
Baku lempar senyum
Baku kase kasih sayang
Agama nyanda rupa piso, tasontong sadiki tairis

Di bawah kita pe langit
yang rajin kase ilmu yang malas
Nyanda ada yang kaya
Nyanda ada yang miskin
Samua torang punya sama-sama

Di kita pe bangsa samua orang boleh berbeda
Kong baku-baku hormat
Penyair bapuisi sampe kanyang
Nyanda pusing popoji kosong
Karna so nyanda perlu pake doi

Di kita pe skolah
Nyanda ada guru nyanda ada murid
Samua orang pe status sama
Kong saling membelajarkan

Di kita pe lorong
Samua orang boleh batalanjang di tenga jalang
Baku se tunjung masing-masing pe ‘barang’
Karna so nyanda ada lagi
manusia-manusia yang munafik

Di kita pe negara tentara deng polisi so nyanda ada
Karna so nyanda ada perang
Samua masyarakat hidop tentram
So nyanda ada kejahatan kemanusiaan

Di kita pe kampung nyanda ada yang baku bunung, bapancuri orang laeng punya
Ato baku lawang golojo jabatan
karna samua so hidop sanang

Di kita pe kota kantor pengadilan,
kantor KPK, Rutan so nyanda ada
karna samua orang so tau
bagimana mo jadi manusia

Di kita pe bumi
tiap hari torang cuma tau baku cuki deng berkarya
minum cap tikus sampe puas
mar tetap baku bangong tu kebudayaan masing-masing

Di kita pe…

“Woi bangong!! So tenga hari ini, nya mo pigi kuliah ngana?!”

Auw. Bukang ajus pe suara itu? Ah, butul. Polio le, masih tagantong tu mimpi…


Sajak ini ditera 27 Februari 2009, dikirim ke media sosial oleh Dean Joe Kalalo, 11 June 2009. Saya menjawabnya, “Pinjam ngana pe bumi dang, for kita mo ba gale parigi. Mo timba depe aer kong mo sirang samua tu yang so sementara kebakaran jenggot, karena dorang pe bumi so panas-panas tai ayang deng segala teori malimbuku. Rupa dulu, kita mo singgah di ngana pe bumi, kong sama-sama torang produksi mimpi semau hati. Karena di bumi laeng sedang cuma mimpi dorang so beking seragam, kong kalu salah mimpi di bumi laeng itu torang boleh dapa tuduh makar kong dorang se maso sel.”

Greenhill Weol menjawab Dean, “Dunia hari ini dibangun di atas mimpi, baik mimpi tadi malam ataupun mimpi milenia lalu. Jika semua orang bermimpi, maka tidak ada yang akan menghidupi mimpi itu. Jika semua orang berhenti bermimpi, maka tak bergunalah kita hidup di bumi ini.

Laste

Sekedar mengenang minggu silam, 05 Juni 2020. Even Hari Lingkungan Hidup Sedunia dilaksanakan di Kolombia. Dalam ingatan, Hari Lingkungan Hidup Sedunia pertama kali dicetuskan dalam Konferensi Stockholm oleh Jepang dan Senegal tahun 1972. Peringatan ini didasarkan pada keadaan lingkungan hidup manusia yang saat itu sangat memprihatinkan serta dilanda bencana.

Mengeja sajak lama El Dorado, 1636, Juan Rodriguez Freyle, yang dikirimkan kepada kawannya Don Juan dua bait berikut:

“Majelis berlangsung pada upacara perlantikan seorang pemerintah baru. Sebelum mengambil alih kuasa, seseorang lelaki akan menghabiskan waktu di dalam sebuah gua, tanpa perempuan-perempuan, dilarang makan garam dan lada hitam, atau keluar pada waktu siang. Tantangan pertama untuk lelaki tersebut ialah pergi ke laguna besar di Guatavita, untuk melakukan tawaran dan pengorbanan untuk hantu yang mereka puja sebagai tuhan. Sewaktu upacara yang berlangsung di laguna tersebut, mereka membuat sebuah rakit dengan tergesa-gesa, mempercantik dan menghiasnya dengan kebanyakan benda menarik yang mereka punya. Mereka meletak empat cahaya api yang dibakar menggunakan moque yaitu merupakan kemenyan bumiputera ini, dan juga damar dan wangi-wangian lain. Laguna tersebut besar dan dalam, jadi kapal tersebut itu bisa belayar di tempat itu. Kapal tersebut penuh dengan lelaki dan perempuan yang berpakaian baik, plak-plak emas serta mahkota. Kemudian, apabila api diatas rakit rakit mula membakar kemenyan, mereka akan menyalakan api di pantai, agar asapnya dapat menyembunyikan cahaya matahari.”

“Pada masa ini mereka menanggalkan pakaian untuk raja tersebut dan kulitnya disapukan dengan tanah melekit yang ada debu emas. Jadi, dia melabur sepenuhnya dengan logam ini. Mereka meletakkannya di atas rakit, dan di kakinya diletakkan dengan begitu banyak emas dan zamrud untuk ditawarkan untuk tuhannya. Ketika di atas rakit pula, dia diiringi dengan empat orang ketua utamanya, dihiasi dengan mahkota, gelang, loket dan subang emas. Mereka juga berbogel dan setiap orang akan membawa tawaran-tawaran yang lain. Apabila rakit tiba di tengah laguna, mereka mengibarkan sepanduk atau bendera sebagai isyarat untuk senyap. Kemudian dia akan membuang kesemua timbunan emas ke dalam danau, dan ketua-ketua yang mengiringinya juga melakukan hal yang sama. Setelah itu mereka menurunkan bendera. Kemudian, rakit tersebut mula kembali ke arah pantai, pekikan bermula sekali lagi, dengan seruling, serunai, dan sepasukan besar penyanyi dan penari. Dengan majlis ini, barulah pemerintah baru tersebut diterima, dan dikenali sebagai tuhan dan raja.”

Sedemikian sajak Juan Rodriguez Freyle mengiang mengulang babad lama dalam baru, melintas waktu dan tiba di hari ini.

Jangan ucap kekejaman yang sudah jadi fakta sejarah. Ide ini tentu buruk bagi yang menghendak keadilan. Namun, setara kutipan, tanah kita, lingkungan kita ada petaka. Isu lingkungan hidup di Kolombia disebabkan bencana alam, dan ulah manusia. Bias kalimat memang berulang, bencana hanya disebut bila korbannya manusia, bukan makhluk lain.

Tercatat, posisi Kolombia rawan sebab berada di cincin api Pasifik dan menyebabkan tidak stabilnya geologi daerah tersebut. Kolombia memiliki 15 gunung berapi aktif yang menyebabkan tragedi Armero dan gempa bumi Armenia tahun 1999.

Alasan terpilihnya Kolombia sebagai tuan rumah Hari Lingkungan Hidup Sedunia karena wilayah itu menjadi negara megadiverse dunia yang menampung hampir sepuluh persen keanekaragaman hayati di planet ini dalam kemitraannya dengan Jerman. Tahun silam, Platform Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menemukan bahwa satu juta species terancam punah di bumi.

Emas kita kadang hanya kata-kata selangit, terlampau tinggi seperti jauh terbangnya pesawat luar angkasa. Seperti itu regulasi lingkungan yang tak membumi, namun menginjak dan menendang rakyat.

Padahal, wilayah kita juga punya gunung berapi, punya lekuk gunung dan jurang. Apakah kita akan pindah ke planet lain bila gunung meletus? Apakah ketika ecenggondok memenuhi danau Tondano, kita lantas saling melempar lumpur kesalahan, menggosok diri dengan debu emas agar mengkilat dan cemerlang? Tangan kita sendiri harus mengangkat gulma itu. Kita sendiri yang harus mengurus lingkungan kita.

Saban hari adalah ingatan, bahwa lingkungan harus kita jaga dan pelihara. Hari ini peran masih dikurung dalam bingkai kebijakan, semua menunggu perintah. Regulasi terkadang menularkan baru, mitos-mitos mengurung lorong-lorong, memagari cara tindak, memekak dalam corong-corong upacara ritual yang basi dan terbukti tidak mengandung mujizat. Para rampok korup malah masih dibiarkan jaraknya mendekati proyek-proyek ‘rawan bencana’. Lalu mereka boleh bersembunyi di balik masker, menyamarkan wajahnya yang penakluk palsu.

Lingkungan dipercundangi tuhan-tuhan, lalu semua takut mati dan mengurung diri. Emas, mitos, dan kuasa penakluk meringkuk dalam dogma. Orang-orang membincang ilmu lintas pengetahuan, lalu kita masih enggan merombak kata kalimat, huruf-ruruf menjadi doa, sugesti bagi damai dalam semesta kemanusiaan yang akan bertahan bersama segenap makhluk yang semuanya mau eksis.

Mungkin seperti itu, jaga bumi, seperti jaga rumah kita. (*)