05 Juni 2021
Oleh: Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: law.ui.ac.id
Perkembangan hukum selalu ketinggalan dengan kecepatan perubahan masyarakat, apalagi di era digital. Menerbitkan hukum baru yang merespons kebutuhan masyarakat bukan perkara mudah.
Tak banyak hakim berani melakukan terobosan hukum, bahkan untuk isu kemanusiaan dan pemerintahan bersih sekalipun.
SECARA hampir bersamaan, masyarakat sipil dikecewakan oleh dua putusan pengadilan. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang padahal sudah kehilangan legitimasi sosialnya sejak perumusannya. Kedua, putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait jaminan kebebasan dasar bagi setiap murid, yang selama ini dipaksa sekolah dan kepala daerah untuk berpakaian tertentu, dengan dalih agama.
Tampaknya, Indonesia bukan laboratorium yang baik bagi mahasiswa hukum untuk belajar pintar dari putusan hakim karena langkanya putusan hakim yang bernilai tinggi (landmark). Bagaimanakah kedudukan putusan hakim dan implikasinya bagi masyarakat?
Putusan hakim berkedudukan penting sebagai acuan hukum yang memastikan keadilan bagi setiap orang. Memang teks hukum berisi norma dan cita-cita ideal, bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan dan keserakahan. Namun, teks hukum belum menjadi hukum yang hidup (the living law) sebelum mengalami ujian dalam kasus sengketa, dan melahirkan putusan hakim.
Sebabnya, selalu ada jurang antara teks hukum ideal dan realitas hukum yang menunjukkan selalu terjadinya pelanggaran hukum. Dalam persidangan teks hukum diuji, diperdebatkan, dan menghasilkan pertimbangan dan putusan hakim. Itulah hukum yang hidup, karena itulah yang senyatanya akan dipatuhi para pihak.
Perkembangan hukum juga selalu ketinggalan dengan kecepatan perubahan masyarakat, apalagi di era digital. Menerbitkan hukum baru yang merespons kebutuhan masyarakat bukan perkara mudah.
Dalam ‘kekosongan’ ini putusan hakim sangat penting sebagai acuan hukum sehingga disebut sebagai secondary legislature (Barak, 2006). Selanjutnya Barak mengatakan bahwa menjadikan diri sebagai corong undang-undang terlepas dari apa pun sistem hukum suatu negara, hari ini sudah ketinggalan zaman, karena UU selalu ketinggalan zaman.
Bagaimanakah Indonesia yang sistem hukumnya berakar dari civil law Belanda karena sejarah kolonial? Sistem hukum Belanda sendiri sudah mengalami perubahan, masa kini sumber hukum tidak lagi hanya kodifikasi undang-undang, tetapi juga putusan hakim.
Itulah alasan mengapa Mahkamah Agung Belanda membuat program untuk memajukan kualitas putusan hakim agar memiliki kepastian hukum dan semakin memberi keadilan bagi masyarakat.
Problematika Hakim
Sayangnya, di Indonesia para penegak hukum, terutama hakim, masih menempatkan diri sebagai corong undang-undang karena berbagai alasan.
Suatu penelitian Komisi Yudisial (2014) menginvestigasi mengapa putusan hakim kita banyak yang kualitasnya buruk. Penelitian dilakukan di delapan wilayah terpencil secara geografis, termasuk wilayah konflik, dari Pulau Weh di Aceh sampai Papua. Tujuannya, mengetahui pola berpikir hakim, dan cara mereka menghidupi hukum melalui putusannya.
Hasilnya menunjukkan umumnya hakim masih menempatkan diri sebagai corong undang-undang sebagai cara yang dianggap paling aman. Tidak banyak hakim berani melakukan terobosan hukum, bahkan untuk isu kemanusiaan dan pemerintahan bersih sekalipun.
Hakim konstitusi saat membacakan keputusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021). Pada persidangan tersebut, MK memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK tersebut. Adapun pasal-pasal yang dimohon untuk diuji itu, antara lain, pasal yang mengatur KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, izin penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas KPK, dan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Bagi hakim di daerah, amendemen ketiga konstitusi dianggap sebagai problem yuridis, yang berimplikasi sangat signifikan. Hakim di daerah harus dilihat sebagai kategori sosial yang berbeda dengan hakim di puncak kekuasaan yudikatif, seperti MA dan MK, karena situasinya berbeda.
Amendemen konstitusi ketiga Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman, yang diturunkan dalam SEMA No. 10/2005, meletakkan kekuasaan kehakiman kepada lembaga (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri), bukan individu hakim. Sementara, menurut Bangalore Principle 2001, kemerdekaan hakim harus diletakkan kepada keduanya, lembaga dan individu hakim.
Akibatnya, hubungan antara ketua pengadilan dan hakim di daerah terasa seperti hubungan atasan dan bawahan. Hakim takut membuat putusan yang tidak tekstual karena bisa dianggap tidak tahu hukum dan disalahkan.
Kisah keseharian para hakim menunjukkan tata kelola sumberdaya hakim yang transparan dan akuntabel tampak kurang berjalan. Akibatnya, misalnya, tidak ada dana keamanan bagi hakim apabila ada pengunjung membawa parang atau mengancam hakim di persidangan.
Cara hakim berstrategi adalah saling menjaga teman dengan pulang pergi ke tempat sidang naik motor bersama. Atau ada hakim yang waktu sakit sebangsal dengan terdakwanya. Juga, karena kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan berkualitas di daerah, banyak hakim tidak membawa keluarganya.
Akibatnya, berapa pun besar gajinya akan habis untuk biaya perjalanan menengok keluarga. Bisa dibayangkan rawannya konflik kepentingan hakim kalau sudah berurusan dengan kebutuhan uang.
Promosi dan mutasi hakim, sungguhpun ada peraturannya, praktiknya tidak demikian, dan cukup signifikan memengaruhi hidup hakim. Akibatnya, hakim di tingkat bawah takut dihukum karena bisa dikirim ke daerah terpencil sebagai hakim non-palu tanpa kejelasan kapan berakhir.
Ada hakim yang terus-menerus ditempatkan di wilayah terpencil meskipun kondisi kesehatannya buruk dan tanpa layanan kesehatan memadai. Ada banyak lagi kisah lain, pendeknya situasi hakim di daerah bisa menjelaskan mengapa tidak banyak putusan hakim berkualitas.
Kabar Duka Dunia Hukum
Kisah hakim di daerah dengan berbagai kendalanya seharusnya tidak dialami oleh hakim MK ataupun MA.
Namun, mengapa kualitas putusan hakim di puncak kekuasaan yudisial juga banyak yang mengecewakan rasa keadilan publik? Tampaknya hakim dengan kedudukan yang lebih berpeluang menghasilkan putusan berkualitas, tetap saja memaknai, menghidupi hukum sebatas teks mati, diisolasi dari fakta dan realitas masyarakat.
Tidak ada ruang bagi rasa haus akan perlindungan terhadap dampak kejahatan luar biasa korupsi. Tidak ada terobosan agar semua anak sekolah Indonesia tidak kehilangan hak dasar dan peluangnya dididik menjadi manusia berkarakter.
Putusan terkait Revisi UU KPK secara formil dan material cacat secara etika moral. Zainal Arifin Mochtar (Kompas, 8/5/2021) telah menyampaikan detail bahwa putusan MK tersebut menyempurnakan kejahatan, dan berimplikasi kematian, baik bagi KPK maupun bagi moralitas konstitusi lembaga itu.
Sebanyak lima hakim agung yang dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/3/2020). Para hakim tersebut sebelumnya telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Adapun lima orang hakim agung yang dilantik adalah Soesilo, Dwi Soegiarto, Rahmi Mulyati, H Busra dan Sugeng Sutrisno.
SKB Tiga Menteri 2021 adalah upaya menjamin akses hak dasar anak sekolah (khususnya perempuan), sesuai mandat konstitusi, Undang-Undang Perlindungan Anak, berbagai undang-undang lain, dan konvensi internasional. Substansi SKB tersebut esensinya adalah tidak diperbolehkan mewajibkan dan melarang pakaian dan simbol agama tertentu terhadap anak sekolah, tak terkecuali golongan agamanya.
Lagi pula terdapat 421 perda eksekutif di seluruh Indonesia (Komnas Perempuan, 2019), yang isinya mengatur kewajiban berpakaian menurut agama tertentu dan larangan keluar malam bagi perempuan sejak ada otonomi daerah.
Dalam paradigma Hukum Kritikal, hukum memang dirumuskan untuk tujuan mendefinisikan kekuasaan. Jelas terbaca politik praktis yang dilancarkan kepala daerah untuk mengaktifkan sentimen keagamaan demi kekuasaan. Celakanya, seksualitas perempuan sering dijadikan komoditas politik atas nama moralitas sempit.
Bukankah masalah serius pendidikan adalah murid kita di-ranking termasuk paling bodoh di dunia, antara lain, oleh survei PISA dari tahun ke tahun. Bukan soal pakaian!
Banyak survei menunjukkan anak kita semakin menghidupi nilai eksklusif dan intoleran yang justru didapat dari sekolah; termasuk sekolah negeri yang penyelenggaraannya dibiayai pajak rakyat seluruh negeri. Padahal, yang dibutuhkan adalah pendidikan berkualitas secara akademik, yang melahirkan anak Indonesia berkarakter (jujur, berbela rasa, dan cinta Tanah Air).
Instrumen hukum seperti SKB Tiga Menteri itu sudah lama ditunggu oleh banyak pihak di seluruh Indonesia untuk memulihkan karakter yang hilang dari anak-anak kita selama ini. Sayangnya, hakim tidak melihat adanya urgensi dan keseluruhan konteks dari masalah pendidikan kita.
Di era digital ini pekerjaan insan hukum dapat tergantikan oleh kecerdasan buatan atau artificial intelligence (Susskind, 2020). Semua teks hukum, data persidangan, dan peta putusan hakim sudah menjadi algoritma, dapat diperiksa mesin, termasuk transparansi dan akuntabilitasnya.
Menafsir hukum secara serampangan dapat mudah terdeteksi. Hal yang tidak tergantikan mesin adalah konteks hukum.
Hakim seharusnya juga membaca hukum sebagai konteks, yaitu realitas masyarakat, manusia di mana hukum berada. Memajukan hukum Indonesia berarti juga memiliki repository putusan hakim yang berkualitas, berhati nurani, dan melampaui zamannya agar dapat dijadikan sebagai rujukan di masa depan. (*)
Editor: Daniel Kaligis