Medio 2009
Oleh: Sam Fauroni
Kepekaan akan tercermin dalam wujud dan bangunan yang dirancang yang akan berimpilkasi pada kontruksi sosial. Sayangnya, realitas yang tengah berlangsung di sekeliling kita justru mencerminkan yang sebaliknya. Arsitektur bangunan yang ada justru menebarkan atmosfir yang menyebabkan orang merasa terasing.
ARSITEKTUR Post Modern, isu ini di tanah air sampai sekarang masih sebatas wacana. Tulisan ini-pun tidak lebih dari sekedar mengulang kembali secara singkat sebagian dari perbincangan tersebut yang barangkali punya kaitan dengan topik yang diangkat dalam edisi ini.
Post Modern pada awalnya merupakan sebuah gaya atau style pemikiran yang kemudian menjelma menjadi filsafat, gerakan senirupa, lingkungan serta bidang arsitektur.
Dalam bidang arsitektur, kehadiran aliran Post Modern memberikan alternatif agar pemikiran, gaya maupun desain bidang arsitektur tidak monolik atau tunggal. Arsitektur post modern menjadikan kegiatan merancang bangunan tidak sebatas sebagai olah pikir tapi juga sebagai olah rasa atau kegiatan berkesenian.
Munculnya aliran atau langgam arsitektur Post Modern merupakan gugatan dari paham arsitektur modern. Aliran arsitektur modern berangkat dari pemikiran bahwa kegiatan merancang bangunan merupakan olah pikir yang mengutamakan rasionalitas. Karena itu, salah satu ciri dari arsitektur modern adalah penekanan yang berlebihan pada aspek efisiensi atau kepraktisan.
Bentuk mengikuti fungsi, begitu kira-kira salah satu semboyan arsitektur modern. Pandangan ini berpengaruh pada bentuk atau gaya bangunan yang persegi, lurus, kotak-kotak. “Less is more”. Artinya, semakin efisien sebuah rancangan bangunan semakin berhasil. Selain itu, rancangan arsitektur modern digagas sebagai bagian dari simbol kemajuan.
Alur berpkir ini membuat arsitektur bangunan modern menolak semua bentuk simbol tradisional dan yang bersifat lokal. Ornamen yang merupakan ciri dari kebanyakan bangunan tradisional ditiadakan karena dianggap tidak berfungsi serta ketinggalan zaman.
Penyebaran faham tersebut ke seluruh penjuru dunia yang didukung oleh industri bahan banggunan telah menimbulkan terjadinya keseragaman dalam bidang arsitektur bangunan.
Kondisi tersebut berimplikasi pada hilangnya suasana dan nilai-nilai lokal. Siang atau malam hari di Jakarta tidak berbeda dengan di Tokyo atau New York. Kota-kota menjadi kehilangan sejarah dan nilai kelokalannya.
Simbol-simbol yang terdapat dalam bangunan tradisional yang merupakan artifak masa lalu telah musnah digantikan oleh realitas hasil dari manipulasi tehnologi material. Akibatnya masyarakat merasa terasing dan tercerabut dari lingkunganya sendiri.
Post Modern Menggugat
Arsitektur Post Modern mencoba menggugat dan memberikan alternatif untuk keluar dari kondisi monoton dan membosankan tersebut. Arsitektur Post Modern membalik alur berpikir kaum modern. Salah satu prinsip dari arsitektur post modern adalah bahwa bangunan harus menyesuaikan diri dengan manusia. Bukan manusia yang harus menyesuaikan diri dengan bangunan sebagaimana pandangan arsitektur modern.
Bangunan harus punya fungsi melayani manusia. Manusia adalah makhluk yang individual sekaligus anggota dari komunitas sosial. Manusia punya kebutuhan untuk menyendiri sekaligus keinginan untuk menjalin relasi dengan sesamanya termasuk kebutuhan untuk bemain-main. Manusia adalah makhluk universal serta lokal. Individu yang punya sejarah serta khayalan. Kebutuhan manusian tersebut yang dicoba ditampung dalam arsitektur post modern. Salah salah satu ciri dari asitektur post moderan adalah terbuka dan peka terhadap sekelilingnya.
Bangunan post modern selain menyertakan modernitas juga menampilkan unsur atau simbol yang diambil dari khasanah masa lalu dalam masyarakat.
Bagi arsitektur post modern fungsi dan bentuk merupakan dua hal yang berdiri sendiri. Bentuk tidak harus memiliki fungsi. Karena itu arsitektur post modern berusaha menempelkan oranamen-ornamen tradisional yang oleh arsitektur modern dianggap tidak berguna.
Pesan Kepekaan
Intisari dari perbincangan singkat mengenai arsitektur post modern adalah pentingnya kepekaan. Sikap ini yang barangkali patut digarisbawahi berkaitan dengan topik yang dibahas dalam edisi ini.
Kepekaan akan tercermin dalam wujud dan bangunan yang dirancang yang akan berimpilkasi pada kontruksi sosial. Sayangnya, realitas yang tengah berlangsung di sekeliling kita justru mencerminkan yang sebaliknya. Arsitektur bangunan yang ada justru menebarkan atmosfir yang menyebabkan orang merasa terasing.
Orang-orang menjadi kehilangan masa lalu dan komunitasnya. Tidak tersedia ruang bagi individu atau masyarakat untuk bermain-main dan berkhayal. Namun pesan paling penting dari perbincangan ini adalah bahwa seorang arsitek ataupun pelaku usaha jasa kontruksi — dengan profesinya tersebut dapat menjadi seorang aktivis sosial. (*)