Saturday, December 27

PSTL 2025


27 Desember 2025


Tuju xmas nan hedon — torang nonton redup, ilalang, pepohon, gunung, lembah, kabel-kabel, wale, susupuan, serap, yakni luna — menggantung amper separuh di awang-awang tenggara…
Tualang tou itu syair, pesta di tanah leluhur, subur tafsir…


Oleh: Dera Liar Alam


Gambar: Wale di bayang Serap, sekeliling Gelap


LELUHUR kami menyebut bulan itu serap, dan batas sebagai susupuan. Ada berapa terminologi dari wanua dalam dialek di artikel ini: amper itu hampir, dekat – nyaku itu saya, aku yang ego – torang itu kita orang, atau kami – tou itu orang, manusia, identitas – wale itu rumah, kediaman, tanah leluhur yang punah value oleh karena sistem menjarahnya dengan surat-surat, teks, regulasi. Silakan kembali pada alinea ini bila tersandung teks dalam dialek wanua. Selamat bingung, ada juga dialek ibukota nyampur di sini.

(07-01)
Sajak Cuaca

Telah dicatat dalam sajak perjalanan dalam dua bait berturut-turut di bawah ini — pada bilangan hari ketujuh dalam penanggalan Gregorian warsa yang sementara kita geluti sekarang ini — bahwa, “Tarian awan ingatkan nama, kekasih masa lampau, belum berganti. Pesta di tanah leluhur, orang-orang berderet-deret pura-pura senang walau gamang. Keinginan dipermainkan harga, ego dendam serta rasa belum terdefinisi: Kawan bersuka, kami disuguhi cairan penyemangat. Hujan bakar diskusi kritik. Api nyala rintik-rintik gelisah, kata kawan, “Mabuk itu babad pengalaman spiritual.”

Dan, benar. Semua orang bersalah, kami ampuni, sambil tertawa bareng-bareng dan bersenandung awan-awan kuning, bunting. Kita terbang pada cuaca yang kurang baik. Kencangkan sabuk pengaman, agar lapar dan miskin wawasan boleh diakali. Lalu api dan rawi – rantai riwayat – dimangsa kabut. Uap berlari menuju purba, langit masih separuh biru. Keadilan nisbi, seperti janji palsu kampanye berulang-ulang, dst.


(11-01)
Syair Lupa


Ngulang kembara bertahun silam.
Wanua mengekalkan kenang. Tidak!

Lupa lebih kejam dari pembangunan dan janji-janji khayal gratis untuk ternak yang saban musim disuguhi bantuan langsung agar tetap tersihir dogma aristokrat, bangsawan busuk.

Kaum — hafal keping puzzle tercerai persepsi. Dikira tuntas, hidup komunal diributi identitas-identitas tak pernah seragam, diversitàdisuguaglianza, dissomiglianza, divergenza, differenza, differenziazione, discordanza, disparità, varietà, contrasto, distanza, divario, discrepanza, dislivello, scarto, sbalzo, squilibrio, lontananza, etc.

Dari sembilan jam silam kabut-kabut di atas mimpi rimba kota, masih janjikan hujan pintu langit disegel pajak. Perjumpaan online, kita obrolin metroplex Dallas-Fort Worth, nyaku pilih menembang ulang San Antonio Rose: It was there I found beside the Alamo, enchantment strange as the blue, up above. A moonlit path that only she would know, still hears my broken song of love.

Wanua kekal kenang, tanah leluhur di mana kita dicinta menyinta sepenuh jiwa.

Nyaku memantik ‘Pesta Sastra Tanah Leluhur 2025’ (PSTL 2025) dengan eksplorasi dimensi tou, seraya menyibak tiga artikel: Pertama, ‘Masyarakat Antisains dan Bencana Kemanusiaan’, ditulis Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kedua, ‘Tongkat Presiden’, ditulis Pidar Lingi, kawan yang bermukim di Poland. Ketiga, sinopsis ‘Dalam Kemelut Perang’, novel sejarah ditulis DR. Denni H.R. Pinontoan, dosen IAKN Manado.

Makin jelas susastra rakyat dipisahkan narasi kekuasaan.

Teks-teks telah didominasi kampanye pencitraan brutal, dengan tegas memusuhi tou. Rakyat dipandang gurem, ornithonyssus bursa, tertuduh ektoparasit.

“Pemerintahan-pun hidup dalam gelembungnya sendiri. Banyaknya bencana ekonomi dan sosial yang kita hadapi umumnya bersumber pada terlemparnya warga masyarakat rentan dan miskin dari akses keadilan, utamanya proses perumusan hukum agar mengakomodasi kebutuhan rakyat. Ketiadaan check and balances di parlemen, karena sembilan puluh persen partai politik berkoalisi dengan pemerintah, melancarkan setiap usulan pemerintah. Bahkan sejarah bangsa-pun direkayasa untuk diubah, demi penghilangan sejarah reformasi 1998, dan peristiwa sejarah kelam lain.” Begitu disebut Prof Sulistyowati Irianto dalam ‘Masyarakat Antisains dan Bencana Kemanusiaan‘.

Kita semua terpapar dogma, lupa dan halu.

Interupsi satir disebut Pidar Lingi, “Barangkali benar, kita tak punya tongkat Nabi Musa. Namun setidaknya kita memiliki tongkat lain: tongkat swafoto, tripod pencitraan. Tongkat ini tak membelah laut, tak mengeluarkan air dari batu, tetapi mampu membingkai kenyataan dari sudut tertentu — membalikkan keadaan, mengecilkan derita, dan menjadikan bencana seolah hanya sensasi media yang dibesar-besarkan.” Data, fakta, bencana dipelintir dogma, bukti janji kampanye itu memang halu dan palsu. Baca ulasan singkatnya di ‘Tongkat Presiden’.

Syair memanjang memuja. Nama-nama lupa.

Entah, tamadun, adab, telah dirumitkan hierarki kuasa. Kapan saja narasi rakyat dapat dituduh barbar, liar.

Susupuan, sejarah digeser semau siapa berkuasa. Tou menapak dalam rupa nan redup. Tinggallah tanda. Nyaku mengulang, ‘Kamang’, ‘Margaretha’, sebagaimana ditera DR Denni Pinontoan di ‘Dalam Kemelut Perang‘, ingatan pada setapak peristiwa silam, dan tou. Dalam tou, kemanusiaan semesta itu nyata. Dia tanda yang senantiasa meng’ada’ dalam catatan bumi tanpa ketika, tanpa waktu, tanpa batas, susupuan.

Orang-orang, kelamin-kelamin, bergegas pada ritual yang berulang, pagi teramat dini di tepi Boulevard, nyaku menuju Wanua, mengulang pesta sastra tanah leluhur.


(09-01)
Syair Kayu Patah


Rindu pada aroma belantara, desau badai terpa alang-alang, deras kuala, dan senyum kaku anak-anak pencari kayu bakar.

Syair lupa mengeja salu, retak bergeser sekian mili. Pernah, Fort Tejon Earthquake, 09 Januari 1857, disebut bahwa peristiwa itu membikin patahan San Andreas – retak di kerak bumi di ujung barat laut Amerika Utara. Patahan membentang ribuan kilometer dari ujung Utara Teluk California melalui California Barat, Amerika Serikat tuju Samudra Pasifik di dekat San Francisco. Catat untuk alpa sekian waktu, teori rakyat diretak-patah oleh waktu.

Salu-salu purba menyisa Salo Tanggara: tiada ode mengiang di keriap tari liar – hanya dengung sepi babad peramu diduel dogma asing. Sunyi pencari kayu bakar. Ada surat magis perambah kayu-kayu main kayu, rimba sumberdaya dibakar teori dagang mercantilism berbaur dendang ayat-ayat kudis yang mengaku suci, kudus.


(14-12)
Sajak Genangan


Wanua abadi berbagai aroma alami, isoprenoid. Raksi: linalool, limonene, mirsen, pinena. Aroma isoprenoid berkombinasi terpena hidrokarbon beri puluhan ribu sintetis, senyawa. Di sini, aroma rimba dedaun hujan dan nyala kabar.

Lonceng kumandang, kita masih bernyanyi, ‘O Hai Sayang’, “Tari tari geulanggang cahaya buleun purnama, indah ta pandang teunang hate loen that suka, meunan umpama wate bang pandang rupa dinda, bit bit that seunang hate bang langsong tergoda.” Menderas alir membawa log-log, gelondongan, sisa bukti tebang. Dan ribu korban belum sempat dikalkulasi sistem tegar tengkuk.

Musim genangan, air ada di mana-mana. Deras badai membikin dedaun terhambur dan hanyut. Sampah bertumpuk-tumpuk, kaleng, kardus, kertas, kantong plastik, botol, lembar-lembar berkas-berkas, bekas-bekas. Saya berkeliling kota dengan sepeda lapuk, lintasi aspal, lobang, dan genangan. Ada enam anak menusur trotoar memungut bendera partai yang patah, mengikatnya kembali pada sepotong tangkai bambu, lalu mengibarkannya menunjuk langit dan tiang-tiang kota. Membelok saya ke rumah bernyanyi. Dinding, tiang-tiang, atap, lantai, alasan tak bisa nyanyi, walau isinya ada sound horeg, dan perempuan di layar membisik keras tak kasar, “The Alamo’s standing in the moonlight, the river is flowing by, and somewhere in this Texas city, my sweetie I’m gonna find.”

Saya membaca berita belum terlalu lama. Aceh Besar, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh Selatan, Bireuen, Bener Meriah, Gayo Lues, Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Subulussalam, Agam, Palembayan, Malalak, Tanjung Raya, Matur, Padang Panjang, Lubuk Minturun, Pasaman Barat, Langsa, Lima Puluh Kota, Padang, Solok, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Tanah Datar, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Sibolga, Deli Serdang, Langkat, Medan, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Nias, Padangsidimpuan. Ngungsi puluhan ratusan ribu ke mana, masih tercatat nama-nama terisolir.

Laste

Kekuasaan masih bersolek, berkampanye, ngelak dari fakta-fakta. Mendung di atas lurung dan setapak. Mengintip matahari tak garang di 11.14 A.M. sebab hujan baru sekian menit reda. Namun mendung tebal, kisah hujan telah ribu zaman masih sama. (*)


Permesta Rd – Tomohon, 2025