Monday, November 25

Senja Purnama Retak


08 Maret 2022


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis


Gambar: Interference – negeri dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia, hingga hari ini masih mengimpor garam.


Kudengar derap,
Kaki berlari menuju laut
Tinggalkan sunyi di rahim karang
Pasang belum tiba.

Sana,
Di teluk…
Rimba tiada lagi
Tinggallah luka bencana.

Badai, bisik Andromeda kepada kelam langit: kematian
Senja tadi, ia dikebumikan bersama purnama retak.


Jakarta, 2011


PENGEMBARA di muara tiga belas sungai membela metropolitan. Mata jalang peristiwa, Medusa, Gorgon? Bukan. Tapi, mereka bertiga tetap penjaga, pelayaran sekian zaman yang singgahi teluk. Air asin bening, ular laut bercengkrama cahaya, tembus hingga dasar lumpur, pasir, batu.

Nama pengingat, tiga bersaudara – tiga keyakinan dalam ribu tafsir. Statistik kesejahteraan rakyat beradu dengan kampanye ‘tolak gratifikasi’. Padahal, para raja terus memeras rakyat di lingkungannya.

Kudengar derap, kaki-kaki berlari menuju laut, menimba air asin menyiram ibu kota. Andi Koswara, Pelaksana Harian Kepala Bidang Penanggulangan Bencana – Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, bilang, ada 963 kali kasus kebakaran di ibu kota negara, kata Koswara pada saat sosialisasi peningkatan kapasitas manajemen penanggulangan bencana bagi masyarakat di kantor kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Nama tiga oknum, misteri menggantung di bulan, di atas awan-awan berkabut racun dan berita bimbang. Kita, bertiga melintas Medan Merdeka Barat, lalu meneriaki kesemrautan. Wajah-wajah lelah, berkeringat sekujur badan, menuju utara.

Kepala negara negeri tetangga datang berkunjung, isu bergulir politis. Laut Cina Selatan telah digubris. Medusa? Andromeda? Gorgon? Bukan. Rambutnya panjang menakutkan, terurai di laut. Ribuan tahun silam, rawa, mangrove, hutan pantai berseling nyiur dan dadap, rambut panjang itu pagar hidup peneduh. Anak-anak berkepang, berlarian berkejar-kejar mencari setapak rimba.

Lalu, di sekitar muara lahir pulau-pulau menuntut regulasi baru. “Dirgahayu 484,” ujar anak-anak memegang bendera. Upacara di balai kota, lagu dangdut lebih kuat dari suara adzan subuh. Begitu penduduk terjaga, sampah bertumpuk-tumpuk diguyur parfume: sosialisasi bersih-bersih dinas-dinas, suku-suku. Di atas meja perundingan, laporan ditandatangani. Paraf di atas meterai, tanggal dan nama obyek disebut.

Perairan dangkal, di sana kepulauan Seribu ratusan pulau. Ratusan meter persegi. Monster laut selalu balas dendam, mengirim darah kembali dara-dara yang terjual isu sampah – sewa tempat bermalam nan mahal dan kemilau ditembaki cahaya. Ketika bangun, berdiri, semua basah: rambut, baju, celana, badan, sepatu, dan semua perhiasan.

Zaman es – sekitar empat belas ribu tahun silam, purnama di atas Karimun, nama belum ada saat itu. Cahaya kuning bermain di antara dedaun. Pengembara memasak bubur di belanga perak, dalam pondok kayu berlantai tanah beratap alang-alang. Dia melompati rintang masa. Aroma ikan asap, aroma pandan, cabai dan bawang ada sampai sekarang.

Kudengar derap, kaki-kaki berlari. Berita dipasung, berita dilanggar, cerita ditabrak. Nama dieja sajak kemudian, Jakarta, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Lasem, Tuban, Surabaya.

Di atas istana, sekelilingnya kuil-kuil. Di situ, cahaya memantul kaca. Rumah-rumah bergaris, berbaris-baris. Ajaib, pengembara – rembulan penuh, disabit suara. Tafsir, tafsir, tiga nama politis, tiga keyakinan, juga politis. Tadi, purnama lahir dari negeri laut, meninggi lampaui atap gedung, gunung, awan, lalu cahayanya retak di kaca peradaban. Hutan, kelam, dan malam. (*)