Tuesday, April 30

Penyidik ‘Kaku’ dalam Hukum Berantas Mafia Tanah


27 Mei 2021


Ilmu hukum tak bisa lagi dikungkung dalam romantisme akademik masa lalu dan dikukuhkan dalam rezim administratif-birokratik pendidikan tinggi yang kaku dan sukar berubah. Pendidikan hukum tak bisa lagi dilakukan ‘business as usual’, sebagai tempat mencari uang saja, tetapi harus menjadi ‘center of excellence’, sumber produksi pengetahuan tentang segala persoalan hukum.

— Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
dalam artikel ‘Potret Buram Hukum’.


Oleh: AKBP Purnawirawan Kamaluddin, M.Si
Editor: Parangsula


SEBAGAI mantan penyidik kepolisian, saya malu melihat perilaku dan kelakuan para penyidik dalam menangani kasus-kasus yang masuk ke ‘meja penyidikan’ saat ini. Ujaran ini paling tidak untuk menggambarkan apa yang saya alami dan saksikan sendiri dalam upaya untuk menegakkan hukum di wilayah di mana saya berada, Sulawesi Selatan, secara khusus di kabupaten Gowa. Gambaran ‘Potret Buram Hukum’ itu sudah sangat nyata ada di sana.

Ambil satu contoh: ‘Ada laporan dugaan tindak pidana, yakni, pengunaan surat-surat yang isinya tidak sejati, atau tidak benar, dan atau tidak sesuai yang sebenarnya sebagai alat bukti yang telah melahirkan hak atas tanah bagi pengguna yang tidak berhak’. Insting atau intuisi menerawang, mana yang benar? Intuisi sebagai penyidik sudah beroleh petunjuk. Tindakan harusnya segera, bergerak, meneliti lebih dalam, cari data, cari fakta, beri keputusan dan kesimpulan, mungkin jawaban sementara, menunggu proses berlanjut, namun tahapan secara pasti sudah dapat diukur.

Buka aturan, sebagaimana Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 39 ayat 1, berbunyi: “dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan, penyidik wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 1 bulan”.

Apakah orang yang datang melapor tahu dan mengerti hak-haknya, misalnya tentang ‘Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan’? SP2HP sebagaimana saya sebut pada alinea di atas, penting diketahui pelapor, hal mana menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan yang sudah dikerjakan oleh penyidik. Bagaimana pengetahuan hukum dapat menjadi pengetahuan masyarakat luas jika dalam praktik hukum saja kita masih menutup-nutupi kelakuan diri sendiri yang berlaku seakan buta hukum, atau sengaja mengabaikan fakta-fakta yang sudah ada?

Apakah amanat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009, sudah dilaksanakan para penyidik? Tolong jawab sendiri-sendiri.

Baca Artikel lainnya di sini: Aturan Melawan Aturan

Saya selalu mengulang, mohon maaf bila tafsir saya tentang aturan berlainan dengan tafsir anda. Bila saya lupa dan alpa melaksanakan aturan, tolong diingatkan. Namun, dalam soal pemberantasan mafia tanah, dalam perkara yang sementara berlangsung dan terang benderang ada di hadapan kita semua, saya juga harus berterus terang, bahwa, oknum penyidik di wilayah ini menutup mata terhadap fakta-fakta yang sudah disampaikan oleh pelapor.

Perilaku sengaja menjadi ‘kaku’ dalam menjalankan perangkat aturan. Ada apa ini? Rakyat banyak di wilayah kita menjadi saksi, dan mereka yang masih kurang pengetahuan hukum merasa enggan berurusan dengan ‘maaf’ institusi kepolisian, sebab dalam pandangan mereka ‘hukum itu teramat mahal’, bahkan untuk mengakses hak keadilan atas hukum masyarakat harus menjual harga diri untuk berdiri di depan perangkat hukum yang ‘selalu merasa sudah menjalankan keadilan bagi masyarakat’, padahal ‘hukum’ masih berpihak pada mereka yang punya ‘uang’ saja.

Pertanyaan berikut. Sudah ada laporan, apa tindak lanjutnya? Oh, jangan-jangan anda sebenarnya sementara mem-back-up kerja-kerja para mafia tanah?

Perlu diingatkan, pemberantasan mafia tanah itu instruksi Kepala Negara didukung Kepolisian Negara. Jangan sampai rakyat mendahului dan bertindak seturut jalan mereka sendiri sebab kelakuan aparat yang keparat.

Ulangi lagi: sudah ada laporan. Contoh dalam perkara sengketa – antara Hj Andi Fauziah dengan Yenny Nios di Tombolo, Somba Opu. Mencermati dokumen-dokumen yang ada, dalam kasus ini terjadi pemalsuan dokumen, sehingga penyidik dan pihak pengadilan yang mengurusi perkara tanah mestinya boleh mengembangkan kasus ini bukan sekedar corpus juris civilis yang dianut hukum perdata kita di Indonesia, namun ada temuan kejahatan pidana pemalsuan di dalamnya. Dan dalam proses ‘lidik oleh oknum penyelidik’, sudah ditemukan bukti-bukti di mana surat-surat itu telah digunakan bersama dengan oknum-oknum BPN di kabupaten Gowa sehingga pengguna mendapat Surat Hak Milik (SMH) atas tanah yang bukan haknya.

Namun, coba telusuri kasus ini, penyelidik ternyata menerbitkan SP2HP. Penyidik menghentikan penyelidikan tanpa penjelasan memadai apakah surat-surat itu memenuhi unsur surat palsu atau bukan.

Di sisi lain, penyelidik malahan berbicara surat lain, bukan surat yang dilaporkan. Apa artinya perintah pemberantasan mafia tanah oleh Kepala Negara dan Kapolri, jika itu hanya nampak di layar depan. Sedangkan pada layar belakang perilaku yang membekingi para pelaku kejahatan oleh ‘mafia tanah’ masih terus berjalan. Apakah kondisi seperti ini masih akan terus kita dibiarkan?

Lebih dari itu, apakah isi SP2HP yang tidak benar itu bisakah diberi konstruksi hukum, bahwa penyelidik justeru ingin membekingi kejahatan yang sudah dilaporkan dengan membuat keterang palsu dalam SP2HP untuk menghentikan penyelidikan?

Ada sejumlah pertanyaan — yang secara pribadi, dan mewakili masyarakat awam — belum dijawab dan belum terjawab. Dan, tentu kita semua butuh jawaban dari pihak yang menjadi pengayom hukum di wilayah ini.

Secara ringkas dalam kesempatan ini, tentu saya memberi apresiasi kepada kepolisian yang sudah membuktikan penegakkan hukum tanpa pandang bulu, tanpa diskriminasi, dengan menjemput sendiri buronan dari luar negeri yang berakibat beberapa jenderal polisi ikut tumbang sebab terlibat pada perkara yang dimaksud.

Kepolisian, penyidik, lalu sosialisasi hukum: tegak tanpa pandang bulu, tanpa diskriminasi. Dikumandangkan, ‘hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas’. Kondisi ini tentu menjanjikan setitik harapan, maka, saya berani menuntut hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Hak apa itu? Hak untuk tahu perkembangan kasus yang sudah dilaporkan, selanjutnya kewajiban. Saya merasa punya kewajiban dalam penegakkan hukum, mendesak upaya pemberantasan mafia tanah di wilayah di mana saya mengada dan tinggal, di Gowa, Sulawesi Selatan. (*)


Hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak bila pemberitaan bertolak belakang dengan fakta dan data.