Saturday, December 21

Pattaya, Rumah Inkarnasi Dewa


03 Januari 2019


Manakala menapak Bang Lamung, dari titik Wat Phra Khao Yai memandang pegunungan Khao Khiao membentang dari barat laut hingga tenggara, lalu sore hari menatap matahari menjingga di titik terendah batas laut. Pattaya yang disebut Prathet Thai, tanah kebebasan yang beramakna kota malaikat, kota keabadian agung, tempat bertahta raja, dan rumah inkarnasi dewa.


Oleh: Daniel Kaligis


PHRAYA Tak memerintah, siapa dapat melawan? Saya tak pernah bersua Phraya Tak, atau pun mengenalnya. Hanya dengar dari berapa cerita tutur dan membaca dari tulisan di media. Phraya Tak adalah gelar kerajaan Thailand, diberi pada orang yang memegang jabatan strategis. Semisal panglima tentara, penasihat kerajaan, dan gubernur.

September 2018 silam, saya membaca tajuk menarik di Bangkok Post. Perdana Menteri Thailand, Prayut Chan-O-cha menunjuk Sontaya Kunplome sebagai Walikota Pattaya.  Medio 2014 manakala saya mampir di Pattaya, Sontaya Kunplome tidak punya jabatan, padahal sebelumnya dia adalah Menteri Kebudayaan pada kabinet Yingluck Shinawatra.

Hal mengusik bagi saya tentang kabar penunjukan Sontaya Kunplome sebagai walikota oleh Prayut Chan-O-cha. Bahwa mantan Menteri Kebudayaan itu akan menata Pattaya sebagai pusat koridor ekonomi di kawasan Timur, dan berjanji untuk memperbaiki lingkungan di kota pantai itu. Mengembangkan fasilitas untuk mengubah sampah di Pattaya menjadi energi.

Bagi saya, Pattaya adalah kota pantai yang punya pesona.

Banyak media menyebut, Pattaya adalah surga turisme. Tempat ini dikunjungi lebih dari satu juta pelancong saban tahun, dan saya salah satunya. Pattaya menawarkan pantai-pantai elok, ditemani alunan reggae, di tengah keramaian. Sunset sudah lewat, dan jejak-jejak pudar. Derai gelombang menghapus jejak dan bekas. Lampu-lampu di jalan-jalan Amphoe Bang Lamung berpendar dan orang-orang di sepanjang jalan menikmati hawa malam.

Di sini, dulunya adalah perkampungan nelayan. Perahu-perahu menjauh di samudera. Bocah-bocah berlari di pasir menyambut gelombang. Menunggu kupu-kupu di bawah bulan dipayungi awan. Saya pernah menikmati malam biru, dan matahari masih ada di ufuk barat pada 20.00 PM.

Padahal, The New York Times pernah memuat gambar berita bercerita menggelitik tentang lokasi ini dengan judul Thailand’s Sin City Reaches for Respectability. Tentara Amerika yang bertugas di pangkalan militer U-Tapao dan pangkalan-pangkalan sekitarnya, pernah bersenang-senang di situ ketika perang Vietnam membara.

Sebagai orang Asia, ingatlah saya mengapa SEATO dan Komunis diadu-jangkrik, dan ‘gajah-gajah dunia’ berjingkrak-jingkrak atas sumberdaya.

Tapi, lupakan semua itu. Amanda Hikaru, kawan saya di Kaohsiung, bilang, makanan di Thailand bumbunya asin.

Suatu siang terik saya mencoba daging asap a la Pattaya dan nasi lengket, bahasa kerennya ‘sticky rice’ di warung-warung tepi Silverlake Vineyard. Terkenang syair Graham Nash: “and after the wars are over, and the body count is finally filed, I hope that the man discovers what’s driving the people wild”.

Pattaya hari ini, mata dunia masih menyorot ke sana. Bar dan panti pijat bertebaran, pole-dance, kuliner, isu miring. Teringat lagi Graham Nash: “I found a different country but I never lost my pride”. Merasa keganjilan nikmat sebagai salah satu di antara lebih dari sejuta orang per tahun yang pernah mengunjungi wilayah dengan luas 22,2 kilometer bujursangkar itu.


Pattaya Floating Market
Foto: TripAdvisor

Saya mencatat Pattaya dan Bangkok pada tiga paragraf berurutan di bawah ini:

Turn Kasem San 1 Alley, menyusur Phayathai Rd. Luna di ubun-ubun Phanfa Bridge. Alir menghitam di antara batu tembok dedaun di tepi jadi gemerlap oleh lampu-lampu. Liuk mengelana hingga Pom Pra Sumen manakala ilusi mampir di Temple of Dawn…

Hello Wallas: and I’ll bet you dread to spend another lonely night with me, but lonely walls, I’ll keep you company. Jejakmu membekas pada setapak di Tha Tian, di mana mata sayu penjual buah membuntutimu menyeberang Thai Wang Alley.

Dulu, 1782, Jenderal Chakri berlari di bekas Ayutthaya, lalu takdir kolonial meretas jalan sejarahnya. Agreement ternyata menandatangani batas-batas untuk nantinya dirombak seturut kepentingan. Kita pernah menyeruput senja di Eagle Nest, biru laut pindah ke langit berbaur kelabu merah kuning jingga.


Sejarah selalu menarik bagi saya. Namun, di sini saya lebih menyenangi pantai dan hutan tropisnya. Manakala menapak Bang Lamung, dari titik Wat Phra Khao Yai memandang pegunungan Khao Khiao membentang dari barat laut hingga tenggara, lalu sore hari menatap matahari menjingga di titik terendah batas laut.

Berkunjung ke Pattaya, bagi saya, akan terasa kurang bila belum mendatangi Nong Nooch. Taman tumbuhan tropis terbesar Asia Tenggara dengan luas hampir 600 hektar. Taman Nong Nooch nan sejuk, aneka bunga, palem, bonsai, ratusan spesies tumbuhan ada di sini.

Dulu, area itu diperuntukkan bagi penanaman buah-buahan lokal, namun dalam perkembangannya berubah menjadi tempat konservasi spesies tumbuhan dan bunga tertentu sebelum akhirnya dibuka untuk umum.

Saya rekomendasikan bersepeda untuk mengitari lokasi ini hingga bukit kupu-kupu. Ada taman taman zaman batu, ada taman bertema Prancis abad tujuh belas dengan desain simetris, ada taman Asia, taman Versailles, dan taman bertema Renaissance Eropa.

Kabarnya, negeri ini tak pernah tersentuh penjajah Eropa. Lebih sembilan puluh persen penduduknya memeluk Buddhisme. Secara umum, Pattaya, dalam hal ini Thailand, adalah rumah Buddha emas tersohor, kolam buaya terbesar di negeri ini. Bukan hanya itu, di sini ada restoran terbesar, jembatan suspensi satu rentang terpanjang, dan hotel terpanjang dunia.

Dalam berbagai catatan saya menemukan, area ini identik dengan berbagai julukan dalam bahasa lokalnya; siam, kelam coklat. Di sana pernah berlangsung rekor catwalk terpanjang pada 9 April 2010. Panggung catwalk tersebut panjangnya 1,584 meter dan menjadi bagian dari Pattaya International Fashion Week.

Pattaya berada pada tanah yang disebut Prathet Thai, tanah kebebasan. Thailand, disebut dalam julukan teramat panjang, “Krungthepmahanakhon Amonrattanakosin Mahintharayutthaya Mahadilokphop Noppharatratchathaniburirom Udomratchaniwetmahasathan Amonphimanawatansathit Sakkathattiyawitsanukamprasit.” Julukan itu bermakna kota malaikat, kota keabadian agung, kota sembilan mutiara menawan, tempat bertahta raja, kota istana raja, rumah inkarnasi dewa, didirikan Visvakarman di Behest Indra. (*)